Oleh : Amrullah Usemahu, S.Pi

(Catatan Pertama Dari Perjalanan Program KKP – JICA di 5 Kota di Jepang)

BERITABETA.COM – Jepang, negara matahari terbit yang penuh berbagai cerita. Kalau kita bercerita tentang negara yang terkenal dengan bunga sakuranya ini, takkan pernah berakhir akan berlanjut dan terus berlanjut ceritanya mulai dari budaya, ekonomi hingga kedisplinan masyarakatnya.

Sebagai salah satu negara maju, Jepang adalah negara kepulauan yang terletak di Benua Asia Bagian Timur (Asia Timur) dan memiliki sekitar 6.852 pulau besar maupun kecil. Pulau-pulau utama Jepang diantaranya adalah Pulau Hokkaido, Pulau Honshu, Pulau Shikoku dan Pulau Kyushu. Jepang juga merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang mencapai 29.751 km2. Ibukota negaranya adalah Tokyo.

Berbicara tentang Jepang, tentunya  tidak  lepas dari salah satu sektor unggulannya yakni perikanan. Pada tahun 2017 untuk produksi sektor perikanan tangkapnya adalah 3.358.000 juta ton. Perikanan budidaya 985.000 ton serta perikanan daratnya 6.200 ton dengan total keseluruhan produksi perikanan mencapai 4.304.000 ton.

Untuk kegiatan perikanannya 95% dikelola oleh nelayan skala kecil dan struktur entitas perikanan (dibagi atas) perikanan skala besar 56 unit, perikanan skala kecil dan menengah 5.344 unit, budidaya ikan laut 14.944 unit dan perikanan pesisir 74.163 unit (data 2013).

Yang menarik disini adalah skema pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang saat ini, merupakan kebijakan berbasis komunitas (kebijakan sukarela) yang diatur oleh FCA (Fisheries Cooperative Association) atau biasa kita sebut koperasi perikanan. Untuk kebijakan pengendalian perikanan dilakukan oleh pemerintah (Prefektur/provinsi maupun pusat).  Skema ini berkaitan dengan pengendalian masukan jumlah kapal, ukuran kapal serta alat tangkap dan cara penangkapan ikan.

Selain itu juga diatur pengendalian keluaran yang berkaitan dengan jumlah yang tangkap yang diperbolehkan (TAC) sebanyak 7 spesies serta melakukan pengendalian teknis yang mengatur periode penangkapan ikan. Ini dilakukan  guna perlindungan stok pemijahan, zona penangkapan ikan berupa perlindungan daerah pemijahan atau pembibitan dan mengatur ukuran mata jaring alat tangkap.

Pengelolaan kelautan dan perikanan di Jepang telah ada pada zaman Shogun dan Meiji sehingga telah tertanam sebagai warisan budaya yang harus terus dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Sistim pengelolaan sejak dulu itu telah berupa pembagian zonasi atau wilayah pengelolaan sehingga menjadi hak perikanan yang ditentukan di semua wilayah perikanan pesisir maupun darat. Setiap kelompok komunitas nelayan melakukan pengelolaan sumberdaya secara mandiri.

Oleh karena itu terlihat pada wilayah pesisir telah dibagi semua zonasi pengelolaan berdasarkan alat tangkap dan kuota tangkapan yang diberikan. Untuk hak pengelolaan bersama dalam sistem pengelolaan zonasi diberikan izin hak perikanan dari Gubernur Prefektur sesuai dengan Undang-Undang Perikanan.

Pemerintah Pusat memberikan hak pengelolaan perikanan kepada kelompok komunitas nelayan dan memfasilitasi serta mempertahankan pengelolaan sumberdaya mereka.  Pemerintah Jepang mengatur sisitim pengelolaan perikanannya dalam pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat/Community Based Resource Management (CBRM).

Model pengelolaan perikanan di Jepang karena terbentuk sejak lama.  Hampir sama dengan budaya sasi di Maluku dimana waktu panen,  areal dan kuotanya telah diatur oleh desa/negeri adat setempat.

Selanjutnya bagaimana kearifan lokal ini bisa diadopsi dalam regulasi dan kebijakan tanpa mengurangi nilai tradisi yang ada dengan memperkuat karakter masyarakat. (bersambung)