BERITABETA.COM, Namrole –  Keluarga besar marga Latbual mengancam akan memberlakukan sasi adat atas lokasi pembangunan proyek Bendungan Waeapo, di Kecamatan Lolongguba, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.

Mereka merasa dirugikan sebagai  pemilik hak ulayat atas tanah adat di lokasi tersebut, karena Balai Wilayah Sungai (BWS) Provinsi Maluku, tidak menggubris sejumlah kesepakatan yang  sudah dilakukan  bersama.

“Bila jangka waktu yang ditentukan untuk bertemu dengan Kepala BWS Maluku tidak direspon dengan baik, maka dalam waktu dekat ini, seluruh anak marga Latbual akan terjun ke lapangan untuk melakukan sasi adat terhadap seluruh lahan milik marga Latbual, baik itu jalan masuknya mapun lokasi pekerjaannya akan kita tutup secara adat,” tegas perwakilan marga Latbual, Mandomis Latbual kepada wartawan di Namrole, Selasa (27/8/2019).

Mandomis menjelaskan, sikap ini akan dilakukan, karena sejumlah kesepakatan bersama yang dilakukan tak kunjung direalisasikan oleh pihak BWS Maluku kepada keluarga besar marga Latbual. Pihak BWS bahkan secara sepihak, seenaknya menggunakan lahan milik keluarga besar marga Latbual untuk melakukan proses pembangunan Bendungan tersebut.

“Kami tengah menunggu kabar dari pihak BWS tentang kepastian baliknya Kepala BWS Maluku dari Jakarta. Infonya paling lambat hari Rabu Kepala BWS balik dari Jakarta dan kami menunggu, jika sampai waktu itu tidak ada respon untuk bertemu, maka kamai akan bersikap,” tegasnya.

Menurut Mandomis, beberapa hari lalu pihaknya bersama para petinggi marga Latbual telah terjun ke lokasi lahan milik keluarga besar Marga Latbual yang kini tengah dikerjakan proyek Bendungan.

Pihaknya cukup kaget karena ternyata pihak BWS belum merealisasikan sejumlah kesepakatan kepada keluarga besar marga Latbual, namun proyek tersebut sudah dikerjakan di atas lahan milik keluarga besar Latbual.

“Kami sudah melihat ke lokasi pekerjaan  dan itu sangat merugikan masyarakat Waelua (Latbual) karena belum ada kesepakatan yang dibangun dengan masyarakat tetapi pekerjaan sudah dilakukan,” tegasnya.

Mestinya, kata Mandomis, pihak BWS melakukan kesepakatan terkait dengan hak-hak adat itu, bagaimana pembebasan lahannya dan cara bayar lahan, karena disitu ada hak hidup masyarakat yang mesti ditepati dan dilaksanakan oleh pihak BWS Maluku.

Ia menandaskan, selain proses pekerjaan di lahan marga Latbual itu, juga ada beberapa item kesepakatan yang sampai saat ini belum direalisasi oleh pihak BWS. Diantaranya ialah proses pembangunan Asrama Mahasiswa Adat di Ambon yang sampai saat ini tidak ada kabar berita. Kemudian proses penggusuran terhadap sejumlah tempat rumah pun belum dilakukan, termasuk insentif terhadap para tokoh-tokoh adat juga belum dilakukan.

“Atas kesepakatan-kesepakatan yang belum dilakukan ini, marga Latbual berpendapat bahwa pihak BWS tidak akan melakukan pekerjaan pada lahan kami sampai dengan ada kesepakatan dan pembicaraan,” paparnya.

Sejumlah poin ini, tambah Mandomis, telah disampaikan langsung kepada perwakilan BWS saat pertemuan di Wamsait (Unit 11) Kabupaten Buru. Dimana, pihak keluarga besar marga Latbual ingin bertemu secara langsung dengan Kepala BWS Maluku untuk menyampaikan secara langsung apa yang menjadi persoalan bagi keluarga besar marga Latbual.

Apalagi, tambahnya, dalam komunikasi pihak keluarga Latbual dengan PPK ternyata terungkap kalau ada sesuatu yang dibangun dan terkesan merugikan marga Latbual. Dimana, ada oknum-oknum tertentu yang mengaku dirinya Raja dan menentukan akan memberikan santunan kepada beberapa tokoh adat yang berusaha di atas lahan itu.

