BERITABETA.COM – Namanya tiba-tiba santer menjadi topik berita sejumlah media dan perbincangan publik, setelah  ditunjuk sebagai saksi ahli di bidang hukum Pemilu yang akan dihadirkan Tim Hukum Jokowi-Ma’ruf Amin dalam sidang gugatan Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia tak lain adalah Prof DR Edward Omar Sharif Hiariej SH M.Hum. Siapa dia? Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sapaan akrabnya  lahir di Kota Ambon, Maluku pada 10 Mei 1973. Eddy menamatkan pendidikan S1 hingga S3nya di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM). Saat ini Eddy berdomisili di Sleman, Yogyakarta dan bekerja sebagai Guru Besar (profesor) Ilmu Hukum UGM.

Selain mengajar, Eddy juga telah dikenal kerap menjadi saksi ahli dalam berbagai macam sidang. Salah satunya, ketika dia menjadi saksi ahli dalam sidang kasus penodaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) pada tahun 2017. Eddy juga pernah memberi penjelasan terhadap beberapa pasal dalam KUHP, misalnya ketika dia meminta pasal prostitusi di KUHP harus diubah karena bernafas budaya Barat/Eropa.

Dalam persidangan di MK kali ini, Eddy Omar akan memaparkan keterangannya terkait istilah Terstruktur Sistematis Massif (TSM) dalam konteks UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, yang secara historis diadopsi dari Hukum Acara Pidana. Eddy akan menjelaskan TSM dalam konteks extra ordinary crime dalam Hukum Acara Pidana.

Selain itu, dia juga akan menerangkan soal Electoral Fraud Vote Buying dengan Political Corruption secara hukum sebagaimana dalam permohonan Pemohon. Dia bakal memaparkan terkait asas-asas dalam hukum yang relevan dalam perkara ini.

Kisah Eddy Raih Gelar Profesor di Usia Muda

Nama Eddy Hiariej mungkin sudah tak asing lagi di telinga sebagian orang. Eddy  sudah hampir 10 tahun mondar-mandir di pengadilan untuk berbicara sebagai ahli. Ia juga  pernah diminta menjadi saksi meringankan dalam pemeriksaan Denny Indrayana, mantan wakil Menteri Hukum dan HAM RI.

Eddy merupakan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta. Ia meraih gelar tertinggi di bidang akademis tersebut dalam usia yang terbilang masih muda 37 tahun.

Sebagai perbandingan, bila Hikmahanto Juwana mendapat gelar profesor termuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di usia 38 tahun, Eddy mendapatkan gelar profesornya di usia 37 tahun dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Saat SK guru besar saya turun, 1 September 2010, saya berusia 37 tahun. Waktu mengusulkan umur 36,” tutur pria kelahiran 10 April 1973 ini.

Seperti dikutip dari situs hukumonline.com,  Eddy bercerita gelar profesor dapat ia raih di usia muda tak lepas dari pencapaiannya menyelesaikan kuliah program doktoral yang ditempuhnya dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan kebanyakan mahasiswa lain.

“Orang biasanya begitu sekolah doktor baru mulai riset, saya tidak. Saya sudah mengumpulkan bahan itu sejak saya short course di Prancis. 2001 saya sempat di Prancis 3 bulan. Di Strasbourg. Jadi saya katakan kepada pembimbing saya, Prof. Sugeng Istanto, ‘Prof, saya sudah punya bahan untuk disertasi’,” ujar Eddy.

Setelah mendapat persetujuan menulis, Eddy yang pernah menjadi Asisten Wakil Rektor Kemahasiswaan UGM periode 2002 – 2007, menyelesaikan draft disertasi pertamanya pada Maret 2008. Disertasi Eddy membahas soal penyimpangan asas legalitas dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM).

Kurang dari setahun, Eddy pun siap menghadapi ujian terbuka dengan promotor Prof. Marsudi Triatmodjo – sebab Prof. Sugeng sudah meninggal terlebih dulu – dan co-promotor Prof. Harkristuti Harkrisnowo.  “Jadi saya terdaftar sebagai mahasiswa doktor itu 7 Februari 2007, saya dinyatakan sebagai doktor 27 Februari 2009,” kenang Eddy.

