BERITABETA.COM,  Namlea – Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku dituding telah mencaplok lahan masyarakat adat seluas 422 ha untuk proyek Bendungan Waeapo tanpa ada ganti rugi tanah.

Menyikapi hal ini,  Robby Nurlatu SH, Anggota DPRD Buru dari Partai Nasdem menyatakan, sangat menyayangkan hutan adat milik masyarakat seluas 422 ha diambil begitu saja oleh negara lewat Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku, tanpa ada ganti rugi tanah satu rupiahpun .

Dalam keterangan Pernya,  Jumat (18/6/2020), Roby Nurlatu SH mengungkapkan, negara melalui BWS Maluku hanya menyediakan uang Rp.3,56 milyar untuk memberikan “santunan” kepada 39 masyarakat adat.

Uang recehan yang dimaksud tadi untuk empat komponen pembiayaan, yakni: 1). Biaya relokasi ketel pengolahan minyak kayu putih Rp.10,8 juta, 2). Biaya relokasi makam Rp.147 juta, 3). Biaya potensi kehilangan pendapatan udah Pengolahan minyak kayu putih Rp. 2,878 milyar dan 4).Biaya penggantian tanaman non kayu putih Rp.1,474 milyar lebih.

Ungkap politisi dari kalangan anak adat Waeapo ini, bahwa Bendungan Waaeapo dalam perencanaan awal  titik tidak berada di kokasi yang sekarang. Namun kemudian bergeser ke hutan adat milik marga Wael, Latbual dan Nurlatu.

Namun hutan milik tiga marga ini, tanpa sepengetehuan mereka telah dimasuksn ke dalam kawasan hutan lindung seluas 422 ha dari rencana 580 ha yang nanti dipakai untuk proyek Bendungan Waeapo.

Proyek bendungan ini menelan investasi Rp 2,223 triliun. Terdiri dari pembangunan fisik meliputi Paket 1 dengan kontraktor PT Pembangunan Perumahan PT Adhi Karya (KSO) senilai Rp 1,069 triliun, Paket 2 dengan kontraktor PT Hutama Karya dan PT Jasa Konstrusksi (KSO) senilai Rp 1,013 triliun dan kontrak paket supervisi senilai Rp 74 miliar dengan konsultan PT Indra Karya.

Saat pertemuan dengan Bupati Buru bersama forkopimda, tokoh adat, tokoh masyarakat adat dan pemilik lahan  di Resort Jikumerasa tanggal 17 Juli lalu, juga tidak terdapat konsultan dari PT Indra Karya, melainkan Pegawai dari Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku, Sofyan Jali SH yang didaftar dokumen tercatat sebagai konsultan.

Hal ini terungkap, dari dokumen perjalanan yang diteken Gustu Provinsi Maluku untuk perjalanan dinas monitoring proyek oleh BWS.

Menanggapi lebih jauh permasalahan ganti rugi ini, wakil rakyat di DPRD Buru ini menegaskan, bahwa pada prinsipnya masyarakat adat dan dirinya selaku anak adat, semua sangat mendukung program pemerintah.

“Yang penting jangan merugikan rakyat,”pinta Robi.

Ia mengaku punya pandangan yang berbeda terkait diberlakukannya perpres tersebut. Karena penggunanannya ditetapkan di ganti kerugian proyek Bendungan benar-benar dangat merugikan pemilik lahan.

Dikatakan merugikan, sebab yang dibayar atau dapat dinilai oleh Tim kajian Penilaian Publik (KJPP) hanya tanaman dan pohon kayu putih. Sementara yang lain-lain, seperti Kayu Meranti, rotan,  tempat keramat , dan Tanah tidak ada dalam komponen ganti rugi.

Lokasi Pembangunan Bendungan Waeapo, Kabupaten Buru

“Tempat keramat dan lain lainnya tidak  dinilai oleh Tim Kajian Penilaian Publik (KJPP) dalam ganti rugi tanah, serta jenis lainnya pada wilayah tersebut tak ada ganti rugi,”sesalkan Roby.

