Oleh : Muh Kashai Ramdhani Pelupessy (Lulusan Magister Psikologi Sains Universitas Negeri Yogyakarta, Dosen Psikologi di Jurusan Bimbingan Konseling Islam IAIN Ambon)

SEJAK World Health Organization (WHO) menetapkan covid-19 sebagai pandemik, maka semua negara mulai menyusun langkah-langkah antisipatif proses penyebaran virus tersebut. Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah pandemik berarti bahwa penyakit yang tersebar luas dalam suatu wilayah serta bisa menjalar ke wilayah lainnya.

Artinya, Covid-19 ini bisa mewabah ke berbagai daerah, tergantung dari perjalanan si pembawa virus yakni manusia. Olehnya itu, pemerintah menghimbau untuk melakukan physical distancing atau jaga jarak, agar proses penyebaran virus ini bisa di tekan dan di putus.

Berdasarkan laporan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bahwa pada mulanya virus covid-19 ini dibawa oleh Warga Negara Asing (WNA), dan seiring berjalannya waktu, proses penyebaran kemudian menjadi transmisi lokal.

Artinya, proses penyebaran covid-19 ini tidak lagi berasal dari orang-orang yang datang ke Indonesia, melainkan virus ini sudah mewabah di tengah-tengah masyarakat. Transmisi lokal berarti proses penyebaran virus sudah terjadi antar-individu di tengah-tengah masyarakat.

Sejak itu, Pemerintah Pusat langsung menyatakan status darurat tanggal 14 Maret 2020. Mulai tanggal tersebut, grafik kasus positif Covid-19 menunjukkan kenaikan. Laporan CSIS, saat ini, jumlah positif covid-19 sudah berada di angka 3.512 kasus dan 49 persen dari angka tersebut ada DKI Jakarta.

Hal ini menunjukkan bahwa Jakarta termasuk daerah yang sudah mengalami transmisi lokal virus covid-19. Selanjutnya, laporan CSIS juga menunjukkan bahwa 20 persen dari yang positif covid-19 tersebut ialah berusia 50-59 tahun. Usia ini sangat rentan terjangkit virus. Ironisnya, jika di usia tersebut juga mengalami gangguan penyakit lainnya, maka akan semakin memperparah kondisi fisiologisnya.

Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, ada beberapa daerah yang sudah mengalami transmisi lokal. Daerah – daerah tersebut ialah Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Di wilayah Indonesia Timur, daerah yang mengalami transmisi lokal ialah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Kedua daerah tersebut sangat dekat dengan Maluku, Maluku Utara dan Papua.

Kasus covid-19 di Maluku bermula ketika salah-satu warga asal Bekasi (Jawa Barat) terkonfirmasi positif. Seiring berjalannya waktu, temuan kasus positif Covid-19 di Maluku dibawa oleh orang yang baru datang dari daerah transmisi lokal yakni Sulawesi.

Saat ini, jumlah kasus positif di Maluku sudah tiga orang. Kita tidak tahu apakah kasus ini akan mengalami penambahan atau tidak. Harapan kita semoga Maluku tidak mengalami transmisi lokal sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lainnya.

Antisipasi tanggap bencana harus bergerak cepat untuk menekan peneyabaran Covid-19 ini mewabah ke mana-mana. Gubernur Maluku, Murad Ismail, menghimbau kepada seluruh masyarakat agar berdiam diri di dalam rumah, melakukan physical distancing dan cuci tangan, “par samua pung bae”.

Himbauan itu di sambut dengan antusias yang tinggi dari masyarakat. Namun masih ada sebagian masyarakat yang mengecualikan himbauan tersebut. Terkait pengecualian ini dikarenakan ada semacam gejala perilaku ‘ngeyel’ di tengah-tengah masyarakat.

