BERITABETA.COM – Pada mulanya Pattimura adalah nama, kemudian jadi gelar. Di bawah Pattimura, umat Muslim dan Kristiani Maluku bersatu melawan Belanda.

Di dunia maya tersebar meme hubungan uang dan kemerdekaan, yang berbunyi: “Merdeka adalah saat Sukarno dan Hatta berbaris di dompet. Jika yang berbaris Pattimura berarti masih perjuangan.” Sukarno-Hatta adalah gambar di uang kertas nilai tertinggi, Rp100.000. Sedangkan gambar Kapitan Pattimura tercantum dalam uang kertas nilai terendah, Rp1.000.

Ada cerita menarik di balik gambar Pattimura alias Thomas Matulessy (1783-1817), yang barang kali tidak banyak diketahui orang. Ternyata, gambar Pattimura yang awal berbeda dengan gambar di uang kertas Rp1.000.

Menurut Des Alwi Abu Bakar dalam Sejarah Maluku, Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, gambar Pattimura yang pertama dilukis oleh Q.M.R. Verhuell, komandan Marinir Belanda yang menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Pattimura, pada 1817. Verhuell melukis Pattimura saat membuat berita acara pemeriksaan. Gambar Pattimura karya Verhuell tersimpan di Museum Angkatan Laut di Prince Hendrik Kade, Rotterdam, Belanda.

Sementara itu, lanjut Des Alwi yang diangkat anak oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir (menjabat 1945-1947), gambar Pattimura yang diketahui secara luas dan tercantum dalam uang kertas Rp1.000 adalah karya pelukis Christian (Curis) Latuputty pada 1951 dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi para seniman yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dokumen Kongres Nasional Pertama Lembaga Kebudayaan Rakjat, Solo 22-28 Januari 1959, menyebut bahwa “Kongres telah menyusun suatu komposisi yang terdiri dari wakil-wakil Lekra di daerah, seperti Curis Latuputty, Hr. Bandaharo, Sugiarti Siswadi…”

Thamrin Ely, yang pernah menjadi ketua delegasi Muslim pada Pertemuan Maluku di Malino 11-12 Februari 2002, membenarkan bahwa “Christian Latuputty seorang pelukis Lekra (onderbouw PKI) melukis tokoh Pattimura. Dan M. Sapiya seorang militer yang diusulkan PKI menjadi anggota Konstituante menulis buku (Sejarah Perjuangan Pattimura Pahlawan Indonesia, tahun 1951) yang dipakai sebagai bahan rujukan untuk menetapkan Pattimura alias Thomas Matulessy sebagai pahlawan nasional.” Pattimura ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973.

“Mereka semua sudah meninggal, dan kita orang Islam dan Kristen masih memperdebatkan tentang Kapitan Pattimura,” tulis Thamrin Ely dalam makalah “Jatuh Bangunnya Kearifan Lokal Maluku dalam Tantangan Pluralisme dan Demokrasi di Indonesia” yang disampaikan pada Seminar Protestantisme oleh GPI di Ambon 26 Februari 2005 silam.

Menurut Des Alwi yang lahir di Banda Neira, Maluku, 17 November 1927, kepahlawanan Thomas Matulessy yang dapat menduduki Benteng Duurstede di Saparua beredar dari mulut ke mulut di Maluku pada abad ke-19. Meskipun Pattimura telah dihukum mati, tapi pemberontakan melawan Belanda berjalan terus.

Setiap pemimpin pemberontakan selalu digelari Pattimura mengikuti jejak Kapitan Pattimura. Nama Pattimura juga dipakai sebagai nama keluarga atau nama bayi laki-laki yang baru dilahirkan terutama di Seram Barat atau tempat terjadinya pemberontakan kecil melawan pemusnahan kebun-kebun cengkeh dan pala yang disebut hongi.

