“Bila ada yang menemani, saya bersedia mendaki puncak kedua Krakatau. Butuh teknik khusus melakukannya. Harus cepat dan sigap. Selain suhu permukaan mencapai 50 derajat Celcius dengan hamparan batuan terjal dan pasir panas, Krakatau pun siap meletus setiap waktu,” ujar profesor enerjik ini.

Meneliti suksesi yang terjadi di Krakatau adalah keahlian Tukirin yang telah dilakukannya sejak 1981.

King of Krakatoa

Malam itu, di pantai Anak Krakatau, Tukirin membuka rahasia yang selama ini jarang ia ceritakan. “King of Krakatoa” julukan maut yang menggema ke seantero dunia, tanpa pernah sekalipun ia deklarasikan. “Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk saling menghormati,” ujarnya merendah.

Memorinya melayang, jauh ke era 90-an. Berawal dari seorang mahasiswa asal Jepang yang membenci sang dosen. Nyatanya, dosen tersebut, Prof. Yukawa (Presiden Asosiasi Entomologi Dunia), adalah sosok disiplin pembimbing Tukirin saat menyelesaikan studi doktoralnya di Kagoshima University, 1992-1995. Tiap kali menjelaskan suksesi, Yukawa selalu bercerita tentang Krakatau yang menukik pada sosok Tukirin. “I have a very strong man, student from Indonesia,” jelas Yukawa yang diulang Tukirin.

Kenapa Tukirin didapuk sebagai orang kuat? Karena hanya dirinya yang mampu menaklukkan puncak Krakatau bersama Prof. Suzuki yang merupakan atlet lari nasional Jepang di masa itu. Alasan inilah yang menyebabkan Tukirin dianggap orang yang secara fisik memiliki kekuatan luar biasa.

Suatu waktu, Tukirin diundang Yukawa ke Jepang. Dalam acara perkenalan dengan para mahasiswa itulah mahasiswa yang tidak senang pada Yukawa menghampiri Tukirin untuk adu pancho, mengingat predikat Tukirin sebagai lelaki kuat, sebagaimana yang dijelaskan Yukawa.

Tukirin terhenyak, di hadapannya telah berdiri mahasiswa berbadan atletis, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang kurus. “Kalau saya kalah tak masalah, tapi kalau Anda kalah pastinya malu dihadapan mahasiswi. Saya nantikan di Indonesia,” ujar Tukirin berkelit.

Dilalah, proposal penelitian mahasiswa penantang yang mengajukan penelitian di Indonesia itu diterima. Saat bertemu di Bali, lagi-lagi Tukirin ditantang untuk pancho. Tukirin cari akal, ia mengajak mahasiswa tersebut untuk menyelesaikan masalah tersebut secara jantan di Krakatau. Harapannya, mahasiswa ini mundur teratur.

Nyatanya, si mahasiswa justru menemui Tukirin di Pulau Rakata, sekembalinya ia dari Jepang. “Saya orang tua kecil, kurus, harus menghadapi anak muda berotot. Cara ilmiah harus dicari untuk mengalahkannya yang menang secara fisik.”

Sebagai “Raja Krakatau” Tukirin mengajak mahasiswa itu bertarung di puncak Rakata, habis-habisan. “Pakai sepatu, bawa air minum yang banyak, dan pastikan tidak ada yang tahu,” pesan Tukirin pada lelaki muda itu sebagai sarat utama.

Jam 6.00 WIB pagi, mereka mendaki. Tukirin yang badannya kecil, dengan cepat berlari dan menghilang di rimbunnya hutan. Sementara si mahasiswa itu, kebingungan karena tidak tahu arah. Di atas tebing curam, Tukirin yang sudah mendaki lebih dulu menanti mahasiswa itu untuk naik.

Di sini banyak semilak, tumbuhan berduri yang harus dipegang akarnya untuk merambat. Sang mahasiswa, yang tak ingin malu ikut naik tebing itu, namun duri di semilak tersebut ia pegang yang membuat tangannya luka.

Berikutnya, mereka menuju punggung bukit kecil yang hanya bisa dilewati menggunakan sepatu lapangan ala militer, bukan sepatu kets. Di sini, Tukirin yang sudah mempersiapkan diri sedari awal, dengan mudah melewati medan itu, sementara si penantang tubuhnya penuh luka akibat duri dan pasir yang tajam.

Di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (m dpl), mereka harus melewatinya dengan cara memanjat, melewati tebing menggunakan tali. Hingga akhirnya, mereka tiba di puncak Rakata, di ketinggian 800 m dpl, sekitar enam jam jalan kaki dengan susah payah.

Di sini, Tukirin mengajak si mahasiswa untuk pancho. Apa yang terjadi? Mahasiswa tersebut mengurungkan niatnya karena ia “shock” melewati rintangan mengerikan yang belum pernah ia rasakan. Di puncak Rakata, ia mengaku kalah, tanpa harus bertarung.

Puas istirahat, mereka kembali ke kemah. Tukirin meminta agar mereka tidak bersamaan menuju tenda, sebagaimana persyaratan di awal. Tukirin pun pulang lebih awal. Baru saja ia minum teh di depan tenda, sang mahasiswa yang baru saja keluar dari hutan tersebut, berteriak lantang: “Tukirin, you are the real king of krakatoa, sembari menyembah Tukirin.”

Dari sini, julukan Tukirin sebagai “King of Krakatoa” menyebar dan sang mahasiswa itu pula yang mempopulerkannya. Tahun berapa pastinya, Tukirin tidak ingat, diperkirakan di penghujung 1999. Begitu juga dengan nama sang mahasiswa yang hingga kini masih ia samarkan. “Bukan kekuatan, julukan king of krakatoa lebih tepat untuk menggambarkan pengalaman dan pengetahuan saja yang saya dapatkan dari menjelajah setiap lekuk Krakatau,” terang Tukirin.

Krakatau memang identik Tukirin, dan dunia mengakui. Para peneliti dari berbagai belahan bumi, berlomba menghubungi Tukirin, berharap didampingi saat penelitian nanti. Bagaimana Indonesia? “Krakatau adalah penelitian science for science yang tidak populer didanai pemerintah. Jarang peneliti yang tertarik.”

Kekhawatiran Tukirin adalah kegelisahan kita semua. Kegalauan di masa mendatang, bila kita harus bertandang ke negeri orang hanya untuk mengetahui perihal Krakatau yang justru wujudnya ada di Indonesia. Banggalah kita pada Tukirin. Ada wajah Indonesia dalam sosoknya. (***)