Oleh: Jermias Rarsina (Advokat dan Dosen Hukum UKI Paulus Makassar)

TANAH dalam perkembangan di Indonesia memiliki nilai historikal (sejarah) yang panjang, mulai dari zaman penguasaan adat secara total (pra kolonial), zaman kolonial sampai era kemerdekaan. Leluhur bangsa ini telah menitik beratkan pandangan konvesional kepada anak cucunya. Bahwa hak milik adalah hak turun temurun terkuat terpenuh yang dapat diwarisi.

Inti pemikiran konvesional leluhur kita ini dikenal sebagai ‘hak milik secara adat’, yang kemudian menjadi kaidah/norma, lalu kemudian menjadi ‘hukum adat’. Pandangan konvensional ini telah menjadi konsepsi yuridis formal yang diadopsi masuk kedalam Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.

Sebagai buktinya dapat dilihat dalam pasal 20 ayat (1) UUPA, secara tegas memberi arti ‘hak milik adalah hak turun-temurun terkuat terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah’.

Hak milik atas tanah rupanya mendapat perlakuan istimewa (preivileg) yang hanya diberikan kepada kita selaku bangsa Indonesia. Dasar hukumnya terlihat jelas dalam pasal 21 ayat (1) UUPA, yang secara tegas memberi batasan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Diluar anak bangsa (bukan WNI) tidak  dapat beroleh hak milik (versi Hukum Agraria Indonesia).

UUPA sebagai hukum nasional yang mengatur tentang hak milik, juga berkohesi (senyawa) dengan kitab hukum perdata (KUH Perdata) buatan kolonial yang sampai saat ini masih kita gunakan.

Sifat senyawa kedua aturan hukum tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 570 KUH Perdata. Intinya menegaskan bahwa ‘hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan  sepenuhnya’.

Makna hukum dari kata ‘kebendaan’ adalah termasuk tanah sebagai benda tetap atau tidak bergerak.

Tidak cukup pada tafsiran hukum semata, pada norma lainnya juga dipertegas tentang hak milik atas tanah, sebagaimana tertuang dalam pasal 571 KUH Perdata yang berbunyi ‘hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa yang di atasnya dan di dalam tanah’.

Sangat jelas terlihat, Negara lewat aturan hukum yang telah ditetapkan sama sekali tidak menafikan bahwa hak milik atas tanah bersifat turun temurun terkuat terpenuh dan hanya dipunyai oleh rakyat Indonesia, meliputi segala sesuatu di atas dan di dalam tanah, tanpa dapat diganggu gugat. Itu berarti negara begitu besar memberikan proteksi hukum kepada rakyat Indonesia atas tanah berstatus hak milik.

Sedikit merefleksi sejarah perkembangan hukum Agraria Indonesia, bahwa di masa lampau (kolonial) berlaku konsep ‘Negara boleh memiliki tanah”, atau dikenal dengan “Asas Domain Verklaring”.

Hal itu berarti Negara dapat bertindak sebagai pemilik tanah. Konsepsi ini dilatar belakangi oleh pemikiran kolonial sebagai penjajah untuk merampas hak-hak rakyat, terutama tanah bumi putra yang berstatus hukum (recht title) sebagai tanah hak adat.

Indonesia merdeka di tahun 1945 dan kemudian di tahun 1960 lahirlah UUPA sebagai hukum agraria nasional.

Lahirnya UUPA membuat konsepsi pemikiran pengakuan hak-hak atas tanah di bawah otoritas (kewenangan) Negara menjadi berubah total. Negara dalam kebijakan politik Hukum Agraria bukan lagi menganut konsep “Domain Verklaring” yaitu negara memiliki tanah, namun berubah menjadi Negara menguasai tanah.

Konsepsi negara menguasai tanah dalam UUPA tercetus dalam pasal 2 ayat (1), yang kemudian penjabaran selanjutnya secara rinci mengenai hak menguasai Negara diatur pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)  jo pasal 4  ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) jo pasal 8 dari UUPA.

Dasar hukum dimaksud memberi batasan atau terminologi tentang Negara menguasai hak atas tanah sebagai wewenang, meliputi :

  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan;
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang;
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum; yang kesemuanya berhubungan dengan unsur-unsur agraria yang meliputi: bumi, air dan ruang angkasa dalam batas-batas tertentu, serta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Kewenangan Negara mengenai hak atas tanah dari penjelasan normatif di atas, telah mengisyaratkan kepada kita bahwa sesungguhnya rakyat Indonesia memiliki kedaulatan tertinggi sebagai pemilik tanah, karena mewarisi hak milik yang sifatnya turun temurun terkuat terpenuh dan tidak dapat diganggu-gugat. Sedangkan Negara hanya berwenang untuk menguasai atau berhak mengatur semata, yang dalam perspektif politik hukum agararia disebut Negara memiliki otoritas atau kewenangan dalam bertindak.

Hukum Agraria telah memberi kewenangan absolut bahwa Negara tidak boleh memiliki tanah, dan rakyat Indonesia boleh memiliki tanah atas pengakuan hak milik. Namun sayangnya, contoh kecil saja yang masih diterapkan secara keliru adalah, di sana sini masih kita jumpai papan bicara yang tertancap pada tanah bertuliskan: “Tanah ini Milik Negara”.

Kita telah merdeka dalam kehidupan agraris, namun memahami makna sesungguhnya tentang ‘hak menguasai dan memiliki’ masih sangat membutuhkan proses pencerahan hukum yang hakiki, agar tidak keliru dalam tafsiran dan implementasi mengenai perbedaan antara makna kata menguasai dan memiliki. Sehingga Negara dapat memahami eksistensinya dalam perspektif hukum agraria yaitu, tidak bertindak sebagai pemilik tanah dalam wilayah indonesia, namun dalam fungsi kewenangannya sebatas hak menguasai semata, bukan untuk memiliki (***)