Catatan :  Almudatsir Z Sangadji, (Alumn HMI)

Sembilan Januari 2021 hujan deras memaksa penerbangan Sriwijaya Air SJ-182 menunda  keberangkatan selama 36 menit. Burung besi raksasa itu baru take off pukul 14.36 WIB dari seharusnya pukul  14.00 WIB. Meluncur deras di atas landasan pacu  Bandara Soeta Cengkareng – Jakarta  mengangkasa menuju Pontianak- Kalimantan Barat.

Siapa  sangka penerbangan itu menandai hari naas 62 penumpang dan crew pesawat. Tujuh diantaranya anak-anak dan 3 bayi. Setelah mencapai langit angkasa 11.000 kaki, pesawat menukik tajam terpantau flightRadar24 dengan cepat menuju 250 kaki.

Setelah itu pesawat Boieng B737-500 itu  hilang jejak dari pantauan radar dan komunikasi radio bandara.  Posisi terakhir pesawat terlacak berhenti pada 11 mil laut dari Bandara Soeta atau di atas Kepulauan Seribu.

Manifes penumpang beredar daring. Kabar   64  nama penumpang dan crew diidentifikasi keluarga, kerabat dan rekan kerja.  Salah satu  nama penumpang yang menyedot perhatian, yakni penumpang dengan passenger list nomor 32 Mr. Mulyadi Mulyadi. Nama itu dipastikan banyak pihak sesama alumni HMI sebagai Mulyadi Poniman Tamsir, Ketua  Umum PB HMI  Periode 2016-2018.

Mulyadi dalam pesawat naas itu bersama istrinya, Makrufatul Yeti Sriangningsih, dan mertuanya Hasanah. Mereka bertiga  terdata dalam passenger list 30, 31, dan 32.  Wanita cantik ini adalah dosen Politeknik di Pontianak, yang dinikahi Mulyadi, 3 bulan lalu, 20 November 2020. Cinta mereka mengangkasa  menuju ketinggian Sang Khalik bersama penumpang dan crew pesawat naas itu.

Si Jago Masak

Angkasa raya jagat maya heboh. Semua mendoakan keselamatan penumpang. Berharap ada keajaiban.   Pencarian dengan cepat dilakaukan Basarnas. Body part pesawat dan bagian tubuh  penumpang ditemukan esok harinya (10/1).

Belum semua, tidak utuh dan masih melalui proses antemorten, yakni  salah satu metode  disarter  victim  investigation (DVI) untuk mengungkap identitas jenazah. Proses ini dilakukan dengan pengumpulan riwayat data jenazah korban kecelakanaa atau bencana.

Mulyadi P Tamsir bersama sang istri Makrufatul Yeti Srianingsih saat menikah

Ikutnya nama  Mulyadi dalam manifes paling banyak memicu haru. Dikenal sebagai mantan  Ketum PB HMI, jejaknya membekas dalam benak sahabat seluruh Tanah Air.

Muhammad Arbayanto, sahabat periodiknya di PB HMI era Ketum Noor Fajriyansyah, mengenang Mul- sapaan akrab Mulyadi—sebagai kader yang ulet, sabar dan jago masak.

“Saya bahkan pernah  satu kontrakan dengannya.  Dia juru masak yang handal, pekerja keras, sabar, karena dia tidak pernah merah, sekalipun  saya kadang bercanda dengannya mungkin keterlaluan,” ujar Muhammad Arbayanto,   yang kini menjadi anggotta KPU Jawa Timur, melalui WA grup (10/1).

Mul datang dari Sintang-Kalimantan Barat ke Jakarta untuk jadi pengurus PB HMI. Sintang adalah salah satu cabang HMI di Kalimantan Barat. Mul sendiri adalah perantau dari Jawa, yang lahir dan menetap di daerah itu. Masuklah dia di HMI, orgnisasi yang didirikan Lafran Pane, 1947 itu.

“Dia lugu”, kata Asrul Pattimahu, sahabatnya yang lain. Sebab Mul  berpakaian layaknya orang dewasa, dengan ciri khas yang berbeda dengan pengurus lainnya. Kurang fashionable, seingkali gaya berpakaian Mul menjadi candaan rekan-rekannya.  Namun Mul tak pernah marah, kenang Arba—panggilan Muhammad Arbayanto.

Mulyadi adalah salah satu kader HMI  yang paling lama mengasuh PB HMI. Dia masuk pengurus PB HMI di era Noor Fajriansyah,  tepat Januari 2010.  Anak kampung dari Sintang ini beradaptasi  dengan hiruk pikuk dan dinamika pergaulan aktifis  Jakarta. Tidak hanya atmosfer intelektualnya, namun juga relasi dan dinamikanya.

Hebatnya Mul tidak mudah marah dan tersinggung. Dia tawadhu, dan terus mengasah diri. Anak perantau  ini lama-lama semakin kompetibel. Dalam dinamika HMI yang dinamis,  karakternya yang kalem dan akomodatif semakin mendapatkan tempat di hati teman-temannya. Apalagi dia menjahit juga silaturahmi dengan baik, dengan senior-senior HMI-nya.

