Hak Perikanan Menjadi Model Pengelolaan Perikanan Jepang
Oleh : Amrullah Usemahu, S.Pi
(Catatan Kedua Dari Perjalanan Program KKP – JICA di 5 Kota di Jepang)
‘Shippai wa seikō no moto’. Kegagalan adalah pangkal keberhasilan. Pepatah Jepang ini memiliki banyak makna, dalam sejarahnya Jepang sempat terpuruk pada masa perang dunia ke II dengan dibomnya kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 silam.
Selain itu pula negara ini pernah mengalami gempa dan tsunami besar yang merusak sebagian wilayah terdampak Namun bencana itu tidak menjadi penghalang untuk Jepang bangkit secara perlahan dan kemudian menjadi salah satu Negara maju hingga kini.
Budaya dan karakter masyarakat Jepang diantaranya semangat dan etos kerja, disiplin, menghargai waktu sangatlah tinggi. Saya (penulis) secara sepintas melihat dari beberapa situasi saat di Jepang seperti disiplin pemakai jalan dan berlalu lintas.
Misalnya saja harus menyeberang pada Zebra cross dan menunggu hingga sampai lampu hijau walau tidak ada kendaraan yang melintas alias sepi ataupun setelah makan di restauran kemudian tempat makannya di kembalikan pada tempat yang disediakan hingga sampai pada budaya antri.
Walau ini terlihat simple namun dari sikap kedisplinan inilah yang menjadi karakter masyarakat Jepang untuk terus berkarya dan maju. Seperti halnya pada sektor kelautan dan perikanan. Berdasarkan data yang dilansir dari The Daily Record 2019, terkait Negara penghasil ikan terbesar dunia diantaranya China,India,Indonesia,Peru,Amerika Serikat,Chili, Jepang, Thailand, Vietnam dan Rusia.
Walau dalam posisi peringkat 7 dunia sebagai penghasil ikan terbesar tetapi Jepang tetap memakai prinsip kelestarian dan keberlanjutan dalam manajemen pengelolaan perikanannya. Ikan hasil produksi dalam negeri digunakan untuk memenuhi konsumsi lokal masyarakat yang begitu tinggi bahkan melakukan impor ikan untuk memenuhinya.
Jepang terus menata pengelolaannya dengan baik dengan melakukan melalui prinsip-prinsip hak penangkapan ikan seperti perlindungan nelayan pantai skala kecil dari industri perikanan skala besar, melibatkan nelayan dalam membuat kebijakan-kebijakan untuk manajemen penggunaan area penangkapan dan sumberdaya perikanan lainnya. Semua itu dilakukan dengan menghargai kearifan lokal masyarakat setempat terkait pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat tradisional yang terbentuk dalam koperasi-koperasi perikanan.
Sangat menarik belajar terkait pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan di Jepang. Salah satunya dengan melihat transisi dan sejarah perikanan yang telah berlangsung lama. Kalau kita lihat kampung nelayan di Jepang awalnya terbentuk dari orang-orang yang memiliki mata pencaharian menangkap ikan, kerang, rumput laut dan lainnya di daerah teluk kecil. Sehingga secara tradisi berlaku konvensi bahwa yang dapat melakukan aktivitas perikanan di suatu daerah hanya penduduk kampung tersebut, dan orang dari kampung lain tidak diperkenankan.
Terhadap tradisi itu yang telah turun temurun ratusan tahun lamanya kemudian Negara dalam hal ini pemerintah melakukan legislasi hak usaha perikanan dalam bentuk hak perikanan bersama, yang diberikan kepada kelompok usaha perikanan (persatuan kampung nelayan) pada wilayah tertentu dan dalam periode yang ditentukan.
Kelompok usaha perikanan inilah kemudian berkembang menjadi badan hukum dan menurut UU Jepang tahun 1949 diatur tentang koperasi perikanan, dan kemudian melalui hak perikanan bersama itulah, koperasi perikanan melakukan kendali terhadap perairan laut dan garis pantai pada wilayah yang izinnya diberikan kepadanya.
