BERITABETA.COM, Jakarta – Sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan sudah punah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali mencatat sebanyak 25 bahasa daerah di wilayah Indonesia bagian timur terancam menyusul punah, karena lebih rentan ketimbang di wilayah lain. Beberapa diantaranya ada di Maluku.

“Sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia dinyatakan sudah punah. Saat ini 25 bahasa daerah lainnya termasuk yang ada di Maluku dinyatakan terancam menyusul punah lantaran jumlah penunturnya yang berkurang,”

Ancaman ini disampaikan dengan berkaca pada kajian yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud terhadap 90 bahasa daerah di Indonesia. 11 bahasa daerah yang sudah punah, ini bertahan sejak 2017 lalu. Semuanya berasal dari Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara.

Selain itu, terdapat enam bahasa yang dikategorikan kritis, karena penuturnya berusia di atas 40 tahun dan jumlahnya sangat sedikit. Semuanya berasal dari Papua, Maluku, Maluku Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Kendati Indonesia bagian timur kental akan budaya, namun ragam budaya yang ada justru jadi salah satu alasan bahasa daerah di sana rentan punah.

“Tiap kampung bahkan tiap desa itu memang beda-beda bahasanya. Rentan sekali (punah) karena penuturnya sedikit. Lama-lama yang sedikit kalau tidak terlestarikan, orangnya meninggal lalu tidak terwariskan. Itu yang buat rentan,” tutur Pelaksana tugas Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Hurip Danu Ismadi di Kemendikbud, Senayan, pekan lalu.

Danu mengatakan hal ini berbeda dengan Indonesia bagian barat. Bahasa daerah seperti Bahasa Jawa dan Sunda banyak penuturnya dan masih dituturkan.

Kemendikbud mencatat per tahun ini terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia. Sebanyak 90 bahasa daerah di antaranya yang telah dilakukan kajian, ditemukan 26 bahasa daerah yang berstatus aman. Artinya, bahasa masih dipakai orang dewasa dan anak dalam etnik tertentu. Kategori ini termasuk Bahasa Jawa, Sunda, Minangkabau, Biak, Bugis, Madura, Bali dan masih banyak lagi.

Kemudian ada 19 bahasa lain yang masuk status rentan, artinya penutur bahasa tersebut jumlahnya tidak banyak. Ini termasuk bahasa-bahasa dari Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.

Selanjutnya ada tiga bahasa yang kini mengalami kemunduran. Artinya sebagian etniknya masih menggunakan bahasa tersebut, sedangkan sisanya tidak. Ketiganya berasal dari Maluku dan Papua.

Kemudian ada 25 bahasa daerah yang terancam punah. Artinya, penutur berusia di atas 20 tahun dan jumlahnya sedikit. Ini termasuk bahasa dari Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatera, Nusa Tenggara Timur. Kebanyakan berasal dari Papua.

Pelaksana tugas Kepala Badan Bahasa Dadang Sunendar mengatakan jumlah bahasa yang sudah dikaji masih sebagian kecil dari bahasa daerah di Indonesia yang diidentifikasi pihaknya.

Hal ini, kata Dadang, salah satunya karena terkendala jarak, sumber daya manusia dan biaya. Sebanyak 90 bahasa yang dikaji merupakan bahasa yang diprioritaskan karena banyak hal. Salah satunya karena jarak dan perhitungan bahasa yang dikira rentan punah.

Terkait upaya yang dilakukan agar menghindari angka bahasa daerah yang punah bertambah, Dadang mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat.

“Kalau lihat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009, di Pasal 41 disebutkan Pemerintah Pusat wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia. Pada Pasal 42 dikatakan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra daerah. Jadi utamanya di Pemerintah Daerah,” ujarnya.

Namun begitu, Danu mengatakan pihaknya juga ikut turun tangan menanggulangi hal ini. Upaya yang dilakukan misalnya dengan mengidentifikasi bahasa daerah yang belum ditemukan. Kemudian melakukan kajian terhadap bahasa agar didapati bahasa yang terancam punah.

Jika keduanya sudah dilakukan, lalu Badan Bahasa lanjut melakukan konservasi dan rehabilitasi. Konservasi dilakukan dengan mendokumentasikan bahasa daerah dalam bentuk kamus atau buku bacaan. Sedangkan revitalisasi dilakukan di satuan pendidikan dan komunitas masyarakat.

“Pendidikan di sekolah melalui muatan lokal. Lalu komunitas masyarakat berkaitan seni dan budaya,” tambahnya.

Dadang menjelaskan pada sekolah dasar di daerah-daerah umumnya proses pembelajaran masih diperbolehkan menggunakan bahasa daerah hingga kelas tiga. Setelah itu sekolah wajib menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNUI) Arief Rahman mengatakan inilah yang membuat bahasa daerah jarang dikuasai generasi muda. Salah satu penyebabnya karena kebanyakan tidak lagi menuturkan bahasa daerah di sekolah, rumah maupun di lingkungan pertemanannya. (BB-CNN)