Rakyat Indonesia kehilangan seorang Bapak Teknologi dan sekaligus Presiden ketiga RI.  Bacharuddin Jusuf Habibie atau lebih dikenal dengan nama BJ Habibie meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2019), setelah menjalani perawatan intensif selama 10 hari karena sakit.

Habibie dilaporkan mengembuskan napas terakhir sekira pukul 18.05 WIB. Habibie dikabarkan sempat kritis sebelum dipastikan meninggal dunia dalam usia 83 tahun.

“Saya harus menyampaikan ini, bahwa ayah saya, Presiden Ketiga RI, BJ Habibie meninggal dunia pukul 18.05 WIB,” kata putra kedua Habibie, Thareq Kemal Habibie di RSPAD.

Cucu Habibie, Melanie Subono dalam akun Instagramnya mengabarkan meninggalnya Habibie.

“Eyang … SAMPAI JUMPA DI KEABADIAN … Senangnya dah bisa ngelepas kangen sala eyang puteri, bisa berdua dua an lagi… Kita disini ikhlas asal eyang bahagia —- SELAMAT JALAN —- –

Terimakasih sudah membuat Indonesia jauh lebih baik, terimakasih sudah mengajarkan saya jadi PEJUANG , kalo bahasa eyang “PEMBERONTAK” ,”tulisnya diakun @melaniesubono.

Semasa hidupnya, Habibie dalam sebuah podcast, pernah berkata bahwa dirinya selama hidup ini tidak pernah berhenti bekerja, dan ia mengaku, mentalitas dalam hidup yang ia miliki itu adalah mentalitas sepeda.

“Saya tidak pernah tidak bekerja, ada orang pernah bertanya kepada saya, ‘Pak Habibie kok bisa begitu? Mentalitas apa itu?’ saya menjawab, ‘saya mentalitas sepeda, kalau Anda naik sepeda, Anda berhenti, Anda jatuh. Jadi kalau saya berhenti bekerja, saya mati,” ungkapnya.

Profil dan Perjalanan Karier

Ia menjadi presiden pertama sejak lahirnya Era Reformasi. Keahliannya dalam tekonologi inilah yang mengantarkannya ke dunia teknokrat. Mulai dari penasehat presiden hingga menjadi menteri riset dan wakil presiden pada masa Presiden Soeharto. Puncaknya, ia menjadi Presiden RI ke-3 menggantikan Soeharto yang mundur di tengah jalan karena tuntutan Reformasi.

B.J. Habibie menjadi presiden pada usia 62 tahun. Ia lahir di Parepare, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Juni 1936. Ia anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Sang ayah merupakan seorang ahli pertanian dari Gorontalo dan memiliki keturunan Bugis. Sedangkan sang ibu asal Jawa dan merupakan anak dari dokter spesialis mata di Yogyakarta.

Habibie sudah menunjukkan kecerdasannya sejak dini. Ia memiliki ketertarikan khusus dengan fisika. Dalam hal pendidikan, pernah bersekolah di SMAK Dago, Bandung, dan meneruskan kuliah selama 6 bulan di Institut Teknologi Bandung dengan studi Teknik Mesin pada tahun 1954. Setahun kemudian, Ia melanjutkan studi teknik penerbangan selama 10 tahun di Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman dengan dibiayai oleh ibunya. Habibie meraih 2 gelar sekaligus yaitu Diplom Ingenieur pada tahun 1960 dan Doktor Ingenieur pada tahun 1965 dengan predikat summa cum laude.

Di sela-sela kuliahnya, Habibie muda sempat kembali ke tanah air. Selain menziarahi makam almarhum sang ayah di Ujung Pandang, Ia sempat pula pulang ke Bandung dan bertamu ke rumah tetangganya yang tak lain merupakan keluarga Ainun. Mereka sebetulnya sudah kenal sejak di bangku sekolah. Bahkan, Habibie mengakui pernah beberapa kali pacaran dengan wanita Jerman sebelum akhirnya ia berlabuh ke hati Ainun. Kedekatan mereka pun berlanjut ke pelaminan tepat pada tanggal 12 Mei1962. Mereka dikarunia 2 anak yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie dan 6 cucu.

BJ Habibie anak – anak

Habibie dan istrinya pun tinggal di Jerman. Habibie harus bekerja keras untuk membiayai rumah tangga dan biaya kuliah doktoralnya. Ia juga mendalami teknik dan konstruksi pesawat terbang.

Setelah lulus, B.J. Habibie bekerja di perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman, yaitu Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) pada 1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada  industri pesawat terbang komersial dan militer dari tahun 1969 hingga 1973.

Atas kinerja dan kredibelitasnya, ia pun dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihat Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978). Dialah satu-satunya orang Asia yang menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.

Sebelum memasuki usia 40 tahun, karier Habibie sangat cemerlang, terutama dalam urusan desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie bagaikan berlian yang bersinar di Jerman. Kedudukan terhormat pun berhasil ia gapai baik secara materi dan intelektualitas. Selama bekerja di Jerman, Habibie menyumbang berbagai hasil penelitian dan sederet teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi Thermodinamika, Konstruksi, dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method“.

Habibie saat berada di Jerman

Pada tahun 1968, Habibie telah mengundang sejumlah insinyur tanah air untuk turut bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Habibie.

Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan kemampuan dan pengalaman insinyur Indonesia jika kembali ke Tanah Air dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat). Mengetahui kecerdasan Habibie, Presiden Soeharto tak tinggal diam. Ia mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, Habibie bersedia dan melepaskan jabatan dan prestasinya di Jerman.