Sepertinya, perilaku ‘ngeyel’ ini sudah menjadi budaya turun-temurun. Tak jarang kita jumpai ada sebagian masyarakat yang senang melanggar aturan. Padahal, aturan itu dibuat untuk keselamatan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Dalam ilmu psikologi, perilaku ‘ngeyel’ ini diistilahkan sebagai “uncertainty avoidance” atau toleransi terhadap ketidakpastian. Teori yang membahas perilaku ‘ngeyel’ atau uncertainty avoidance ini bernama Geertz Hofstede.

Dalam ulasan Hofstede menyusun teorinya atas lima dimensi budaya. Pertama, “power distance” adalah suatu tingkat kepercayaan atau penerimaan dari suatu power yang tidak seimbang di antara orang.

Pada negara yang memiliki ‘power distance’ yang tinggi, masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan patrenalistik. Sementara itu budaya dengan ‘power distance’ yang rendah cenderung untuk melihat persamaan di antara orang. Misalnya, di Maluku, ‘power distance’ kebanyakan dipegang oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, dan individu yang memiliki status pendidikan tinggi.

Masyarakat akan lebih mengikuti himbauan tokoh agama atau tokoh masyarakat. Misalnya dibanding individu yang tidak punya status apa-apa. Dalam konteks negara-bangsa, status tertinggi itu di pegang oleh Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota. Meskipun dalam atmosfer demokrasi, setiap orang berhak berbeda pendapat tidak jadi masalah. Asalkan, semua orang punya visi yang sama ialah kemaslahatan.

Mencermati ulasan ini, maka dalam proses penanganan Covid-19, peran tokoh-tokoh agama dan masyarakat sangat penting sekali. Alhamdulillah, kemarin, ada beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh tokoh masyarakat, dalam hal ini Raja Negeri Siri-Sori Islam misalnya, menghimbau masyarakatnya yang berada di luar daerah agar jangan pulang kampung (mudik). Himbauan ini merupakan terobosan yang spektakuler. Sebab, dengan adanya Himbauan ini maka kita dapat memutus rantai penyebaran Covid-19.

Dimensi kedua dari teori Hofstede ialah individualis versus kolektivis. Dalam ulasan Hofstede bahwa dalam budaya individualisme, kondisi masyarakat lebih mementingkan dirinya dan keluarga dekatnya. Tidak mempedulikan orang di luar kelompoknya. Berbeda dengan masyarakat kolektivisme, ialah masyarakatnya tidak hanya memikirkan kelompoknya saja tetapi juga bersosialisasi dengan kelompok lainnya.

Berdasarkan ulasan ini, bisa dikatakan bahwa negara Indonesia (khususnya, di Maluku) menganut budaya kolektivis karena fakta sosial menunjukkan demikian adanya. Budaya kumpul-kumpul dan sering “ngopi” bareng ini merupakan budaya kolektivis masyarakat Indonesia, terkhusus di Maluku.

Mencermati dimensi itu, maka cukup sulit bagi kita untuk merubah paradigma masyarakat dalam waktu dekat terkait penanganan kasus Covid-19. Dalam himbauan Gubernur bahwa kita harus melakukan ‘physical distancing’, tapi di satu sisi bertolak belakang dengan budaya masyarakat yang suka nongkrong bersama.

Hal ini merupakan dilema tersendiri untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Nah, bagaimana solusinya? Menurut hemat penulis, para pengambil kebijakan harus menerapkan teori “Paradigm Shift” atau pergeseran paradigma dari Thomas Kuhn. Thomas mengatakan bahwa pergeseran paradigma ini bisa terjadi apabila masyarakat menyadari adanya anomali (kesalahan faktual).

Proses menyadarkan masyarakat terkait adanya anomali ini dengan mengatakan bahwa wabah Covid-19 merupakan pandemik yang bersifat berantai antara satu individu dengan individu lainnya. Jika proses pandemik ini tidak di putus maka proses penyebarannya akan terjadi terus-menerus.

Inilah anomali faktualnya. Sosialisasi penyadaran masyarakat terkait anomali bisa melalui penyebaran brosur atau baliho terkait wabah Covid-19. Alhamdulillah, kemarin, penulis memperhatikan sudah ada upaya pemerintah Maluku melakukan hal tersebut.

