Mengintip Tradisi Unik ‘Sasi Lompa’ di Negeri Haruku (bagian ke-1)
Setiap Tahun Disaksikan Ribuan Pendatang
BERITABETA – Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, sejak lama terkenal karena sasi lompa, nama setempat untuk sejenis ikan sardin kecil(trisina baelama) atau ikan tembang.
Sabtu (29/09/18) ritual “buka sasi” kembali digelar. Sejak abad ke-17 warga pulau ini melaksanakan sasi, larangan mengambil sesuatu dari alam dalam waktu tertentu. Ketika buka sasi digelar, seribuan orang memadati Sungai Leirissa Kayeli yang mencapai surut terendahnya.
Airnya hanya dari sebetis sampai selutut. Tua muda dan anak-anak berkumpul di badan sungai menantikan seberapa banyak ikan lompa kali ini. Ribuan warga saling berebutan menangkap ikan lompa di sungai Learisa Kayeli, Negeri Haruku – Sameth.
Inilah upacara yang menarik orang datang ke pulau berjarak sekisar 8 mil laut di timur Pulau Ambon ini. Bahkan sehari sebelum dibuka, dalam sebuah acara formal, warga menderetkan meja sepanjang 150 meter untuk jamuan ‘makan patita’, dimulai dari Benteng Neuiw Zeelandia sampai sekisar rumah Kewang.
Mereka bukan hanya warga setempat. Ada yang datang dari berbagai daerah di Kota dan Pulau Ambon, Pulau Haruku, Saparua serta Masohi.
Sasi Lompa atau Sasi Laut adalah sebuah tradisi tahunan yg diselenggarakan oleh masyarakat di pulau Haruku. Sasi berasal dari dua suku kata yaitu Sasi dan Lompa. Sasi adalah sebuah larangan di Maluku yang bertujuan untuk menjaga kelestarian alam, sedangkan Lompa adalah jenis ikan Sardin kecil yg hidup di air payau.
Pulau Haruku adalah salah satu pulau kecil yang berada pada gugusan Pulau – pulau Lease (Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut, Pombo dan Molana), yang terletak di sebelah Timur Kota / Pulau Ambon .
Para pemimpin adat di Negeri Haruku – Sameth memberlakukan masa larangan dan masa diperbolehkan bagi warga untuk menangkap ikan di laut atau sungai. Masyarakat setempat menyebutnya dengan tradisi sasi lompa.
Warga usia tua maupun muda, termasuk anak-anak itu berbondong-bondong mendatangi pesisir sungai Learisa Kayeli sepanjang hampir 1.500 meter saat fajar mulai nampak, dengan membawa jala atau jaring maupun peralatan tangkap ikan lainnya.
Pendeta negeri Haruku bersama anggota Kewang, Raja serta Saniri Negeri, memimpin doa bersama, barulah Kepala Kewang Haruku Eliza Kissya menabuh tifa (alat musik tabuh tradisional) beberapa kali untuk memberi kesempatan kepada pendeta, pimpinan Negeri dan dewan adat menebar jala atau jaring pertama, menandai dimulainya “sasi ikan lompa”.
Setelah itu, tifa ditabuh bertalu-talu dan ribuan warga yang telah menunggu di pesisir menyerbu ke dalam sungai yang airnya mulai surut untuk menangkap ikan lompa.
Aksi warga yang berebutan membuat ikan berukuran panjang 30-40 centi meter yang telah terperangkap di dalam sungai karena bagian muaranya telah ditutup dengan jala, menjadi panik dan melompat ke udara hingga setinggi 1,5 meter dari permukaan air.
Mereka yang berlomba menangkap ikan terlihat sangat bersemangat sehingga tidak jarang jala atau jaring yang ditebar menjerat warga yang sedang sibuk menangkap ikan.
Suasana pun menjadi riuh karena setiap orang berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya sambil bersorak-sorai.
Warga yang tidak berani turun ke dalam sungai memilih mengabadikan aksi warga lainnya yang sedang berebutan menangkap ikan lompa menggunakan kamera telepon genggam, video maupun kamera profesional.
Sementara mereka yang menangkap mengaku puas karena hasil tangkapan tahun ini lebih banyak tiga kali lipat dibanding tahun lalu.
“Tahun ini ikan lompa sangat banyak. Sebagian akan dimakan bersama keluarga yang tinggal di Negeri Haruku, sedangkan sebagian lainnya akan direbus atau dijemur untuk dibawa ke Ambon,” ujar Ampi Huliselan salah satu warga yang berasal dari Kota Ambon.
Ia mengaku selama satu jam dapat menangkap ikan lompa sebanyak dua karung beras ukuran 25 kg.
Warga lainnya, Ongen, mengaku ikan berukuran kecil tersebut terasa nikmat jika digoreng dan dimakan dengan nasi panas, atau dibikin “kohu-kohu” penganan tradisional khas Maluku, yakni ikan tersebut ditumbuk halus dan dicampur kelapa parut serta diberi air perasan jeruk cina berlebihan.
Kepala Kewang Haruku, mengaku ikan lompa hasil “sasi” selama setahun cukup melimpah dibanding tahun sebelumnya.
“Tahun ini hasilnya sangat banyak karena ritual buka sasi dilakukan persis pada masa panennya,” ujarnya.
Dia juga mengaku, puluhan anggota kewang darat maupun laut selama setahun bekerja keras untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir sungai Learisa Kayeli yang merupakan habitat serta tempat hidup dan berkembang ikan lompa.
Sasi merupakan bentuk pranata sosial dan kearifan lokal masyarakat yang berkembang sejak turun temurun pada beberapa daerah di Maluku, termasuk Negeri Haruku, merupakan larangan untuk mengambil atau memanen hasil laut dalam jangka waktu tertentu sebelum waktunya.
Pada malam hari sebelum sasi dibuka, puluhan kewang berjalan mengelilingi kampung untuk melakukan panas sasi serta membaca peraturan atau wejangan untuk mengingatkan warga Negeri tersebut terhadap peraturan yang berlaku dalam pranata sosial tersebut.
Peraturan yang dibacakan juga berisi sanksi serta denda yang akan dikenakan bagi setiap warga yang melanggar aturan yang telah dibuat tersebut.
Tiga atau empat jam sebelum aksi penangkap ikan lompa dilakukan, para kewang akan membakar “lobe” (daun kelapa kering yang diikat menyetupai obor raksasa) di muara sungai, sebagai penerang dan penuntun bagi kawanan ikan lompa untuk masuk ke sungai Learisa Kayeli, setelah itu barulah muara sungainya ditutup dengan jaring agar ikannya tidak keluar dan mudah ditangkap saat air surut.
Ikan lompa memiliki perangai mirip ikan salmon yang dikenal luas di Eropa dan Amerika serta dapat hidup di air laut maupun di air sungai. (BB/DP)