Habibie pun diangkat menjadi penasehat pemerintah (langsung dibawah presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian selama tahun 1974-1978, Habibie masih sering pulang pergi Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.

Setelah itu, ia diangkat Soeharto menjadi  Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 2 dekade mulai dari 1978 hingga 1998. Lalu, 14 Maret 1998 Habibie terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan VII. Ia juga menduduki posisi ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) saat masih menjadi menteri.

Tragedi Mei 1998, awal muncul Era Reformasi membawa perubahan posisi Habibie. Kerusuhan Mei 1998 yang melanda beberapa kota di Indonesia dan berpusat di Jakarta telah menggulingkan Presiden Soeharto yang sudah menjabat selama 32 tahun. Hal itu menyebabkan Habibie naik ke kursi Presiden terhitung sejak 21 Mei 1998.

Habibie harus mengawal Era Reformasi dengan menghadapi ketidakstabilan dan disintegrasi pasca kerusuhan Mei 1998. Sebagai presiden, Habibie segera membentuk kabinet baru dengan tugas penting untuk mengembalikan dukungan dari dana moneter internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

Meski singkat menjadi presiden, tapi Habibie berhasil membuat trobosan untuk Indonesia di antaranya yaitu Undang-Undang Anti Monopoli atau Undang-Undang Persaingan Sehat, Undang-Undang Partai Politik, dan Undang-Undang Otonomi Daerah.

Selain itu juga, Habibie menciptakan beberapa perubahan seperti membebaskan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak lahir partai-partai baru. Ia juga menghapus larangan berdirinya serikat buruh independen dan membuat 12 Ketetapan MPR.

Dari sektor ekonomi, Habibie sukses menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang awalnya berkisar Rp10.000 hingga Rp15.000 dan di akhir pemerintahannya nilai rupiah meroket hingga 6.500 yang belum terulang lagi hingga tahun 2016.

Saat ia menjadi presiden, ada satu hal yang sangat krusial soal otonomi Provinsi Timor-Timur. Atas usul PBB, Presiden Habibie mengadakan jejak pendapat yang diselenggarakan 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET (United Nations Mission for East Timor) dan diikuti oleh penduduk Timor Timur.

Menurut Hasil yang diumumkan di New York dan Dili pada tanggal 4 September 1999 yang diikuti oleh 451.792 penduduk Timor-Timur. Sebesar 78.5% penduduk Timor Timur menyatakan menolak otonomi khusus yang ditawarkan Indonesia. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975.Dalam bahasa lain, Provinsi Timor-Timur lepas dari Indonesia dan menjadi Negara Timor Leste.

Hal inilah yang memicu pihak oposisi Habibie berusaha keras menjatuhkannya. Hingga akhirnya Habibie resmi selesai sebagai Presiden RI yang Ke-3 pada tanggal 20 Oktober 1999. ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.

Setelah tidak menjabat sebagai presiden lagi, Habibie memilih tinggal di Jerman. Namun, pada era kepresidenan SBY, Habibie kembali aktif sebagai penasehat presiden dalam rangka mengawali proses demokrasi di Indonesia melalui organisasi yang didirikannya (Habibie Center). Ia juga aktif kembali di Partai Golkar sebagai Ketua Dewan Penasehat.

Pada tanggal 22 Mei 2010, Habibie harus kehilangan sang istri akibat kanker ovarium yang dideritanya. Sebagai bentuk kecintaan Habibie kepada mendiang istrinya, Ia menulis sebuah buku bertajuk “Habibie & Ainun” setebal 323 halaman yang kemudian diangkat ke film layar lebar dengan judul yang sama.

Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ) Habibie mungkin lebih terkenal karena perannya yang dahulu pernah menggantikan Soeharto menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Beliau menduduki jabatan presiden ketiga Indonesia untuk menggantikan posisi presiden sebelumnya yang mengundurkan diri.

Habibie saat membangun Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN)

Masa Kecil

BJ Habibie lahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini Puspowardojo pada tanggal 25 Juni 1936. Ayahnya berasal dari Gorontalo, sedangkan sang ibu berasal dari Yogyakarta. Beliau adalah anak keempat dari delapan bersaudara.

Sejak kecil, pria yang akrab disapa Rudy ini memang dikenal sebagai anak yang cerdas dan gemar membaca buku. Suatu hal yang tidak mengherankan bila melihat latar belakang orangtuanya yang merupakan lulusan perguruan tinggi ternama di Indonesia. Apalagi, sang ayah juga merupakan seorang ahli pertanian.

Selain belajar mengenai ilmu eksakta di sekolah, beliau juga dididik oleh kedua orangtuanya mengenai ilmu agama serta tradisi-tradisi leluhur. Hal ini dilakukan supaya beliau dan ketujuh saudaranya tidak hanya pintar, tapi juga mampu bersikap dan membawa diri dengan baik.

Laki-laki kelahiran Parepare ini menghabiskan masa kecilnya dengan berpindah di beberapa tempat mengikuti tugas sang ayah. Pada tahun 1947, beliau bersama keluarga pindah ke Makassar karena Alwi Abdul Jalil dipromosikan menjadi Kepala Pertanian untuk wilayah Indonesia Timur.

Berselang tiga tahun kemudian, tiba-tiba sang ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Setelah kepergian sang ayah, ibunya pun memutuskan untuk pindah ke Bandung supaya anak-anak mendapatkan pendidikan yang lebih baik. (berbagai sumber)