BERITABETA.COM – Sejak kecil, Tan Malaka sudah disukai guru-gurunya karena kecerdasan yang dimilikinya. Di sekolah pemerintah kelas satu di Kweekschool (Sekolah Guru Negeri) di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi), Minang Kabau, Tan Malaka bahkan diangkat sebagai anak oleh seorang guru Belanda yang menjabat sebagai Direktur II, GH Horensma dan istrinya.

Dana pinjaman itu dikumpulkan untuk membiayai Tan Malaka selama melanjutkan studi di Belanda, yang diprediksi antara dua hingga tiga tahun. Untuk jadi jaminan, orang tua Tan Malaka rela menjaminkan harta benda miliknya.

Horensma sangat menyayangi Tan Malaka . Dia tak mau kecerdasan Tan Malaka sia-sia karenanya Horensma menginginkan Tan Malaka melanjutkan sekolahnya di Rijksweekschool (sekolah pendidikan guru negeri) yang berada di Belanda. Pada 1913, Horensma dan istri berencana liburan ke Belanda.

Horensma ingin membawa Tan Malaka . Apalagi di tahun itu Tan Malaka akan mengikuti ujian akhir. Jika lulus tentu saja tak ada halangan untuk Tan Malaka ikut bersamanya ke negeri kicir angin. Sesuai harapan, Tan Malaka berhasil lulus ujian akhir dengan memuaskan.

Namun ternyata ada sebuah kendala besar yang menjadi hambatan agar Tan Malaka bisa ikut ke Belanda. Kendala itu adalah dana. Diperlukan uang yang tak sedikit untuk pergi dan bersekolah di Belanda. Sementara, orang tua Tan Malaka tak mungkin membiayai sendiri.

Namun Horensma tak putus asa. Dia memiliki ide sebagai jalan keluar. Dia mengajak Tan Malaka pergi menuju Suliki yang tak lain merupakan tempat kelahiran Tan Malaka . Di Suliki keduanya menemui seorang yang bekerja sebagai kontrolir bernama W Dominicus yang tak lain adalah teman baik Horensma.

“Setelah melakukan urun rembuk akhirnya semua sepakat untuk mendirikan sebuah yayasan yang bergerak mengumpulkan dana pinjaman sebesar 50 rupiah setiap bulan,” demikian ditulis dalam buku ‘Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah’ karya Masykur Arif Rahman, terbitan Palapa.

Dana pinjaman itu dikumpulkan untuk membiayai Tan Malaka selama melanjutkan studi di Belanda, yang diprediksi antara dua hingga tiga tahun. Untuk jadi jaminan, orang tua Tan Malaka rela menjaminkan harta benda miliknya. Nama yayasan itu sendiri adalah ‘Engkufonds’. Anggotanya terdiri dari para engku di Suliki, para guru di sekolah guru dan para pegawai negeri.

Tan Malaka berjanji akan mengembalikan utang tersebut setelah selesai studi di Belanda dan kembali di Tanah Air. Setelah semuanya beres, Tan Malaka pun berangkat ke Belanda bersama Horensma dengan menumpang kapal Wilis pada Oktober 1913 dan tiba di negeri kicir angin pada 10 Januari 1914, dan diterima sebagai mahasiswa di Rijksweekschool, yang berlokasi di Haarlem, Belanda.

Tan Malaka pun menjalani studinya di sekolah itu. Meski awalnya mengalami kesulitan, Tan Malaka akhirnya dapat beradaptasi dengan lingkungan dan pelajaran yang ditempuhnya. Kelak, seluruh utang-utangnya berhasil dilunasinya dari hasil kerja kerasnya.

Politisi Harus Belajar ke Tan Malaka

Peneliti sekaligus penulis buku Tan Malaka , Harry A Poeze mengatakan,  di era sebelum dan awal kemerdekaan Indonesia, para pejuang dan politisi negeri saat itu rela mengorbankan pemikiran bahkan harta dan jiwanya untuk kepentingan bangsa. Salah satunya adalah Tan Malaka .

Saat masih hidup Tan Malaka mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kepentingan bangsa. Saat itu, Tan Malaka bahkan sampai rela dipenjara dan dibuang oleh Belanda ke luar negeri pada 1922 karena tindakannya dinilai mengancam kepentingan negeri kolonial di Nusantara.

Tan Malaka bersama-tokoh Proklamasi-Soekarni.

“Waktu itu Tan Malaka mendirikan sekolah-sekolah rakyat di Semarang, Bandung dan tempat lain. Dia mengajarkan rakyat soal perjuangan, anti-kapitalis, penjajahan dan lainnya. Hal itu tentu membahayakan bagi Belanda,” kata Poeze.

Dari pembuangan di luar negeri, Tan Malaka tetap berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Tan mensarikan pemikirannya melalui artikel dan buku yang kemudian dibaca dan dijadikan rujukan berpikir dan berjuang para pejuang dan politisi tanah air seperti Soekarno , Sjahrir dan lainnya.

Saat kembali ke Indonesia pada 1942, atau setelah Belanda hengkang dan Jepang berkuasa, Tan Malaka kembali meneruskan perjuangannya untuk rakyat banyak. Namun, saat itu Tan Malaka memiliki perbedaan pemikiran dan cara perjuangan dengan para politisi dan pejuang lainnya seperti Soekarno , Hatta, Sjahrir , Amir Sjarifudin dan lainnya.

Karenanya, menurut Poeze perbedaan mencolok politisi Indonesia saat ini dengan politisi dan pejuang seperti Tan Malaka adalah soal korupsi. Tan Malaka tak pernah berpikir untuk melakukan korupsi. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana memerdekakan Indonesia dari penjajahan dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat banyak sesuai paham komunis yang dianutnya.

Pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 1894 itu bahkan rela hidup susah tanpa uang demi memperjuangkan cita-citanya memerdekakan Indonesia dan mewujudkan keadilan pemerataan ekonomi bagi rakyat.

“Saat Tan Malaka gak ada korupsi, sekarang korupsi. Waktu Tan Malaka semua miskin hanya ada cita-cita, bukan uang seperti sekarang,” kata peneliti asal Belanda ini. (berbagai sumber)