Robi juga menyoalkan Perpes Nomor 62 tahun 2018, yang baru diteken di Bulan Agustus oleh Presiden Jokowi, terutama pasal 8 ayat (3).

“Dan kalimat yang sebutan santunan mestinya tidak perlu dipakai.Karena  kalimat santunan ini perlu dijelaskan secarah ilmiah sebab berpotensi melemahkan Rakyat dalam hal ini pemilik lahan,”kecam Robi Nurlatu.

Beber  Robi, penggunanaan Perpres Nomor 62 tahun 2018 dalam ganti rugi laham masyarakat adat di proyek Bendungan Waeapo, sangat bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2012, pasal 3, Tentang Ganti rugi lahan serta tanah yang ada dlm  wilayah dampak sosial kemasyarakatan akibat  bendungan tersebut.

Seharusnya ganti rugi itu mengacuh pula produk hukum yang lain,  antara lain Perpes 107 tahun 2016 tentang Ganti rugi  pengadaan tanah . Perpes Nomor 3 tahun 2016 tentang Proyek starategis Nasional waduk, bendungan, bandara, pelabuhan dan lainnya.

Hemat Robi, Perpres Nomor 62 pasal 8, hanya baru bisa diberlakuksn, bila pemerintah dan DPR RI merevisi UU Nomor 2  Tahun 2018 dan atau dicabut pasal 33 tentang Ganti Rugi Tanah.”Kalau tidak dicabut, maka perpres tersebut sangat bertentangan dan sangat merugikan kami masyarakat pemilik lahan,” ungkap Robi Nurlatu.

Ia juga meminta Kementrian terkait dalam hal ini termasuk pula Dinas kehutanan agar harus bertanggung jawab, dengan  penetapan Status Kawasan Hutan Lindung pada wilayah hutan milik masyarakat adat.

Sebab kata dia, sebelumnya hutan itu adalah hutan produksi yang dikonversi masyarakat karens di dalam kawasan itu ada lahan kayu putih, pohon meranti dan rotan yang selalu diambil dan diolah hasilnya oleh pemilik lahan.

“Ini masuk dalam hutan produksi Lahan kayu putih dan hutan konvensi  milik adat yang dilindungi oleh  Negara dan  bukan Hutan lindung karena tidak memenuhi syarat hutang Lindung “tegasnya.

Untuk itu, Robi Nurlatu menyarankan Presiden dan bawahannya untuk mengkaji ulang lahan masyarakat adat karena hak adat juga dilindungi dan diakui oleh negara. Harus ada ganti rugi yang lain sesuai amanat undang-undang.

BPN dan Tim Kajian Penilaian Publik (KJPP) harus menghitung ulang lagi dan memasukan luas tanah 422 hektar termasuk pohon kayu meranti di dalam kawasan tanah itu.

“Kepemilikan ini harus juga diganti kerugiannya kepada masyarakat adat pemilik lahan, sebab tanah  di hutan Pulau Buru ini bukan tanah negara, dan bukan juga tanah negara yang pernah dibeli atau dikontrakkan dari masyarakat adat,” kembali kata Robi Narlatu.

Ditambahkannya, dalam pertemuan kemarin ada 39 orang yang datang dan ada diwakili telah menyepakati dengan pemberian santunan Rp.3 56 milyar tersebut. Tapi mereka bukan memiki seluruh lahan sebanyak 422 ha . Mereka hanya punya sebagian lahan kayu putih dan beberala lahan kebun yg dinami kasbi (singkong),pisang, kelapa dan cengkeh.

Tapi belum ada solusi ganti rugi tanah seluas 422 ha milik lahan masyarakat adat.”Ini perlu cermati oleh semua pihak agar kita tidak kaku dalam menafsirkan UU , maupun peraturan lainnya,”pungkas Robi Nurlatu (BB-DUL)