Berakhirnya kepengurusan Fajri, Mul masuk dalam  salah satu bursa caketum di Kongres  HMI di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta. Dia bersaing ketat dengan Muhammad Arif Rosyid, dari cabang HMI Makassar Timur. Persaingan ketat itu dimenangkan Arif, dan Mul bersedia mendampingi Arif sebagai Sekjen.

“Padahal saat itu ada dorongan agar dilakukan Kongres lagi, tapi Kanda Mulyadi menolaknya”, ujar Bansa Hadi Sella, mantan Ketau Badko HMI  Maluku – Maluku Utara.

Menurutnya, Mul tidak mau ada dualisme kepengurusan  HMI. “Itu visi kepemimpannya di HMI,”  ungkap Adith—panggilan akrabnya.    Mul menjadi perekat dari dinamika Kongres, dan mengawal kepengurusan Arif Rosyid hingga berakhir masa jabatan PB HMI  2013 – 2015. Di Kongres berikutnya yang berlangsung  di Pekanbaru- Riau, Mul dipercaya peserta Kongres HMI menjadi Ketua Umum PB HMI,  masa jabatan 2016 – 2018.

Konsistensi Mul menolak dualisme dikisahkan Said Patta, rekan pengurusnya di PB HMI, yang kini menjadi anggota DPRD Maluku Tengah dua periode.  Suatu ketika rapat berlangsung alot di Sekretariat PB HMI Jl. Diponegoro 16 A. Rapat itu soal dualisme kepengurusan, namun dalam tekanan—bahkan dipukul—Mulyadi tetap berpegang pada peraturan HMI.

“Saat dipukul dia dipukul di lantai 2, dia memanggil saya untuk melerai. Kasusnya sampai dilaporkan ke Polsek Jakarta Pusat,” kenang Said.

Laporan polisi  itu kemudian berakhir damai. Mul tidak mau melanjutkan, karena pertimbangan persaudaraan sesama kader HMI.

Mulyadi dan Wakaf untuk  HMI

Harus diakui Mulyadi adalah Ketua Umum PB  HMI  yang dinamis mengelola dinamika HMI. Tidak banyak riak di era kepengurusannya, yang mengarah ke perpecahan HMI. Dari sejarah kontemporernya HMI  dua dekade terakhir, mengalami problem konsolidasi dengan munculnya dualisme kepengurusan. Tidak hanya di PB HMI, namun juga dialami secara akut di cabang-cabang dan Badko.

Selama  Mul memimpin HMI baik sebagai Sekjen maupun Ketum, dinamika tinggi kontestasi struktural di HMI dapat diselesaikan dengan baik. Penyelesaiannya selalu akomodatif, dan berbasis statuta HMI.  Padahal kontestasi HMI, tidak hanya memanas di tingkat pusat, namun  juga di Badko dan cabang-cabang. Tantangannya juga tidak hanya dari dalam, namun juga dari luar. Dalam keadaan demikian, kepemimpinan menjadi perekatnya.

Setelah era kepemimpinannya dengan munculnya kembali dualisme, tentu saja menjadi hal yang disesalkan. Padahal dibandingkan Mul yang awalnya tidak dianggap, profil caketum HMI periode berikutnya lebih memberi harapan.

Potensi intelektual bagus, lahir dari Kongres dengan aklamasi, namun leadership-nya banyak menuai kritik. Ketidakpuasan jangka pendek, dari sisi internal akan memicu lahirnya aspirasi struktural yang berbeda. Ini akan menjadi awal munculnya dualisme di HMI.

Tipikal kepemimpinan ala Mulyadi yang akomodatif, mungkin penting jadi wakaf dan pelajaran berarti bagi  HMI. Meskipun dia bukan tokoh yang punya legacy seperti Cak Nur, Kakanda Anas Urbaningrum, Bang Akbar Tandjung atau ketum-ketum lainnya, namun kepergiaannya yang lebih muda, lebih cepat dalam kiprah dan sejarahnya, sangat relevan untuk meng-instrupsi kondisi kekinian HMI.

Sejarahnya di PB HMI adalah pandangan sebelah mata awalnya, namun dia relasikan dengan rendah hati dan akomodatif. Tesis konflik-konsensus  dalam dinamika struktural HMI, harus dihadapi dengan rendah hati.  HMI mengalami peningkatan kuantitas kader dengan cepat dan gemilang, namun mengalami liberasi struktural  yang rapuh. Ini kemajuan HMI yang sekaligus menjadi tantangannya.

Dan kita selalu berujar ditengah kerapuhan konsolidasi struktural ini dengan kalimat :”Di HMI kita berkawan lebi dari saudara”.   Ini saatnya kita berbenah, justru dengan nasehat berpulangna si Jago Masak, Mulyadi Poniman Tamsir.  Dan itu dapat dimulai  melalui pengalaman reflektif sejarahnya di HMI, tentunya! (***)