Oleh:  E. Jefry Sopacuaperu (Mahasiswa Program Studi Pascasarjana Teologi UKDW)

PERLU kita akui bersama bahwa “Pancasila dalam praktiknya selama ini surplus dalam pembicaraan tetapi minus dalam perbuatan”. Praksis pancasila selama ini umumnya hanya berhenti pada level “wacana” tanpa “lakon” sama sekali, padahal Pancasila sesungguhnya adalah lakon liberatif yang harus dilakoni oleh seluruh elemen bangsa.

Pancasila saya sebut sebagai lakon liberatif karena Pancasila bukanlah lakon biasa, di satu sisi Pancasila menjadi lakon liberatif yang membebaskan sang pelakon secara personal dari orientasi individualistik, konsumeris, dan perilaku ekstrimis-destruktif.

Sedangkan, di sisi lain Pancasila menjadi lakon liberatif yang membebaskan masyarakat secara sosial-politik-ekonomi dari berbagai kecenderungan distorsifikasi dan disorientasi nilai-nilai hidup bersama (common values dan living values) sebagai masyarakat yang pancasilais.

Ada upaya untuk merumuskan persoalan dasar bagi bangsa Indonesia sekarang ketika timbul berbagai krisis kebangsaan bukanlah pada pada persoalan keraguan yuridis, legalitas maupun empiris terhadap pancasila, melainkan persoalan “komitmen” masyarakat Indonesia yang “melemah” terhadap pancasila (Iriyanto, 2017).

Oleh karena itu, diperlukan penguatan komitmen yang harus diawali dari masing-masing individu dan bergerak sebagai proses gerakan nasional yang melibatkan semua elemen bangsa.

Penguatan komitmen terhadap Pancasila bertujuan untuk memperkokoh dan meneguhkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penguatan komitmen juga menjadi penting, karena adanya korelasi antara tingkat komitmen masyarakat dengan perencanaan, proses dan hasil pembangunan nasional.

Apabila terjadi penurunan komitmen masyarakat terhadap Pancasila maka sedang terjadi masalah pembangunan nasional yang kontraproduktif dan kontra posisi dengan Pancasila. Untuk itu diperlukan penguatan komitmen masyarakat terhadap Pancasila sebagai reaktualisasi pancasila dalam konteks pembangunan bangsa.

Tesis utama yang coba diajukan ialah; melemahnya komitmen masyarakat Indonesia terhadap Pancasila, sehingga terjadi krisis kebangsaan yang multidimensi, bahkan degradasi moral nasional. Karena itu, diperlukan penguatan komitmen terhadap Pancasila sebagai gerakan nasional. Namun tekanan pada “komitmen yang melemah” tidak bisa dilepaskan dari aspek lainnya. Dan aspek itu menurut hemat saya ialah “momen” (moment). Komitmen terhadap sesuatu tidak lahir dari kekosongan, melainkan memiliki keterkaitan dengan momen. Selalu ada momen yang membentuk komitmen.

Sekurang-kurangnya terdapat terdapat 2 momen yang membentuk komitmen terhadap Pancasila. Pertama, momen masa lalu atau momen historis (historical moment). Momen historis (historical moment) yang dimaksud di sini bekaitan dengan kesadaran sejarah (historical consciousness).Artinya komitmen masyarakat yang melemah terhadap pancasila menurut hemat saya harus dilihat dalam keterhubungan dengan minimnya kesadaran sejarah.

Oleh karena minimnya kesadaran sejarah terhadap Pancasila, maka komitmen masyarakat terhadap Pancasila menjadi melemah. Setiap komitmen akan menjadi komitmen yang kokoh apabila komitmen itu lahir dari kesadaran sejarah. Secara terminologi “historical consciousness” dipahami sebagai kesadaran sejarah (awarenes of the history) keberadaan manusia.

Dalam konteks Indonesia maka dapat disebutkan sebagai kesadaran sejarah keberadaan manusia Indonesia. Kesadaran sejarah dapat diuraikan dari berbagai segi, namun beberapa hal pokok ialah kesadaran sejarah mengakui kekhususan suatu peristiwa sejarah sebagai peristiwa yang unrepeatability.

Selain itu, kesadaran sejarah (historical consciousness) turut membentuk sudut pandang (point of view) tertentu terhadap sesuatu. Dan dari sudut pandang itulah kita dapat melihat sesuatu, menilai, hingga menetapkan pilihan atau komitmen untuk bersikap secara kontekstual dalam konteks masa kini. Kesadaran sejarah juga membentuk perilaku aspresiatif terhadap kenyataan pluralitas sekarang ini.

Kedua, momen masa kini atau kesadaran sosial masa kini (social awareness). Secara bebas “kesadaran sosial masa ini” dapat diartikan sebagai suatu kesadaran kritis terhadap realitas sosial atau problem sosial yang dialami oleh komunitas (masyarakat). Karena itu, kesadaran sosial masa kini disebut juga kesadaran sosial kritis (critical social consciousness).

Kemampuan (ability) untuk memberi respon secara kritis pada persoalan sosial yang dihadapi masyarakat, serta kemampuan untuk menempatkan perspektif (sudut pandang) yang tepat menjadi amat penting.

Problematika sosial yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini ialah “pandemi global Covid-19”. Realitas pandemi Covid-19 merupakan momen masa kini yang penting untuk mendorong penguatan komitmen merevitaliasi dan mereaktualiasi nilai-nilai hidup Pancasila. Nilai-nilai keimanan/ketuhanan, moralitas, kemanusiaan, gotong royong, tenggang rasa, kerjasama, persatuan, dan keadilan.

Relasionalitas momen masa lalu dan momen masa kini membentuk komitmen terhadap yang teguh dan utuh pada Pancasila sebagai kesadaran nasional. Kedua momen ini mengokohkan komitmen terhadap Pancasila. Bahkan kedua momen yang dikemukakan tadi dapat menjadi daya dorong (driving force) untuk penguatan komitmen terhadap pancasila.

Dari penguatan komitmen terhadap Pancasila itulah, maka akan membentuk implementasi nilai-nilai pancasila dalam perbuatan. Reaktualiasi dan revitalisasi nilai-nilai Pancasila yang dilakukan secara berkelanjutan dan simultan akan menjadi kekuatan bersama untuk menghadapi berbagai persoalan kebangsaan, termasuk pandemi Covid-19. Pancasila dalam perbuatan atau Pancasila aksi (pacasila in action) adalah wujud nyata komitmen yang kuat terhadap Pancasila.

Semoga momen Covid-19 dapat memperbarui komitmen bersama sebagai warga bangsa untuk semakin mantap dan penuh komitmen terhadap pancasila serta mengaktualisasi nilai-nilai pancasila dalam perbuatan (tindakan) yang solider dan peduli dengan para korban terdampak Covid-19 (***)