Hal ini terlihat dengan beberapa baliho yang tersebar di beberapa sudut jalan, yang isi baliho itu memuat pernyataan, “Corona itu bukan cokelat yang harus dibawa pulang ke rumah”.

Pernyataan isi baliho ini bertujuan menyadarkan masyarakat bahwa jika kita sering melakukan ‘physical distancing’ atau nongkrong bersama, maka sama halnya kita akan memberikan efek negatif bagi keluarga kita sendiri di rumah.

Dimensi ketiga dari teori Hofstede ialah maskulin versus feminis. Masculinity merupakan pola pikir masyarakat yang membedakan secara tegas peran gender dimana kaum pria lebih bersifat asertif, kompetitif serta tegas.

Sedangkan, feminity adalah pola pikir masyarakat yang tidak tegas membedakan peran masing-masing gender, dimana baik pria maupun wanita dituntut lebih kompetitif namun disaat yang sama juga dapat diharapkan dapat kooperatif.

Jika kita perhatikan dimensi ini, yakni di Indonesia dan khususnya di Maluku menunjukkan bahwa budaya kita ialah maskulinitas. Yang mana, peran gender yakni laki-laki lebih asertif dan tegas dibanding perempuan. Oleh karenanya, dalam penanganan covid-19 diperlukan upaya tegas dari pria, dalam hal ini kepala keluarga misalnya, untuk memutus proses penyebaran covid-19.

Dimensi berikutnya (keempat) dari teori Hofstede ialah short-term vs long term orientation. Masyarakat yang memiliki orientasi jangka panjang atau ‘long term orientation’ lebih mementingkan masa depan mereka. Mereka mendorong nilai-nilai pragmatis dan berorientasi pada penghargaan, ketekunan, tabungan dan kapasitas adaptasi terhadap lingkungan mereka.

Berbeda dengan ‘long- term orientation’ masyarakat yang memiliki dimensi orientasi hubungan jangka pendek atau ‘short term orientation’ adalah mereka yang lebih mementingkan nilai-nilai masa lalu dan sekarang, termasuk kestabilan, menghormati tradisi, menjaga penampilan di muka umum, dan memenuhi kewajiban-kewajiban sosial.

Berdasarkan survei hofstede-insights.com menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang mengadopsi budaya long term orientation (orientasi jangka panjang). Masyarakat kita lebih mementingkan situasi masa depan yang lebih baik. Harapan-harapan terkait masa depan yang lebih baik ini sangat berkolerasi positif dengan proses kita mengatasi wabah covid-19.

Artinya, di masa depan, kita semua berharap bisa hidup sehat dan terhindar dari wabah covid-19. Penulis perhatikan, ada harapan semacam itu di tengah-tengah masyarakat.

Sering ada ciutan dari sebagian masyarakat bahwa, “di masa depan, kami akan menceritakan kepada anak cucu bahwa kami sanggup melewati situasi kelam yakni wabah covid-19”. Ciutan atau pernyataan masyarakat ini sangat tendensius bahwa terkait masa depan yang lebih baik ini sangatlah di harapkan.

Dimensi terakhir (kelima) dari ulasan Hofstede yakni uncertainty avoidance atau dalam istilah penulis ialah perilaku ‘ngeyel’. Dimensi ini sangat terasa gejalanya di tengah-tengah masyarakat kita. Dimensi ini terkait dengan bagaimana kita memandang ketidakpastian dan ambiguitas.

Kemudian bagaimana kita beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Di negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar, cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, dan memilih menghindari risiko dan mengandalkan peraturan formal dan juga ritual.

Sedangkan, pada negara dengan uncertainty avoidance yang rendah, mereka memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk menghadapi ketidakpastian, mereka cenderung lebih bias untuk menerima risiko, memiliki struktur organisasi yang flat, dan memilki toleransi terhadap ambiguitas.

