“Gugatan dalam Pengadaan Tanah; Telaah Praktis dalam Hukum”
Oleh: Jermias Rarsina (Advokat dan Dosen Hukum UKI Paulus Makassar)
“Masyarakat pencari keadilan berhak mempertahankan dan melindungi hak kepemilikan atas tanah mereka yang terkena proyek pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Jika merasa dirugikan dengan cara menggugat di pengadilan. Sekalipun harus melawan negara dengan tujuan pembangunan, sepanjang rakyat dapat membuktikan tidak ada pelanggaran atas kaidah/norma dan prinsip hukum yang diperbuatnya dalam mempertahankan hak kepemilikannya atas tanah,”
HAK milik dalam terminologi hukum agraria sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) memberi arti hak turun temurun, terkuat terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 UUPA.
UUPA sebagai Hukum Nasional tentang Tanah telah mengatur secara universal hak-hak atas tanah di Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1). Salah satu dari jenis-jenis hak atas tanah tersebut adalah Hak Milik.
Tanah dalam status hak milik dalam hubungannya dengan pasal 6 UUPA adalah berkaitan dengan fungsi sosial. Artinya bahwa semua hak atas tanah, termasuk hak milik mempunyai fungsi sosial.
Fungsi sosial tanah salah satu manifestasinya adalah kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Arti hukum ‘hak milik atas tanah’ selain mengandung arti menurut UUPA, juga di dalam KUH Perdata pasal 570 memberikan arti hak milik. Yaitu hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya.
Sepanjang tidak bertentangan dengan UU atau peraturan umum dan tidak mengganggu hak orang lain. Namun tidak mengurangi kemungkinan dapat diberlakukan pencabutan hak dimaksud demi kepentingan umum, berdasarkan ketentuan UU dan dengan pembayaran ganti rugi.
Fungsi sosial tanah dalam kaitan dengan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum secara ketentuan khusus (Lex Specialis) telah diatur dalam UU No. 2 tahun 2012. Juga terdapat peraturan teknis lainnya sehubungan dengan ganti rugi pengadaan tanah, antara lain Perpres Nomor. 71 tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang telah dirubah dengan Perpres No. 40 tahun 2014 (perubahan ke I), Jo Perpres No. 99 Tahun 2014 (perubahan ke II), Jo Perpres No. 30 Tahun 2015 (perubahan ke III), Jo Perpres No. 148 Tahun 2015 (perubahan ke IV).
Hak milik kebendaan menurut Hukum Perdata termasuk salah satunya adalah tanah sebagai benda tetap/tidak bergerak, yang oleh hukum agraria (UUPA) menyebutnya sebagai hak milik atas tanah.
Kedua aturan hukum dimaksud mengakui hak milik atas tanah, dan memiliki status fungsi sosial dengan dapat memberlakukan pencabutan hak atas tanah. Dengan kata lain, pemegang hak atas tanah harus memiliki hak hukum (recht title), agar supaya mendapat hak berupa ganti rugi pembayaran pengadaan tanah.
Penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum pada prinsipnya diselenggarakan dengan sistem ganti rugi yang layak sesuai tata cara pemberian ganti rugi sebagaimana berdasarkan regulasi pengadaan tanah.
Hubungan hukum antara penyelenggaraan pengadaan tanah dan ganti rugi mempunyai korelasi dengan sifat keperdataan yang melekat atas tanah yang dipunyai (memiliki hak) atau yang dikuasai oleh setiap orang yang memiliki kepentingan yang melekat haknya atas tanah.
Penulisan ini hanya menekankan recht title (hak hukum) pada hak atas tanah berupa hak milik. Dimana jika pemegang hak milik atas tanah dapat membuktikan kepemilikan lahan tanahnya masuk dalam wilayah pengadaan tanah, maka secara hukum wajib untuk memperoleh ganti rugi baik terhadap tanah itu sendiri, maupun benda-benda lainnya yang melekat atas tanah.
Panitia pengadaan tanah dalam menjalankan tugasnya mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan kepada instansi/lembaga yang membutuhkan. Tapi kadang membuat kekeliruan atau kesalahan dalam menentukan dan menetapkan siapa pemegang hak atas tanah yang berhak memperoleh ganti rugi.
