BERITABETA.COM,  Jakarta – Selain WhatsApp dan Telegram yang kita kenal sebagai aplikasi chatting yang banyak digunakan orang, kini ada lagi aplikasi serupa bernama Signal. Tiga aplikasi ini menjadi aplikasi chatting yang paling banyak digunakan. Ketiganya menawarkan fitur yang memudahkan dan keamanan data.

WhatsApp,Telegram dan Signal juga menawarkan sistem yang selalu diperbaharui agar tidak ada celah keamanan. Sebab, jika ada celah keamanan bukan hanya pesan, dokumen penting, gambar dan file-file lainnya kita tidak ingin dilihat orang lain bahkan diambil alih.

Namun bebeberapa waktu lalu, pendiri Telegram Pavel Durov mengkritisi soal kelemahan WhatsApp terkait dengan bobolnya ponsel orang terkaya di dunia, Jeff Bezos. Dikutip dari infokomputer.grid.id, ponsel Bezos diduga diretas dengan mengirimkan malware dari akun WhatsApp Putera Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman.

Durov menyebut keamanan enkripsi end-to-end milik WhatsApp tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Sebab, metode keamanan itu menjadi tidak berguna ketika WhatsApp tidak memerhatikan aspek-aspek lain dalam keamanan data.

Dilansir dari Telegraph, Durov menyatakan hal tersebut menyusul peretasan yang dialami oleh CEO Amazon sekaligus orang terkaya di dunia, Jeff Bezos.

Durov menyebutkan tiga aspek yang membuat jaminan keamanan pengiriman pesan di WhatsApp dengan enkripsi end-to-end WhatsApp tidak berguna.

“Jangan biarkan diri Anda dibodohi oleh teknologi yang setara dengan para pesulap sirkus yang ingin memusatkan perhatian Anda pada satu aspek yang terisolasi, saat mereka melakukan trik mereka di tempat lain,” tutur Durov.

Dari sisi keamanan, belakangan ini Signal disebut-sebut sebagai aplikasi chatting yang paling aman, karena juga memaliki kemampuan anti sadap.

Tentang Signal

Signal yang diluncurkan pertama kali pada 29 Juli 2014, adalah aplikasi komunikasi terenkripsi atau dengan penyandian untuk Android dan iOS. Ia dikembangkan oleh developer bernama Open Whisper Systems.

Signal telah tersedia untuk platform Windows, macOS, Linux, iOS dan Android. Serta versi desktop dari Signal yang berdiri sendiri, seperti untuk menggunakannya anda harus menginstal dan mengkonfigurasi aplikasi seluler terlebih dahulu. Setelahnya anda tidak perlu menghubungkan dengan ponsel.

Kelebihan dari Signal memang adalah keamanannya karena terenskripsi serta diklaim anti sadap. Teknologinya yang bernama The Signal Protocol, ternyata juga digunakan di WhatsApp, Facebook Messenger, Skype dan lainnya.

Kunci enkripsi disimpan di ponsel dan komputer pengguna bukan di server pengembang, sehingga itu dapat terhindar risiko potensial dari spoofing. Anda akan diperingatkan jika kunci keamanan siapa pun yang anda ajak bicara berubah.

Obrolan grup di Signal dapat menyertakan jumlah orang yang hampir tidak terbatas. Signal juga dapat digunakan sebagai aplikasi SMS default di Android, meskipun pesan teks tidak dapat dienkripsi.

Selain itu, Signal juga sama sekali tidak disusupi iklan. “Tidak ada iklan, tidak ada pengintaian. Hanya teknologi terbuka untuk pengalaman messaging yang cepat, sederhana dan aman,” sebut Whisper Systems di websitenya.

Dibanding WhatsApp bahkan Telegram, popularitas Signal bisa dibilang masih di bawah. Namun namanya mulai banyak diperbincangkan setelah Mei lalu, salah satu pendiri WhatsApp Brian Acton bergabung di Signal.

Tak sekadar bergabung, Acton akan mengguyur Signal dengan investasi senilai USD 50 juta atau di kisaran Rp 682 miliar. Pendanaan itu akan digunakan untuk mengembangkan Signal, seperti dikatakan co founder Signal, Moxie Marlinspike.

“Dengan pendanaan awal USD 50 juta ini, sekarang kami bisa meningkatkan jumlah tim kami, kapasitas kami dan ambisi kami,” sebut Moxie yang dikutip detikINET dari V3.

“Mungkin yang paling signifikan adalah kedatangan Brian berarti kehadiran engineer yang berbakat luar biasa dan visioner dengan pengalaman dekade membangun produk sukses,” tandasnya.

Ya, tidak hanya menyumbang dana, Acton juga akan menjadi Executive Chairman yayasan Signal Foundation. Misi mereka adalah menyediakan komunikasi privat Signal ke sebanyak mungkin orang.

“Ini hanyalah awal. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk membuat mimpi kami jadi kenyataan dan kami akan terus bertanya pada kolega, komunitas dan diri kami sendiri apakah ada cara lebih efektif melayani publik,” kata pria yang mendirikan WhatsApp bersama koleganya, Jan Koum ini (BB-DIP)