BERITABETA.COM – Berawal dari ungkapan khas Soekarno (1901-1970) Bapak Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia pertama, yang memiliki kontribusi rill bagi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, sebagai suatu bentuk kotemplasi mendalam bahwa, “tulislah tentang aku dengan tinta hitam atau tinta putihmu. Biarlah sejarah membaca dan menjawabnya”.

Tentu ada benarnya kata-kata filosifis dari founding father itu, yang dimaknai sebagai suatu pencatatan historic sesuai dengan kondisi dinamika yang terjadi, dimana menuliskan sesuatu objek sejarah haruslah benar-benar objektif, tentang apa yang dilakukan seorang figur tidak hanya dari sisi positifnya saja, namun juga dari sisi sebaliknya.

Terlepas dari itu, tatkala di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dulu, saya tidak asing lagi dengan nama Abdul Kadir Tuakia. Para orang tua kami dalam perbincangan di rumah sering menyebut namanya, kata mereka saat itu kita dari negeri memiliki kebanggaan, karena memiliki seorang tentara dengan pangkat letnan.

Pasalnya, pada zaman revolusi nasional Indonesia sejak 17 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, untuk meraih pangkat letnan dalam dunia ketentaraan merupakan sesuatu yang langka. Baru dikemudian hari, saya mengetahui secara jelas, Abdul Kadir Tuakia adalah seorang tentara pejuang dengan pangkat letnan, yang berasal dari negeri saya Ory.

Mengungkap tabir kiprah perjuangan Abdul Kadir Tuakia bagi republik ini, tentu tak hanya dapat diperoleh dari famly dekatnya saja sebagai sumber utama referensi, yang lazim disebut dengan data primer, melainkan bisa juga merujuk pada catatan resmi, dalam bentuk buku dan karya ilmiah yang ditulis oleh sejarawan nasional, luar negeri dan kaum terpelajar, yang lazim disebut juga dengan data sekunder.

Tentang kiprah heroik prajurit pejuang ini, tatkala pecahnya revolusi nasional, yang imbasnya hingga di Ambon dan wilayah sekitarnya, dapat dibaca pada sejumlah karya, dalam bentuk buku dan karya ilmiah.

Diantaranya John A Pattikayhatu ; Sejarah Revolusi Kemerdekaan di Daerah Maluku (1979), Richard Harry Chauvel : Nationalists, Soldiers and Separatists : The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt, 1880-1950 (1990), I.O. Nanulaita ; Mr. Johanes Latuharhary Hasil Karya dan Pengabdiannya (2009), John Ruhulesin ; Mencari Citra Kemanusiaan Bersama Pergulatan Keambonan dan Keindonesiaan (2016)”, serta Dita Nurdayanti ; Kaum Nasionalis Ambon : Peran Perjuangannya Membawa Ambon Menjadi Bagian Dari NKRI 1942-1950 (2009).