Berdasarkan survei yang di lansir hofstede-insights.com menunjukkan bahwa budaya negara Indonesia (juga di Maluku) memiliki uncertainty avoidance yang rendah. Artinya, kita cenderung suka melanggar aturan dan tidak suka menerima masukan dari pihak lain (padahal demi kebaikan).

Hal ini menunjukkan bahwa ada gejala perilaku ‘ngeyel’ yang tanpa sadar sering kita aktualisasikan setiap hari. Meskipun, tidak semua masyarakat Indonesia mengidap perilaku ‘ngeyel’ ini, namun kenyataannya ada sebagian dari masyarakat kita yang menunjukkan gejala perilaku tersebut.

Hal itu terlihat ketika hampir banyak masyarakat kita yang melanggar himbauan presiden dan/atau gubernur terkait penanganan kasus covid-19. Gubernur Maluku misalnya sudah menghimbau agar kita jangan kumpul-kumpul atau melakukan physical distancing. Tapi, fakta di lapangan, masih banyak di antara kita yang sering melakukan kumpul-kumpul (nongkrong).

Artinya, situasi masyarakat kita untuk menghindari hal-hal yang tidak pasti (terserang penyakit virus covid-19) ini masih sangat rendah. Oleh sebab itu, pemerintah setempat harus bertindak tegas untuk meluruskan pemahaman masyarakat terkait wabah covid-19 ini.

Ada dua hal terkait perilaku ‘ngeyel’ yang sering dilakukan masyarakat di tengah-tengah wabah covid-19. Pertama, melanggar himbauan physical distancing tentunya, dan kedua ialah ke-ngeyel-an masyarakat melakukan mudik bersama karena libur panjang.

Perilaku ‘ngeyel’ ini sulit di kondisikan. Solusinya ialah pemerintah tidak hanya melakukan proses himbauan, tapi harus ada aturan dan sanksi tegas bagi pihak-pihak yang melanggar. Di samping itu, akses transportasi keluar-masuk melalui bandara dan pelabuhan juga harus disterilisasikan. Semua upaya ini untuk menekan gejala perilaku ‘ngeyel’ di tengah-tengah masyarakat.

Selain di buat aturan serta minimalisasi akses transportasi di pelabuhan maupun bandara, pemerintah juga harus melakukan penyadaran kepada masyarakat bahwa covid-19 ini merupakan penyakit yang bersifat pandemik, dalam arti bisa merugikan diri sendiri dan keluarga.

Proses penyadaran ini harus menggunakan teori ‘paradigm shift’ dari Thomas Kuhn yang telah penulis paparkan sebelumnya di atas. Meskipun perilaku ‘ngeyel’ ini menghambat kinerja pemerintah dan tim medis untuk memutus mata rantai penyebaran covid, namun perlu diketahui juga bahwa perilaku ‘ngeyel’ ini tidak sama dengan “ke-ngeyel-an” pekerja biasa dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

Masyarakat ekonomi menengah ke bawah ini “ngeyel” (dalam tanda kutip) karena faktor tuntutan keluarga. Kalau mereka tidak bekerja dalam situasi physical distancing, maka bagaimana mereka dapat menghidupi keluarganya. Oleh karena itu, mereka “ngeyel” (dalam tanda kutip) untuk tetap bekerja. Dalam kasus ini, pemerintah harus melakukan pengontrolan yang tegas, melalui proses bantuan ekonomi secara berkala.

Upaya bantuan sosial ini demi memutus proses penyebaran covid-19. Artinya, proses memutus mata rantai covid-19 ini butuh kerjasama kolektif. Jangan hanya berharap pada kinerja pemerintah, tim medis, dan aparat TNI/Polri, tapi kita semua (masyarakat) secara kolektif harus berkerjasama untuk memutus mata rantai covid-19 ini.

Akhirul-kalam dari ulasan singkat ini ialah semoga musibah covid-19 segera hilang dari bumi Indonesia, terkhusus di Maluku, sehingga kita semua bisa menjalani hidup ini sebagaimana mestinya (***)