Bahasa Politik Kita, Netral atau Objektif?
DI tahun politik seperti sekarang ini, sikap netral dan tidak memihak pada pilihan politik tertentu, adalah sesuatu yang agaknya sulit ditemukan. Organisasi-organisasi besar yang bahkan tak mengklaim dukungan politiknya ke pasangan calon presiden tertentu, juga tak menandakan bahwa mereka benar-benar netral.
Sebab, pasangan Capres selalu membutuhkan koalisi dukungan bukan hanya dari partai, tetapi juga organisasi-organisasi yang memiliki suara terbanyak dalam berprartisipasi dalam pemilu. Itulah mengapa, untuk menggiring kudungan mulai dari akar rumput, pasangan Capres dan sejumlah koalisi partai, harus benar-benar mempertimbangkan organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Bahkan organisasi-organisasi independen sekarang rajin bicara politik, ini menandakan bahwa istilah ‘independen’ tampak kian tergusur. Tak hanya ormas, masyarakat pun sudah sangat sadar akan sikap politik mereka, betapapun telah digempur oleh berbagai isu yang dimunculkan oleh antarkubu politik, misalnya isu yang bertujuan untuk membelah suara di tengah masyarakat, umumnya mereka tak peduli dan lebih memilih menyuarakan paslon yang mereka dukung.
Sikap Netral
Soal dukung-mendukung memang perlu, sebab kita tak mungkin membiarkan orang yang kita anggap tidak kredibel akan memimpin suatu negara. Organisasi-organisasi besar juga tak perlu takut-takut untuk dicap tidak independen, karena memang maksudnya adalah politik. Misalnya NU dan Muhammadiyah, dua ormas besar ini tampak bersikap netral, tetapi bagi kita yang melihat dari luar, mereka tak pernah bisa benar-benar netral, di samping suaranya selalu berada di kubu pemerintah, mereka juga mencari aman agar masyarakat tidak terlalu terbelah yang akhirnya menimbulkan konflik.
Betul kata Frans Magnis Suseno, berpartisipasi dalam politik adalah untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Jadi sikap netral itu cenderung menandakan bahwa orang kurang memiliki konsistensi dalam keberpihakan. Sebut saja golput, ini salah satu contoh sikap netral yang paling buruk dalam berdemokrasi, dan tentu saja perlu untuk dihindari.
Bagaimana perkembangan bahasa politik kita kini? Yang jelas, apabila dibandingkan dengan era sebelum reformasi, tentu saja ia telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, pendidikan dan kesadaran politik masyarakat. Perkembangan medsos juga sangat mempengaruhi, ruang publik medsos seakan-akan sudah sebegitu masuk ke ranah politik.
Karena itulah, dapat dipahami mengapa dua kubu besar pasangan Capres dan koalisinya selalu menjadikan media sosial sebagai jembatan untuk menyampaikan agenda-agenda politik mereka, baik dalam hal kampanye, membagun citra dan bahkan untuk menggiring opini masyarakat dengan berbagai macam cara.
Dalam budaya politik kekinian, eksistensi medsos memang sangat diperlukan. Medsos adalah wadah untuk menggenjot popularitas, atau sebuah instuktur penggenjot popularitas. Kicauan-kicauan warganet yang saling sahut-sahutan akan efektif menggiring mereka ke wacana pokok yang dikembangkan oleh antarkubu, di mana antara kritik dan jawaban terus disuarakan secara dinamis.
Fenomena di atas menandakan bahwa masyarakat kita telah mengembangkan sejumlah bahasa politik pada tahap yang sudah lumayan maju, sebab mereka memiliki kesadaran yang tajam akan pilihan politik. Sehingga sulit mencari di mana letak sikap netralitasnya dalam politik. Orang yang sudah terlanjur kritis pada pemerintah, umumnya dianggap berada di barisan kelompok oposisi, begitupun sebaliknya.