“Sejarah hanya cerita dari mulut ke mulut, sehingga ada yang berpendapat seperti dari kalangan keluarga Islam di Seram, bahwa sosok Kapitan Pattimura adalah beragama Islam. Kekeliruan ini mungkin terjadi karena pangkat Pattimura selalu digunakan kepada mereka yang memberontak terhadap penjajahan Belanda,” terang Des Alwi.

Menurut M. Sapija dalam Sedjarah Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia, nama Pattimura sebenarnya sebuah gelar. “Macam-macam tafsiran diberikan orang kepada gelaran ini. Ada yang mengatakan bahwa gelaran tersebut berarti ‘Patih yang murah hati’ (Di Maluku orang beranggapan, bahwa perkataan ‘Patih’ atau ‘Latu’ itu sama artinya dengan perkataan ‘Tuan’ atau ‘Kepala’ dalam arti pemimpin). Kami dapat menyetujui tafsiran ini,” tulis Sapija.

Meributkan agama Pattimura mungkin tak akan ada habisnya. Yang pasti, penduduk Kristen dan Islam bersatu melawan Belanda di bawah pimpinan Pattimura. Bahkan, salah satu pemimpin perlawanan –selain Pattimura, Anthone Rhebok, dan Philip Latumahina– adalah Said Perintah, raja Siri-Sori Islam.

“Dan bila kita ingat bahwa Ulupaha adalah berasal dari negeri Seit (jazirah Hitu) yang penduduknya semua beragama Islam, maka dapatlah kita bayangkan bahwa dalam perjuangan Pattimura golongan Islam dan Kristen itu bersatu-padu menjadi satu front anti-penjajah yang dengan sendirinya harus dijadikan contoh bagi kita yang hidup pada masa sekarang,” tulis Sapija.

Perdebatan Nama Asli Kapitan Pattimura

Banyak yang mengatakan bahwa Pattimura sebenarnya bernama  Ahmad Lussy yang beragama Islam, tetapi banyak juga yang meyakini bahwa Pattimura lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen. Inilah yang menjadikan perdebatan sampai sekarang ini.

Untuk meluruskan hal tersebut memang perlu dilakukan penelusuran sejarah tentang asal usul Pattimura dengan data-data pendukung berupa penelitian yang berasal dari sumber-sumber yang sifatnya otentik serta faktual.

Sosok diatas merupakan lukisan dari wajah Kapitan Pattimura ketika ia ditangkap oleh Belanda pada tahun 1817. Lukisan tersebut dibuat oleh Verheul yang merupakan seorang perwira dan penulis asal Belanda.

Lukisan tersebut ditemukan di KITLV di Leiden, Belanda. Untuk mengetahui lebih jelasnya, pembaca dapat membaca buku yang berjudul ‘Ini Dia Aslinya Kapitan Pattimura‘ yang ditulis oleh Luthfi Pattimura dan Kisman Latumakulita sebagai sumber referensi pembaca sekalian.

Potret wajah Pattimura yang biasa dilihat pada pecahan Uang Seribu konon dibuat setelah kemerdekaan. Sebenarnya tidak ada yang mengetahui wajah asli dari Pattimura sebab sangat sedikit sekali dokumentasi mengenai hal tersebut.

Lukisan Pattimura yang biasa kita lihat mungkin hanya rekaan berdasarkan imajinasi oleh pelukis sesuai dengan karakter atau tipe orang Maluku. Pattimura pernah berkata :

…Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya.

Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Pattimura, pahlawan dari Maluku yang juga merupakan pahlawan nasional.

Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Pattimura seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut.

Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Kapitan Pattimura juga tampak optimis. Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah versi pemerintah.

M Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan :

“Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimuramuda akan bangkit”

Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu. Di bagian lain, Sapija menafsirkan,

Selamat tinggal saudara-saudara”, atau “Selamat tinggal tuang-tuang”

Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik dan optimis. Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Dan Inilah yang menjadi perdebatan sejarah hingga sekarang ini. (***)

Sumber : Historia.id dan Biografiku.com