Kekeliruan dimaksud bisa saja disebabkan oleh ketidakcermatan atau ketidak hati-hatian panitia pengadaan tanah. Penyebab lain, mungkin juga secara sengaja menyembunyikan atau menghilangkan asal-usul kepemilikan tanah guna dialihkan kepada orang lain dengan tujuan bekerja sama memperoleh uang ganti rugi. Atau masih banyak pola modus operandi lainnya yang dibuat oleh pejabat adminitrasi tanah dalam hubungannya dengan panitia pengadaan tanah, untuk membuat pihak yang berhak atau pemilik tanah yang sebenarnya tidak memperoleh ganti rugi.
Dalam praktek pengadaan tanah di Indonesia banyak dijumpai konflik pertanahan mengenai status kepemilikan tanah. Kesemuanya itu berpotensi terjadi dalam kegiatan pengadaan tanah.
Teori dalam ilmu hukum tidak mengatur secara teknis dan taktis tentang bagaimana cara mempertahankan dan melindungi pemilik tanah yang sebenarnya agar tidak diambil haknya begitu saja.
Apalagi jika faktanya secara fisik, pemerintah secara paksa masuk mengerjakan tanah dengan alasan untuk pembangunan demi kepentingan umum. Masyarakat pemilik tanah menjadi tidak berdaya dari segi perlindungan hukum atas hak kepemilikannya.
Sesuai aturan hukum menurut UU Nomor 2 Tahun 2012 pada pasal 10 huruf b, pengadaan tanah harus diawali kegiatan konsultasi publik, yaitu proses komunikasi dialogis atau musyawarah antara pihak yang berkepentingan. Ini harus dilakukan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Konsultasi publik dimaksud berupa musyawarah mufakat dalam pengadaan tanah untuk menentukan hak atas tanah berkaitan dengan kepemilikan dan/atau yang berhak.
Dalam prakteknya, jika Surat Keputusan Penetapan Wilayah Pengadaan Tanah telah dikeluarkan oleh Kepala Daerah berdasarkan hasil kerja panitia pengadaan tanah, seringkali menimbulkan banyak problem hukum, termasuk sengketa kepemilikan lahan guna mempertahankan hak milik masyarakat atas tanah.
Ada 2 mekanisme yang bisa ditempuh dalam sengketa kepemilikan lahan yaitu penyelesaian keberatan adminstratif, hingga bermuara sampai pada sengketa Pengadilan, baik di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun di Pengadilan Negeri untuk gugatan perdata, sesuai prosedurnya.
Untuk sengketa di PTUN, materi gugatan biasanya berkaitan dengan Keputusan pejabat administrasi yang bersifat onrechtmatigee overheid daad (hukum administrasi) atau penyalagunaan kewenangan oleh pejabat adminitrasi pemerintahan, sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1) dan (2) Jo Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 30 tahun 2014 Tentang Adminstrasi Pemerintahan.
Selain sengketa administrasi, penggugat juga dapat menggunakan terobosan gugatan perdata hak kepemilikan atas tanah. Dengan substansi gugatan tentang perbuatan melawan hukum dalam bidang perdata atau yang disebut onrechtmatigee daad (hukum perdata), yang sering kita kenal di pengadilan sebagai Gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum).
Norma hukum Sengketa PMH diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata, yang dalam teori hukum perdata mengartikan ‘melawan hukum’ termasuk kategorinya adalah ‘mengambil hak orang lain secara tidak sah’, termasuk hak atas tanah sebagai benda tetap.
Hemat penulis, terlepas dari hasil dari sengketa di pengadilan untuk menentukan siapa yang kalah atau menang dalam sengketa administrasi dan/atau perdata dimaksud, namun minimal masyarakat pencari keadilan dapat memahami esensi dari mempertahankan dan melindungi hak kepemilikan atas tanah.
Terutama yang terkena proyek pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, adalah dengan menggugat di pengadilan jika merasa dirugikan, sesuai dengan proporsi substansi materi gugatan.
Rakyat berhak mempertahankan hak milik atas tanah sekalipun harus melawan negara dengan tujuan pembangunan, karena itu hak dasar mereka yang absolut (mutlak), sepanjang rakyat dapat membuktikan tidak ada pelanggaran atas kaidah/norma dan prinsip hukum yang diperbuatnya dalam mempertahankan hak kepemilikannya atas tanah (***)