Meski begitu, bahasa politik yang sudah lumayan maju itu, di bawah wadah demokrasi, sering membuat orang tak sadar terhadap proyeksi sikap politik mereka. Contohnya, jika seseorang sudah terlanjur menentukan pilihan politik, mereka kadang-kadang tak lagi kritis terhadap program-program yang ditawarkan oleh kubu dukungannya. Akibatnya, mereka tak dapat bersikap objektif dalam melihat fakta-fakta sosial tentang kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial.
Netral atau Objektif?
Kang Hasan (Hasanudin Abdurakhman), pernah menulis status menarik di akun facebooknya (23/8/18), begini; “Netral itu berbeda dengan objektif. Netral itu tidak berpihak. Objektif itu berpihak pada yang benar. Saya tidak netral. Saya berpihak pada yang saya anggap benar, tak peduli saya hanya sendiri mengambil pilihan itu”.
Narasi yang dibangun oleh kang Hasan di atas memang sontak membuat kita bingung. Betapa tidak, dalam ilmu sains, biasanya netral itu sinonim dengan objektif. Seorang ilmuwan harus bersikap netral sekaligus objektif, kedua hal ini tampak sama sekali tak bisa dipisahkan. Begitulah yang sejauh ini saya pelajari dalam terminologi bangunan ilmu pengetahuan.
Misalnya, jika seseorang masuk ke laboratorium sains, maka ketika sampai di pintu laboratorium, ia harus segera meletakkan seluruh baju kebudayaan yang dikenakannya, baik tradisi, keyakinan agama dan seluruh nilai yang ia yakini. Baru setelah itu, ia dapat masuk laboratorium dengan satu aturan baku yang harus dipatuhi, yakni bersikap netral dan objekif, di mana fakta-fakta lapangan harus diterima secara apa adanya dan subjektifitas tak boleh mempengaruhi data yang sedang diteliti, dalam arti harus objektif.
Nah, ternyata cara pandang semacam itu tak berlaku dalam ilmu-ilmu sosial, terlebih dalam politik. Netralitas dalam politik, kadang-kadang sangat penting, tetapi juga sering membuat orang yang memiliki sikap itu tampak tidak konsisten dan tak memiliki rasa keberpihakan.
Di antara kedua hal itu, hemat saya, dalam konteks sikap politik, maka yang paling penting adalah objektif. Objektif itu di samping berpihak pada kebenaran, juga di dalamnya tertanjap nada-nada perjuangan di mana orang dapat terlibat secara langsung dalam mencapai perubahan sosial sesuai dengan harapan-harapan yang diinginkan, yakni kemajuan, pemerataan dan kesejahteraan.
Pada wilayah inilah, seseorang tak boleh bersikap netral, betapapun netral itu sangat boleh dan perlu. Namun, bahasa politik harus dikembangkan pada tataran objektivitas untuk memperjuangan kebenaran di tengah ketimpangan dan ketidaadilan sosial. Walaupun toh sikap objektif ini mengharuskan kita untuk mendukung satu pasangan Cawapres dan kita tak lagi independen, maka itu sangat boleh dilakukan.
Bahasa politik semacam inilah yang harusnya terus diwacanakan, agar kita tak terjebak sekedar pada tataran politik identitas ataupun netral saja tanpa ada sikap yang jelas dalam berpolitik. Demokrasi yang sehat itu, jika merujuk pada terminologi di atas, harus mengedepankan sikap objektif agar suara-suara kebenaran mudah didengar. Bahasa politik pun dapat terus diwacanakan secara dinamis tanpa ada konflik dan gesekan yang berlebih-lebihan.
Sikap objektif ini penting, agar kita tak sekedar ikut-ikutan dan hanya dukung-mendukung tanpa mempertimbangkan narasi kebenaran yang dibangun dan diperjuangkan oleh kubu yang didukung. Sebab, kita ini kenyataannya sangat jauh dengan elite politik yang kita dukung, agar lebih berkualitas, sikap objektif kita ini kiranya bisa diperoyeksikan agar program-program politiknya dapat berimbas langsung pada masyarakat, terkhusus pada kemajuan. (***)
Oleh : Rohmatul Izad (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta)