BERITABETA.COM – Sosoknya menjadi viral di media sosial setelah melontarkan penolakan dengan keras terkait program vaksinasi Covid-19 yang baru mau dijalankan pemerintahan Jokowi pekan lalu. Anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP Ribka Tjiptaning akhirnya harus menerima pil pahit dari sikapnya itu.

PDIP memberi sanksi dengan menggeser digeser  Ribka Tjiptaning dari Komisi IX yang membidangi masalah kesehatan ke  ke Komisi VII yang membidangi masalah energi.

Rotasi tersebut tercantum dalam surat Fraksi PDIP DPR bernomor 04/F-PDIP/DPR-RI/2022, terkait perubahan penugasan di Alat Kelengkapan Dewan dan ditujukan kepada pimpinan DPR RI tanggal 18 Januari 2021 yang diterima, Senin (18/1/2021).

Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto dan Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto, pada 18 Januari 2021.

Beberapa hari sebelum dirotasi, Ribka menuai sorotan publik karena meragukan vaksin Covid-19. Padahal, Ribka sudah cukup lama berkecimpung di DPR dan bidang kesehatan.

Nama Ribka menjadi pembicaraan publik beberapa hari terakhir karena menyampaikan keraguannya terhadap vaksin Covid-19 dan mengingatkan agar vaksin tidak dikomersialisasikan.

Hal itu disampaikan saat rapat Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan pada Selasa (12/1/2021).

“Saya cuma mengingatkan nih, kepada menteri, negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya. Tidak boleh, mau alasan apa saja tidak boleh,” kata Ribka.

Ia juga meragukan kualitas dan keamanan vaksin Covid-19 yang akan digunakan di Tanah Air.

“Saya tetap tidak mau divaksin. Mau sampai yang 63 tahun bisa divaksin, misalnya pun hidup di DKI semua anak-cucu saya dapat sanksi lima juta, mending saya bayar,” ujar Ribka.

Lalu siapa sosok Ribka?

Dikutip dari merdeka.com, pemilik nama lengkap Ribka Tjiptaning Proletariyati ini lahir di Yogyakarta, 1 Juli 1959.  Ia lahir dari keluarga ningrat Jawa dan merupakan anak ke tiga dari lima orang saudara (sekandung), ayahnya bernama Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro seorang keturunan Kasunan Solo (Pakubowono) dan pemilik sebuah pabrik paku di Solo.

Sedangkan Ibunya dari keturunan Kasultanan Kraton Yogyakarta bernama Bandoro Raden Ayu Lastri Suyati. Sewaktu kecil, Ribka yang dilahirkan di Solo, Jawa Tengah 1 Juni 1959, hidup dalam keadaan yang serba kecukupan karena ayahnya seorang konglomerat yang memiliki lima pabrik besar pada saat itu.

Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, Tjiptaning adalah yang paling beruntung karena masih sempat mengenyam pendidikan formal hingga akhirnya ia mampu menjadi seorang dokter.

Ketika sudah lulus dari bangku kuliah, Tjiptaning kemudian membuka sebuah klinik kesehatan di Ciledug pada tahun 1992.

Dari klinik yang dikelolanya, Tjiptaning akhirnya mulai berkenalan dengan para aktivis muda di Jakarta yang sering menentang kebijakan rezim orde baru di bawah pemerintahan Soeharto. Dari sinilah ia mulai mengenal dunia politik. Kemudian, Tjiptaning pun terjun ke dunia politik melalui keikutsertaannya dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Kiprahnya dalam dunia politik ia mulai dari nol. Tetapi, karena reputasinya di masa lalu, sangat sulit baginya untuk masuk dalam jajaran tertinggi perpolitikan Indonesia.

Karir politik Tjiptaning akhirnya mulai menunjukkan titik terang. Ia pun mampu mengikuti pemilu 2004 dan 2009 dan menduduki salah satu posisi penting di DPR RI saat ini. Pada periode 2009-2014  Tjiptaning menjabat sebagai Ketua Komisi IX DPR RI dari PDI-P.

Di Komisi IX, ia mengetuai komisi yang memperhatikan masalah-masalah di bidang tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, dan kesehatan.

Ribka kembali mencalonkan diri dan terpilih sebagai legislator dari Dapil Jawa Barat IV (Kab. Sukabumi, dan Kota Sukabumi) pada pemilihan legislatif tahun 2014.

Sebelumnya, di tahun 2009, Badan Kehormatan DPR RI sempat melarang politisi lulusan S1 Kedokteran UKI Jakarta (1978-1990) yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi IX ini untuk memimpin rapat panitia khusus dan panitia kerja. Larangan itu terkait dengan kasus hilangnya Ayat (2) Pasal 113 dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009.

Hal ini juga memicu penolakan publik terkait isunya sebagai calon Menteri Kesehatan di Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla, dari petisi online hingga Ikatan Dokter Indonesia (BB-DIP)