Peran koperasi perikanan sangatlah strategis yang secara kelembagaan dapat mengkoordinir aktifitas nelayan dalam berbagai kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan seperti memberikan layanan pembinaan nelayan, pemasaran,pengolahan dan pemasokan hasil perikanan, layanan perkreditan, urusan umum, jasa prasarana, hingga asuransi bagi nelayan.
Selain itu pula hak pengelolaan perikanan melalui peran koperasi, berdasarkan hak perikanan yang diberikan. misalnya saja hak menjalankan usaha perikanan tertentu pada perairan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu secara ekslusif (biasanya 3-5 km dari garis pantai) dan kemudian ditetapkan dengan lisensi dari gubernur prefektur yang hak usaha tersebut dilarang untuk dipinjamkan kepada nelayan atau orang lainnya.
Hak perikanan kemudian dibagi menjadi hak perikanan bersama yang merupakan hak nelayan lokal untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan secara bersama perairan tertentu yang lisensi atau izinnya diberikan kepada koperasi perikanan lokal yang mengelola hak perikanan dan jangka waktu selama 10 tahun.
Kemudian hak perikanan terbatas yakni hak untuk melakukan usaha kultivasi/budidaya pada area tertentu/spesifik 5 jenis biota dan juga diprioritaskan bagi koperasi perikanan lokal dengan jangka waktu 5-10 tahun dan terakhir adalah hak perikanan tetap yakni hak menjalankan usaha yang kedalaman instalasi Jala/jaringnya lebih dalam dari 27 meter, pada pengelolaan perikanan ini menjalankan usaha dengan menempatkan/memakai alat tangkap ikan dengan masa berlakunya selama 5 tahun.
Yang menarik disini juga adalah untuk memantau kegiatan pengelolaan perikanan di setiap Prefektur/Provinsi ada komite koordinasi perikanan laut yang dibentuk pada masing-masing provinsi terdiri dari 15 anggota yang dimana 9 orang anggota adalah perwakilan nelayan (tergantung pemilihan oleh nelayan), 4 orang adalah anggota berpengalaman akademis yang diseleksi oleh gubernur dan 2 orang lainnya adalah perwakilan kepentingan publik yang juga diseleksi oleh gubernur yang masa kerjanya dalah 4 tahun.
Guna pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan pemerintah Jepang kemudian menerapkan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (Community based resource management/CBRM) dengan Filosofinya dari nelayan, oleh nelayan dan untuk nelayan. Karena berkaitan dengan pengelolaan potensi perikanan yang berkelanjutan maka butuh partisipasi aktif dan kesadaran dari semua nelayan. Manfaat CBRM yang dibuat ini bagi nelayan dapat memutuskan aturan dan regulasi mereka sendiri dengan menerapkan aturan lokal secara sukarela dan fleksibel dalam melestarikan serta memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada khususnya dalam melihat serta menyesuaikan fluktuasi sumberdaya dan lingkungan.
Dampak positif bagi pemerintah adalah terkait biaya pengelolaan dari sisi monitoring, kontrol dan pengawasan sangatlah kecil karena dilakukan pemantauan bersama dan adanya sanksi sosial, selain itu biaya pengumpulan data usaha perikanan juga menjadi kecil karena telah terkordinir dengan baik melalui koperasi perikanan.
Bercerita tentang majunya perikanan di Jepang takkan pernah berakhir, karena selalu ada saja hal-hal atau teknologi baru yang diinovasikan. Walau sementara Jepang masih tetap mengimpor produk perikanan untuk kebutuhan konsumsi masyarakatnya yang begitu tinggi, namun tak menjadikan Jepang harus melakukan eksploitasi besar-besaran di sektor perikanan yang berdampak pada over fishing.
Banyak hal lagi yang harus kita pelajari dari pengelolaan sektor kelautan dan perikanan di Jepang yang dapat kita adopsi untuk diimplementasikan di Indonesia dan tidak ada kata terlambat untuk menjadi maju serta menjadikan kelautan perikanan sebagai leading sector pembangunan Indonesia masa depan. (Bersambung)