Ganti Rugi Lahan Bendungan Waeapo Harus Berasaskan Keadilan
Oleh : Jermias Rarsina (Advokat dan Dosen Hukum UKI Paulus Makassar)
MASALAH ganti rugi lahan masyarakat adat yang terkena imbas proyek nasional pembangunan Bendungan Waeapo di Kabupaten Buru pengaturannya harus dilaksanakan secara baik dan benar sesuai maksud dan tujuannya dengan melihat kepada berbagai segi.
Nilai proyek bendungan mencapai Rp. 2,1 triliun itu adalah nilai yang sangat fantastik. Sehingga pengadaan tanah senilai Rp. 3,5 milyar bagi proyek pembangunan Bendungan Waeapo untuk kepentingan umum yang di dalamnya masuk wilayah adat masyarakat, tidak boleh menimbulkan masalah dalam prakteknya.
Salah satunya adalah, hak memperoleh ganti rugi atau pemberian santunan yang layak untuk kesejahteraan masyarakat yang terkena kegiatan pengadaan tanah. Pengadaan tanah pada lahan masyarakat adat untuk proyek Bendungan Waeapo di Kabupaten Buru yang memerlukan tanah seluas 400 hektar, dalam hubungannya dengan ganti rugi lahan secara hukum tidak terlepas dari status hak atas tanah.
Fenomena masyarakat adat di wilayah tersebut yang menyatakan keberatan terkait besaran pemberian uang santunan dalam wilayah adat yang mereka tempati dapat dibenarkan, apalagi jika belum ada yang menerima.
Secara umum, UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah pada pasal 41 sampai pasal 44 memberikan hak kepada pemilik lahan sebagai pihak yang berhak memperoleh ganti kerugian.
Akan tetapi sebelum masuk kepada penetapan ganti rugi dimaksud, tentunya harus melewati berbagai prosedur awal lainnya. Seperti konsultasi publik yang melibatkan instansi berwenang dan terkait, penelitian obyek hak atas tanah dan subyek hukum pemegang haknya, dan musyawarah mufakat antara panitia pengadaan tanah dengan masyarakat pemegang hak atas tanah.
Bahkan melibatkan pula tim apraisal (juru taksir) yang memberi penilaian mengenai taksasi harga. Semuanya secara regulasi bersifat normatif, namun dalam pelaksanaan harus berasaskan prinsip pengadaan tanah yang bersifat menghilangkan perbuatan spekulatif dan komersialis.
Itulah yang mendorong prinsip pengadaan tanah berasaskan keadilan, keterbukaan, keikutsertaan, kesepakatan dan kesejahteraan masyarakat yang berkepentingan untuk mencapai tujuan bersama dari kegiataan pengadaan tanah.
Kalau konteks persoalan hukum masyarakat adat di Kabupaten Buru yang tanahnya terkena proyek pembangunan bendungan seluas 400 hektar yang begitu luas, lalu kemudian mekanisme pembayaran lahan dengan memberi santunan? Maka cukup beralasan jika warga mempertanyakan hal tersebut.
Sekalipun memang ada dasar hukumnya yaitu Perpres No. 62 tahun 2018 tentang Pengadaan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional, berkaitan dengan masyarakat yang menguasai tanah negara atau tanah pemerintah, pemerintah daerah, BUMN atau BUMD.