Proyek Bendungan Waeapo Abaikan UU Nomor 2 Tahun 2012
BERITABETA.COM, Namlea – Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku sebagai pemilik Proyek Bendungan Waeapo di Kabupaten Buru dinilai telah menyalahi ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Ini terbukti karena pelaksanaan mega proyek itu telah mencaplok lahan masyarakat adat seluas 422 hektar.
Penegasan ini disampaikan Anggota DPRD Buru dari PDIP, Arifin Latbual SH kepada para wartawan di gedung DPRD, Senin sore (22/6).
“Saya mengatakan hal ini bukan sebagai anggota DPRD dan juga anak adat dari marga pemilik lahan, tapi dari perspektif undang-undang telah diatur ganti rugi tanah untuk kepentingan umum,”tandas Arifin Latbual.
Ia menguraikan, UU Nomor 2 Tahun 2012 telah mengamanatkan, bahwa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.
Untuk itu, kata dia, yang dimaksud dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, salah satunya digunakan untuk waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya.
Kemudian penjabarannya telah dituangkan dalam Perpres 71 Tahun 2012 dan juga Perpres 107 tahun 2016, dimana diatur pula ganti rugi tanah ulayat milik masyarakat hukum adat.
Dengan demikian, maka tanah ulayat masyarakat hukum adat seluas 422 ha lebih itu, adalah milik Soa Latbual, Wael dan Nurlatu, sehingga sepatutnya harus diberi ganti rugi oleh BWS. Dan bukan hanya memberi santunan dengan memakai Perpres Nomor 62 tahun 2018, sehingga yang lain terabaikan.
Arifin mengaku telah memasalahkan hal itu saat BWS melakukan sosialisasi pemberian santunan sesuai hasil perhitungan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dalam pertemuan beberapa hari lalu. Namun jawaban BWS kurang memuaskan dan KJPP tidak ikut hadir saat pertemuan itu dengan alasan kondisi pandemik Covid-19.
Selaku wakil rakyat dan sebagai anak marga pemilik lahan yang akan terpakai seluas 422 ha lebih untuk proyek Bendungan Waeapo, ArifAin Latbual mengaku dalam pertemuan itu, ia angkat suara sampai tiga kali.
Ia terus memasalahkan langkah KJPP menggunakan Perpres Nomor 62 tahun 2016 dengan hanya memberikan santunan, tanpa ada ganti rugi tanah.
“Pemberian santunan, menurut kami itu kurang tepat. Kalau bicara soal pembangunan infrastruktur pembangunan bagi kepentingan umum, itu sangat tegas dan jelas termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, tentang ganti rugi. Dipertegas lagi dalam Perpres 71 tahun 2012.Disitu sudah cukup jelas item item atau bidang-bidang yang perlu diganti dan yang pertama itu tanah, baru unsur-unsur di dalam tanah tersebut yang punya nilai bayar,,”tandas Arifin Latbual.
Selain menyoroti masalah tanah hak ulayat yang tidak ada ganti rugi, Arifin Latbual juga mengungkap adanya 9 kesepakatan masyarakat adat dengan BWS Maluku, dan yang baru ditepati BWS hanya dua, yakni pembangunan baileo di Wapsalit yang belum rampung dan upacara adat.
“Tapi poin-poin yang lain, misalnya bangunan asrama mahasiswa adat untuk 7 soal di Ambon itu sama sampai sekarang belum terlaksana. Kemudian ganti rugi lahan tadi yang kami berharap dapat terlaksana, tapi kemudian dengan penjelasan di sosialisasi , ternyata tidak ada ganti rugi,”beber Arifin.
Arifin tetap berharap, agar kesepakatan masyarakat adat dengan BWS hendaknya dalam waktu dekat ini dilaksanakan.
Terkait dengan penggunaan Perpres 62 tahun 2018, Arifin Latbual dan masyarakat hukum adat pemilik ulayat, Latbual, Wael dan Nurlatu, kembali menitip pesan kepada BWS Maluku, agar dapat diteruskan kepada Pemerintah Pusat dan Kementrian PUPR supaya dapat meninjau kembali kebijakan itu.
“Supaya masyarakat kita juga dapat menerima hak secara layak.Kami berharap bahwa ganti rugi lahan itu juga dapat dilihat sebaik mungkin untuk kemudian masyarakat kita dapat menikmati dan dapat menerima ganti rugi itu secara layak,”pinta Arifin Latbual (BB-DUL)