“BWS telah berhubungan dengan orang yang mengaku dirinya Raja, bagi kami dari perspektif hukum adat Buru, orang yang mengaku Raja atau siapa pun itu, tidak ada urusan. Karena tidak ada tanah yang dimiliki oleh Desa atau Raja, tapi tanah itu berbasis marga sehingga Raja tidak berhak atas tanah milik marga lain,” paparnya.

Olehnya itu, tambah dia, bagi keluarganya tindakan ini  merupakan sebuah proses pembodohan yang dilakukan.  Mandomis menuding, pihak BWS melalui PPK sepertinya menskenariokan hanya bertemu dengan beberapa orang tua marga yang bisa diatur untuk memberikan santunan dan melakukan proses pekerjaan.

“Untuk  lahan ketel atau dusun kayu putih yang dikelola silahkan siapa yang mengelolahnya berurusan dengan yang bersangkutan, tapi tanah ulayat itu adalah milik marga dan milik bersama, bukan milik orang per orang sehingga pihak BWS keliru kalau berhubungan dengan hanya  orang yang mengelola ketel.

Dugaan Korupsi

Selain itu, lanjut Mandomis, di dalam pertemuan resmi di daerah Wamsalit, Kabupaten Buru antara seluruh pemangku adat yang dihadiri oleh Kepala BWS, Karo Bidang Pemerintah Provinsi Maluku atas nama Gubernur Maluku, perwakilan Kejaksaan Tinggi Maluku, perwakilan Polda Maluku, Wakil Bupati Buru maupun Dinas Kehutanan telah disepakati bahwa biaya upacara adat untuk pembebasan penggunaan Sungai Waeapo di lokasi proyek itu sebesar Rp. 700 juta untuk tujuh marga atau tujuh soa (Noropito).

Dimana, sejak dahulu orang pun tahu bahwa Waeapo itu punya tujuh marga. “Rp. 700 juta itu kepada tujuh marga atau tujuh soa tadi yang semenjak dahulu kalah mereka dikatagorikan sebagai Noropito itu,” ungkapnya.

Namun, di tengah perjalanan, tidak tahu apa yang menjadi.  Alasan apa yang menjadi dasar, ada orang yang mengajukan permintaan ke BWS Maluku dan mencairkan anggaran sebesar Rp. 900 juta.

“Bagi kami ini adalah sebuah kejahatan yang merugikan Negara, sebab yang semestinya proses pembayarannya itu Rp. 700 juta, bukan Rp. 900 juta. Kenapa ada tambahan   lagi Rp. 200 juta? Kesepakatan resmi yang dihadiri oleh seluruh stakeholder itu Rp. 700 kepada 7 soa, bukan 9 soa,” jelasnya.

Lanjutnya, dengan adanya pencairan Rp. 900 juta ini mengindikasikanadanya adanya praktek korupsi dan harusnya diproses sesuai hukum yang berlaku.

“Cairnya Rp 200 juta ini mengindikasikan adanya oknum-oknum yang terlibat dalam melakukan tindakan kejahatan merugikan keuangan Negara, karena Rp. 200 juta ini siapa yang minta, kesepakatan dimana dan kasih untuk siapa. Kalau dikasih untuk orang-orang di luar 7 marga ini atau 7 soa ini, itu juga masalah,” katanya.

Untuk itu,  tambahnya, pihaknya meminta kepada pihak penegak hukum agar pihak BWS Maluku yang turut mencairkan anggaran ini, maupun orang yang mengaku dirinya tokoh adat dan minta pencairan ini serta orang yang menerima di luar tujuh marga ini, harus diproses secara hukum, karena Rp. 200 juta ini bukan uang kecil, tetapi ini uang Negara yang mesti dipertanggung jawabkan.

Sementara itu Barbalina Matulessy dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) dan Hak Asasi Manusia (HAM) Maluku kepada wartawan mengaku akan melakukan pendampingan terhadap keluarga besar marga Latbual untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang harusnya direalisasikan oleh BWS kepada keluarga besar Latbual.

“Kami dari YLBH dan HAM Maluku akan mendampingi dan mengawal keluarga besar Latbual dalam memperjuangkan hak-hak mereka hingga pihak BWS merealisasikan apa yang menjadi hak mereka,” tuturnya. (BB-DUL)