BERITABETA.COM – Rasa memiliki sosok ayah yang dicintai terus diabadikan dalam potongan narasi penuh doa. Ketika Oktober tiba, tak seorang pun mampu merasakan haru yang menyelimuti keluarga kecil ini.

Sudah 48 tahun berlalu kisah heroik seorang ayah tidak pernah lekang oleh waktu. Bagi keluarga kecil ini, tak ada hal yang istimewa selain doa yang dipanjatkan. Oktober Nan Haru bagi keluarga Panita Umar.

Tanggal 1 Oktober biasanya menjadi momentum penting bagi kelurga kecil yang menempati rumah di kawasan Asmil Batumerah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon itu.

Inong, terus mendoakan sang ayah yang sudah terbaring abadi puluhan tahun silam.

“Sesuatu banget kalau dengar atau nonton kisah ini. Beda tahun dan lokasinya saja,” tulis Inong dalam akunnya Facebooknya, Inong Aceh Panita dengan menyertakan tagar Alfatihapapa, Rabu (30/9/2020).

Siapa sosok ini? Inong adalah nama yang familiar dikenal sebagai penanda gadis yang berasal dari tanah Aceh. Selaras istilah Nona untuk orang Ambon.

Perempuan 48 tahun ini, bernama Siti Nur Fatmawati Panita Umar. Dia adalah anak bungsu dari Panita Umar, seorang patriot yang gugur di tanah Bupolo tahun 1972 silam, saat menjalankan tugas pengamanan  tapol di Pulau Buru.

Puluhan tahun cerita tentang kepergian ayahnya, bagai misteri. Tak pernah ada kisah yang paripurna tentang sosok sang pahlawan itu.

Inong tidak sendirian, ia memiliki seoarang kakak laki-laki bernama Atmal Syah Panita Umar yang kerap disapa Agam. Mereka berdua memang mewarisi sebutan Inong dan Agam sebagai penanda asal ayah mereka.

Mereka lahir dari pasangan Panita Umar dan Wau Pattisahusiwa. Panita Umar adalah seorang prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura asal bumi rencong.

Baik Inong dan Agam memang tidak mengetahui persis kisah tragis yang menimpa ayah mereka di masa itu. Keduanya masih kecil. Agam baru berusia 3 tahun. Sedangkan Inong pun baru berusia setahun, ketika sang ayah dikabarkan gugur dalam sebuah insiden tragis. Mereka tumbuh besar dalam asuhan ibu.

Kisah Panita Umar, hanya tersirat dalam bentuk potret yang terpampang di rumah mungil yang mereka tempati itu. Selebihnya hanya berupa potongan cerita buram yang diperoleh dari rekan-rekan ayah mereka.

Setiap bulan Oktober, sosok sang ayah terus hadir, dikala momentum Hari Kesaktian Pancasila diperingati. Ayah mereka Panita Umar konon disebut-sebut gugur pada masa kelam itu, ketika peristiwa G30S PKI mengancam negara.

Namun, apes kisah sang pejuang ini berlalu ditelan waktu. Kepergian prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura itu, tidak diketahui penyebabnya yang pasti. Desa Wanakarta, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru menjadi saksi bisu peristiwa tragis itu.

Konon tubuh Panita Umar ditemukan disitu. Jazadnya ditemukan dalam kondisi tragis.  Entah siapa pelakunya. Dari lokasi itu hanya terdapat sebuah patung setengah badan berdiri kokoh di tengah areal persawahan.

Pada prasasti di bawah patung tertulis, telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila.

Patung ini bukan hanya untuk menghormati Pelda Panita Umar, tetapi lebih dari itu, patung ini juga sebagai catatan hitam sejarah perjuangan bangsa.

Dari sejumlah sumber disebutkan, begitu jasad Panita Umar ditemukan, kondisinya tragis tangannya putus. Kematian prajurit asal Aceh itu, mejadi momok yang banyak menakutkan bagi tahanan politik (Tapol) di zaman itu.

Hari itu juga dikabarkan, sebanyak 12 orang Tapol penghuni barak Unit 5 diciduk. Empat orang ditembak mati, sisanya berhasil melarikan diri,  tetapi empat orang kemudian juga ditemukan mati di Namlea. Sedang sisanya lagi yang empat orang,  berbulan-bulan kemudian baru ditangkap dan langsung dieksekusi.

Gugurnya Pelda Panita Umar menggetarkan sekitar 12 ribu Tapol yang menghuni 20 unit barak penampungan di Pulau Buru. Siapa pun bekas tapol yang saat ini masih hidup, pasti tergetar hatinya apabila ditanya tentang peristiwa itu.

Para Tapol diduga menjadi pelaku terbunuhnya prajurit TNI itu. Seluruh Tapol merasakan penderitaan luar biasa akibat insiden tersebut.

Dari laporan Tempo 14 Oktober disebutkan Sersan Mayor Panita Umar, seorang komandan peleton Tefaat Buru. Peristiwa itu diceritakan oleh Kepala Pusat Penerangan Hankam, Brigjen Sumrahadi.

Kepada pers Sumrahadi mengisahkan mayat Serma Panita Umar ditemukan di suatu tempat antara Tefaat unit–2 dan unit–5 pukul 19.00 waktu seternpat, pada  tanggal 6 Oktober 1972.

Namun, informasi ini kemudian sempat dianulir oleh  Kepala Penerangan Kodam XV/Pattimura, yang saat itu dijabat Letkol Latief SN.

Versi lain tentang terbunuhnya Serma Umar dikabarkan oleh Latief yang menyebut kematian Umar (yang dalam berita itu disebut berpangkat Pelda) “disebabkan kecelakaan biasa”.

Menurut Latief, Panita Umar telah tergelincir dilereng sebuah bukit ketika sedang mengawasi pembukaan suatu areal persawahan baru Tefaat Buru, dan tubuhnya tertusuk pokok-pokok rumpun bambu.

Latief dengan tegas berkata bahwa kematian Panita Umar “bukan dibunuh oleh anggota Tapol PKI seperti yang diberitakan”.  Namun cerita Letkol Latief SN ini justru dibantah Brigjen Sumrahadi.

Kisah Panita Umar menjadi saksi betapa besarnya pengorbanan prajurit TNI dan keluarga mereka dalam mempertahankan NKRI (BB-DIO)

Sumber : Disadur dari berbagai sumber