BERITABETA.COM, Ambon – Keberadaan suku asli Maluku, Noaulu di Pulau Seram, telah menjadi simbol khas budaya di Maluku. Banyak tradisi yang diwariskan suku ini dan menjadi khazanah budaya yang bernilai.

Beritabeta.com menghimpun dua diantara sejumlah tradisi yang hingga kini masih dilestarikan Suku Noalu di Pulau Seram, adalah Patahari dan Pinamou. Keduanya merupakan tradisi unik sebagai tanda setiap anak Suku Noaulu yang sudah beranjak dewasa.  

Patahari merupakan tradisi yang digelar kepada anak laki-laki (kaum adam) yang sudah dewasa pada kisaran usia 15 – 17 tahun, dengan sebuah upacara penyematan kain berang di kepala yang oleh warga setempat disebut  ‘karanunu’.

Ritual ini juga disebut dengan upacara cidaku. Lelaki yang sudah dianggap dewasa akan diberikan sebuah kain berwarna merah (kaeng berang) untuk diikatkan di kepala.

Mereka yang mengikuti ritual ini juga wajib menggunakan cidaku yaitu cawat khas Noaulu. Kain merah pengikat kepala dan cawat yang dikenakan ketika ritual dilakukan tidak hanya semata bersifat duniawi tetapi juga bersifat rohaniah.

Ritual ini dimulai dengan puasa selama satu hari.  Mulai pada pukul tiga dini hari sampai jam enam sore. Selama berpuasa, kaeng berang diikat di leher karena dipercaya akan menjauhkan dari gangguan setan.

Anak laki-laki kedua suku ini, kemudian berkumpul di rumah utama yang disebut dengan numa onate dan diberikan pakaian adat marga yang disebut dengan karanunu onate. Setelah itu mereka didampingi oleh Kapitan (Panglima Perang) berjalan bersama menuju rumah orang tua Kapitan untuk berdoa agar diberikan keberanian dan terhindar dari bahaya.

Selesai berdoa, mereka kembali ke Numa Onate dan mengambil perlengkapan seperti parang, tombak, panah, tas berisi sirih pinang. Perlengkapan ini diberikan dengan menghadap ke utara. Tetua yang memberikan perlengkapan kemudia menuju pintu belakang yang mengarah ke timur untuk memimpin menuju tempat ritual di dalam hutan.

Hal serupa juga berlaku pada anak perempuan yang diberinama tradisi Pinamou. Anak-anak gadis suku Noaulu yang tumbuh dewasa  akan menjalani ritual Pinamou yang dilakukan dengan tanda  seorang perempuan yang sudah  mendapatkan menstruasi pertama.

Anak gadis yang menjalani ritual ini diasingkan dari keluarga dan masyarakat ke tempat yang diberinama Posune,  karena darah menstruasi dianggap tidak baik bagi lingkungan adat mereka sehingga harus diasingkan ke posune selama sebelas hari.

Posune atau rumah kecil berukuran 2×2 meter dengan tinggi 1,5 meter,   terletak di bagian belakang rumah atau di pinggiran kampung. Selama di situ, sang gadis hanya dilayani oleh ibu dan saudara perempuannya.

Selama di Posune sang gadis yang sedang Pinamou hanya dibekali dengan bambu untuk tempat tidur, kain sarung, piring yang dibuat dari daun sagu, dan batu tungku untuk memasak.

Selama di Posune, tidak boleh makan makan makanan yang berkuah, makanan mereka harus kering. Selama melakukan Pinamou maka sang gadis tidak boleh keluar dari Posune walaupun ke rumah orang tuanya.

Jika telah selesai masa Pinamou maka akan dilakukan upacara adat dan berkeliling negeri (kampung) untuk menunjukkan bahwa perempuan itu sudah dewasa dan siap untuk menikah.

Suku Noaulu tersebar di sembilan lokasi di Pulau Seram yakni, di Nua Nea, Bonara, Latane (Kampung Lama), Hahuwalan, Simalouw, Rohua, Rohua Waemanesi, Hatuhenu (Nusatauwe), dan Tawane-waene.

Sistem kemasyarakatan mereka dibagi ke dalam 12 klan atau marga yaitu Matoke, Kamama, Sounawe Aepura, Sounawe Aenakahata, Sopalani, Perissa, Hury, Nahatue, Soumory, Leipary, Rumalait, dan Pia.

Keberadaan tradisi  suku asli Maluku ini, mendapat sorotan dari Pemerhati Masalah Pendidikan dan Budaya asal Maluku Tengah, Nizham Idari Toekan, SPd.

Kepada beritabeta.com, Nizham yang ditemui di Ambon, Jumat malam (2/8/2019) menyarankan agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malteng, dapat bersikap proaktif dengan memberikan perhatian untuk melestarikan tradisi-tradisi leluhur ini dari ancaman kepunahan.

 “Ini simbol-simbol adat dan budaya yang harus dipelihara. Karena selain dua tradisi ini, masih banyak pula tradisi yang dilakukan suku Noaulu yang patut dilestraikan,” kata Toekan.

Menurut Nizham, kebudayaan ini harus tetap dikembangkan sehingga tetap mampu bertahan di antara terpaan budaya modern yang sangat deras. Paling tidak, generasi masa depan tetap mengenal adanya satu suku asli Maluku yang bernama Nau yang kemudian berkembang menjadi suku Noaulu dan Suku Huaulu yang tinggal di wilayah utara Pulau Seram.

Nizham mengatakan, dengan adanya pengakuan pemerintah terhadap kepercayaan yang dianut  tiga suku di Pulau Seram yakni Suku Naulu, Suku Huaulu dan Suku Yalhatan, maka secara otomatis pemerintah juga harus melindungi budaya dan tradisi yang dianut suku ini.

“Tradisi Patahari dan Pinamou adalah dua contoh dari tradisi mereka, dan ini patut dipelihara sebagai keragaman dan warisan dari leluhur mereka,”katanya. (BB-DIO)

Diolah dari berbagai sumber