“2 tahun 20 hari. Dan memang Alhamdulillah rekor itu belum terpatahkan,” imbuhnya.

Pernah Gagal Masuk FH

Keinginan dan ketertarikannya akan dunia hukum disampaikan Eddy sudah dimilikinya sejak lama, walaupun ia mengaku tak ingat sejak kapan. Almarhum ayahnya pun pernah menyampaikan kepada Eddy, “kalau saya lihat karakteristikmu, cara kamu berbicara, kamu itu cocoknya jadi jaksa,” ucap Eddy menirukan sang ayah.

Meski jadi jaksa bukanlah amanah, tetapi di akhir hayatnya ayah Eddy kembali mengatakan agar Eddy kelak tak jadi pengacara bila benar ingin masuk fakultas hukum. Pesan itu disampaikannya ayahnya saat itu Eddy masih duduk di bangku SMA.

“Mungkin dia tahu kalau saya jadi pengacara, nanti orang yang salah dan saya bela   bisa bebas. Itu juga mengapa dia bilang saya untuk jadi jaksa. Ya saya kaget juga waktu itu,” ungkap pria berdarah Ambon ini.

Namun, jalan Eddy untuk bisa masuk FH UGM nyatanya tak semulus itu. Di tahun 1992, begitu lulus SMA, Eddy tidak langsung lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). “Saya setahun itu gagal loh masuk Gadjah Mada itu. Jadi tahun 1992 saya tes UMPTN tidak masuk,” ujarnya.

“Saya stres tuh enam bulan. (Karena) saya stres, saya liburan ke mana-mana aja udah. Terus enam bulan kemudian, mulai Desember, saya betul-betul intens belajar sampai UMPTN berikutnya. Baru lah kemudian saya lolos, masuk FH UGM,” pungkas pemilik hobi olahraga tenis, renang, dan juga membaca ini.

Di semester lima, Prof. Maria Soemardjono – Dekan FH UGM kala itu – lah yang pertama kali mencetuskan agar Eddy menjadi dosen. Hubungan Eddy dan Prof. Maria diakui Eddy memang sangat dekat sampai-sampai orang mengatakan kalau Eddy adalah anak keempat Prof. Maria.

Faktanya bagi Eddy, Prof. Maria memang merupakan pakar hukum yang menjadi panutannya. “Dia ngomong apa saja bisa karena dia kan mempunyai background pendidikan yang memang berbeda-beda. Selain itu di usianya yang sudah 72 tahun dia masih saja menerbitkan buku dan masih melakukan penelitian di lapangan,” ucap Eddy.

Satu ketika Prof. Maria mengatakan kepada Eddy, “kamu habis ini mau ke mana?” tiru Eddy. Karena saat itu Eddy juga menjawab belum tahu akan ke mana, Prof. Maria menyarankan agar Eddy menjadi dosen di kampusnya tersebut. Eddy sendiri berpengalaman menjadi pengajar di salah satu bimbingan belajar di Yogyakarta.

Pasca wisuda program sarjana yang digelar 19 November 1998, Eddy mengikuti tes penerimaan dosen. “6 Desember 1998 pengumuman dan saya diterima. Mulai 6 Desember itu saya sudah asisten sampai SK saya turun 1 Maret 1999,” papar Eddy.

Eddy yang akhirnya lebih memilih menjadi dosen ketimbang jaksa mengatakan senang menjadi dosen karena ia dapat banyak berinteraksi dengan orang, senang karena mau tidak mau ia harus terus belajar dan belajar, dan ia juga senang bisa bebas dari aturan seragam layaknya jaksa.

“Yang keempat, katanya sih tujuh golongan yang masuk surga itu salah satunya adalah golongan yang selalu memberikan ilmunya kepada orang lain,” ujar Eddy seraya tersenyum. (BB-DIO)

Sumber : detik.com/hukumonline.com