BERITABETA.COM, Namlea – Wakil Bupati Buru, Amustofa Besan SH mengaku tidak lagi dilibatkan dalam  masalah ganti rugi lahan masyarakat adat yang terkena proyek bendungan Waeapo senilai Rp.2,1 triliun.

Hal itu diungkapkan Wakil Bupati (Wabup) Buru, Amustofa Besan SH saat menerima massa pendemo dari GMNI dan IMM yang kembali turun ke jalan melakukan aksi demo di Namlea terkait proyek Bendungan Waeapo, Kamis (23/7/2020).

Saat bertemu para pendemo, Wabup pertama kali menyampaikan terimakasih kepada para peserta aksi yang berkeinginan untuk bertemu dengan Pemda. Tadinya GMNI dan IMM ingin bertemu Bupati Buru Ramli Umasugi, tapi yang bersangkutan tidak masuk kantor.

Kemudian Wabup menanyakan aspirasi apa yang menjadi tuntutan GMNI dan IMM. Ia sempat mengingatkan, jangan sampai terdapat tendensi lain atau ditunggangi oleh pihak dalam demo ini.

Wabup berharap,  aksi ini murni dari peserta aksi sendiri. Peserta aksi harus memiliki prinsip dalam memperjuangkan apa yg menjadi tuntutan masyarakat adat pemilik lahan.

Akui Wabup, secara fisik  hanya lewat dan melihat secara kasat mata memang ada pembangunan. Namun  tidak bisa menjastis karena harus dibuktikan dengan data, dan harus ada konsultan yang menghitungnya.

Terkait dengan sembilan poin yang disampaikan masyarakat adat dan wajib dipenuhi Balai Wilayah Dungao (BWS) Maluku, Wabup mengaku pernah bersama dengan istansi terkait melakukan sosialisasi kepada masyarakat adat dan dihadiri oleh pihak Pemprov Maluku yakni, Kepala Biro Pemerintahan, Biro Hukum, Kepala Balai Wilayah Sungai, Perwakilan Pertanahan Maluku.

Dari 9 poin kesepakatan itu, ada yang belum terselesaikan. Selaku anak adat, ia tidak lagi terlibat sesudah proyeknyaulai berjalan di lapangan dua tahun lampau.

Di hadapan pendemo, Wabup mengaku pula, kalau  tidak pernah dilibatkan dalam rapat saat terdapat beberapa permasalahan urjen. Padahal Wakil Bupati Buru dihubungi oleh masyarakat adat.

Walau terpinggirkan, sebagai Wakil dari kader PDI, Wabup tidak tinggal diam dan tetap melakukan monitoring terhadap pembangunan Bendungan yang merupakan amanat langsung dari Presiden.

“Tujuan utamanya adalah semoga program ini berjalan lancar karena Bendungan dapat menjadi jawaban untuk mewujudkan Buru sebagai lumbung pangan Maluku,”ujar wabup.

Wabup sempat menyentil SK Gubernur Maluku No 386  yang mengatur tentang santunan terhadap beberapa orang masyarakat yang terkena dampak pembangunan, dengan besaran santunan sebanyak 3,5 M.

“Aturan tersebut Pemda tidak ikut campur tangan dan merupakan kewenangan Pemprov Maluku,”imbuh Wabup Amos.

Wabup berjanji akan meneruskan keinginan GMNI dan IMM kepada Bupati agar dilakukan dialog publik terkait dengan ganti rugi lahan masyarakat adat seluas  400 ha lebih itu.

Ia mendukung tuntutan aksi untuk melakukan proses dan tahapan pelaporan yang akan ditempuh oleh GMNI dan IMM. Khusus pembangunan asrama mahasiswa adat di Ambon, tegasnya, sampai saat ini belum ada penjelasan dari BWS.

Demo GMNI dan IMM itu dipimpin Dahlan Fatah fan Hamid Umasugi. Sebelum berdemo di kamtor bupati, GMNI dan IMM terlebih dahulu demo di kawasan Simpanglima Namlea.

Para pendemo juga membawa pamflet bertuliskan, “BWS Segera Realisasikan pembangunan Asrama Mahasiswa Soar Pito Soar Pa di Ambon”.

“BWS jangan mengkebiri UU No 2 Tahun 2012 dengan Pepres 62 Tahun 2018 untuk ganti rugi lahan. Pihak BWS harus merealisasikan 9 Poin kesepakatan dengan masyarakat adat,”.

“Ada indikasi apa.?? Pekerjaan Bendungan Belum dimulai.!! BWS Jangan Interfensi Kontraktor Talalu untuk mulai pekerjaan.”

Inti dari orasi – orasi yang disampaikan antara lain, terkait 9 permintaan saat pertemuan awal antara pihak BWS Maluku Pemda Buru dan masyarakat adat yang menjadi pondasi awal kesepakatan dengan masyarakat adat pada Februari tahun 2018 yang dimana semuanya harus segera direalisasikan.

Para pendomo meminta BWS segera realisasikan hak – hak masyarakat, yaitu ganti rugi lahan warga masyarakat yang terdampak pembangunan Bendungan Waeapo, karena masyarakat adat akan terus menagih dan menjadi penghambat jalannya pembangunan Bendungan Waeapo.

Pendemo juga mengaggap BWS Maluku Radikal anti Pancasila, karena penjabaran dari Turunan UU No.02 tahun 2012 yg menghasil Regulasi dari Perpres No.71 tahun 2012.

BWS mengkebiri UU ibarat Anti Pancasila yg tidak mengedepankan hirarki hukum ketata Negaraan karena menggunakan sandaran Pepres 62 Tahun 2018 untuk melakukan Pembayaran santunan.

BWS Maluku dituding telah melakukan Pembodohan Publik terkait hutan lindung di lahan area pembangunan Bendungan Waeapo, menggaggap itu sebagai lahan produksi dan bukan hutan lindung (BB-DUL)