Mengintip Tradisi Berburu Cacing Laut di Negeri Siri Sori Islam
BEIRTABETA.COM, Ambon – Tradisi melaut sudah mendarah daging bagi masyarakat di Maluku. Bukan saja mencari ikan plagis dan demarshal pada umumnya, namun kekayaan biota laut yang terkandung di laut Maluku, telah melahirkan banyak tradisi yang hingga kini terus dilestarikan.
Sebut saja tradisi memanen ikan lompa (trisina baelama) yang dilakukan masyarakat nelayan di sungai Learisa Kayeli, Negeri Haruku- Samet, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Selain tradisi memanen ikan lompa di Pulau Haruku, ada pula sebuah tradisi unik dan terlihat agak ekstrim yang masih tetap bertahan hingga kini di Negeri Siri Sori Islam, Pulau Saparua. Tradisi ini adalah berburu cacing laut yang oleh warga setempat di sebut sia-sia atau cacing laut/ulat tanah (Sipunculus nudus).
Meski tidak setenar tradisi panen ikan lompa di Negeri Haruku, namun tradisi berburu sia-sia terbilang cukup lama bertahan dan secara turun temurun diwariskan.
Biota laut yang satu ini dalam Bahasa Inggris, disebut dengan istilah ‘peanut worm’ karena bentuk tubuhnya yang menyerupai cacing tanah. Selain itu beberapa literatur juga menyebut hewan ini dengan sebutan ”usegmented marine worm” atau cacing laut tak bersegmen.
Sia-sia merupakan hewan invertebrata yang termasuk dalam filum Sipuncula. Masyarakat di Indonesia mengenal dengan nama cacing laut atau cacing kacang (Peanut worm) yang diketahui memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam bidang pangan.
Sampai saat ini tradisi itu tetap bertahan, meski tidak diketahui sejak kapan masyarakat di Negeri Siri Sori Islam, Kecamatan Saparua Timur terbiasa mencari siasia di saat air surut (meti).
Kebiasaan masyarakat setempat mencari sia-sia kerap terlihat meski tidak dilakukan secara resmi dalam sebuah ritual, namun keunikannya terlihat, pada cara warga mencarinya.
Kebanyakan hasil panen siasia ini langsung disantap mentah, ada juga yang diolah dengan cara dimasak. Cara memanenya cukup simple, hanya bermodalkan linggis, warga kemudian mencari jejak dari cacing laut ini dengan mencungkel pasir dan merabahnya (menangkap).
“Ada jejak berupa tanda yang ditinggalkan siasialo, berupa gundukan pasir dengan lubang kecil. Dari gundukan itu kita bisa memastikan siasialo ada di dalam gundukan pasir itu,” kata Usman Sanaky salah satu warga Siri Sori Islam yang kerap mencari sia-sia.
Usman mengaku, meskipun sudah lama warga setempat memiliki kebiasaan mencari siasia, namun biota laut jenis ini tidak menjadi komoditas yang popular untuk dijadikan santapan utama di meja makan.
“Kebanyakan kita lakukan untuk meluangkan waktu. Jarang untuk dibawa pulang, hanya diambil untuk dimakan mentah, kalaupun ada yang dibawa pulang itu tidak sering,” jelasnya.
Menurutnya, kalau dibandingkan dengan ikan pada umumnya,memang sia-sia kurang menjadi perhatian khusus. Banyak yang mengambilnya karena faktor kebetulan dan ingin menyantapnya. Apalagi dimusim panen ikan yang lagi marak.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Pulau Nusalaut. Di daerah yang dijuluki ‘anyo-anyo’ itu banyak nelayan menjadikan cacing laut atau siasia sebagai lauk harian manakala musim paceklik tiba. Siasia biasanya dikonsumsi segar (kohokoho sebutan umum masyarakat Maluku), digoreng, ditumis dikecap dan disate.
Ulat tanah (S. nudus) biasa dikonsumsi dalam keadaan segar mentah (setelah dibersihkan, tanpa harus direbus terlebih dahulu), atau dicampur dengan asam jeruk dan bumbu-bumbu, yang disebut “colo-colo” dan dimakan bersama nasi.
Jika dimasak, biasanya diolah dalam beberapa jenis olahan seperti kare, kecap, goreng, dan dibuat bumbu kacang dengan cara ditumis dengan bumbu-bumbu seperti bawang putih, bawang merah, jahe, lengkuas, kunyit, jintan, ketumbar, kemiri, jahe, kecap, kacang, santan, dan lain-lain.
Rahasia Kandungan Sia-sia
Meski keberadaannya tidak sepopuler ikan pada umumnya, namun siasia memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan fungsional.
Kandungan gizi yang terdapat pada ulat tanah yakni protein, lemak, karbohidrat, abu, asam lemak dan asam amino, vitamin A, B1, B6, B12, E dan mineral P, I2, Ca, Mg, C yang hampir setara dengan kandungan gizi pada ikan. (Silaban, 2012 dalam Ardean et al., 2018).
Di negara luar biota laut ini juga dikenal dengan sebutan cacing penis atau ikan penis, karena bentuknya seperti alat kelamin pria.
Ikan jenis ini juga biasa disebut dengan nama Gaebul. Di Korea, ikan ini biasa disajikan di restoran-restoran mewah. Cacing laut ini dikatakan sebagai makanan yang ekstrim, sebab biasa disantap dalam bentuk mentah.
Menurut Silahooy dalam penelitiannya di tahun 2008, Sipuncula di Pulau Saparua Maluku Tengah mengandung 3 asam lemak esensial yaitu linoleat, linolenat, dan arakidonat, dan asam lemak non esensial yaitu asam miristat, palmitat, pentadekanoat dan asam stearat.
Asam amino esensial yang tertinggi terdapat pada Sipuncula segar yaitu leusin, arginin, dan lisin. Nilai leusin yang terkandung dalam Sipuncula yang segar,goreng, dan, rebus yaitu 1,597%, 1,132%, dan 1,113%. Leusin merupakan asam amino yang paling banyak ditemui pada bahan pangan sumber protein.
Leusin dapat memacu fungsi otak, menambah tingkat energi otot, membantu menurunkan kadar gula darah yang berlebihan, membantu penyembuhan tulang, jaringan otot dan kulit (terutama untuk mempercepat penyembuhan luka post-operative) (BB-dhino pattisahusiwa)
SIMAK JUGA VIDEO DI BAWAH INI :