Selain Kaya Protein, Peneliti Sebut “Laor” Bisa Jadi Obat Antidiabet
BERITABETA.COM – Enam tahun silam, tepatnya Maret 2014, peneliti dari Balai Konservasi Biota Laut (BKBL) LIPI Ambon Joko Pamungkas, telah membeberkan sejumlah keunggulan dari kandungan cacing laut (Polychaeta) yang oleh masyarakat Maluku disebut ‘Laor’.
Polychaeta yang berada di perairan Maluku, pertama kali diteliti oleh Rumphius, seorang peneliti Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) keturunan Jerman, dalam Ekspedisi Rhumpius III pada 1977.
Penelitian lanjutan yang lebih mendalam terhadap Polychaeta secara keseluruhan baru dilakukan oleh peneliti Jerman lainnya pada 1995.
“Tahun 1995 ada seorang peneliti Jerman yang berhasil menemukan 13 jenis Polychaeta yang lain, sayangnya tulisannya itu ditulis dalam bahasa Jerman dan hanya tersimpan di museum Hamburg, jadi tidak banyak yang tahu ada temuan itu,” ujarnya.
Seperti dikutip dari republika.co.id, Joko menjelaskan, berdasarkan analis proksimat yang dilakukannya, cacing laut atau Polychaeta kaya protein, namun hingga kini hanya orang Maluku yang banyak memanfaatkannya sebagai lauk.
Polychaeta hidup dalam terumbu karang pada pantai tropis yang berada dekat dengan Samudera Pasifik. Di Indonesia sendiri ada beberapa daerah yang diketahui menjadi habitat biota laut tersebut, di antaranya Maluku dan Lombok.
Di Maluku, cacing laut tersebut dikenal dengan nama ‘Laor’, sedangkan di Lombok bernama ‘Nyale’. Sejauh ini yang paling banyak diteliti adalah yang berada di Maluku.
“Belum ada bahasa Indonesia baku untuk nama hewan ini, biasanya tiap daerah memiliki nama tradisionalnya. Kalau di Maluku ada 54 jenisnya tapi Palola viridis dan Lysidice oele yang paling dominan,” ucapnya.
Prof Sri Purwaningsih MSi, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, dalam orasi ilmiah guru besar IPB di kampus Dramaga, bahkan memaparkan sejumlah hasil yang ditelitinya. Ia berhasil menggali potensi hasil perairan cukup prospektif untuk dikembangkan itu.
Cacing Laut Siphonosoma australe-australe (Laor/Nyale) disebut memiliki khasiat sebagai antidiabet alami. Dari hasil penelitian yang dilakukan selama empat tahun, Prof Sri berhasil menemukan keutamaan cacing laut, ekstraknya dapat digunakan sebagai obat antidiabet alami.
Bahkan di China Selatan, cacing laut telah lama digunakan sebagai obat tradisional dalam mengobati penyakit tuberkulosis, pengaturan fungsi lambung dan limpa, serta pemulihan kesehatan yang disebabkan oleh patogen.
Hasil penelitian yang dilakukan Prof Sri menunjukkan bahwa ekstrak Siphonosoma australe memiliki potensi sebagai antidiabetes yang diperoleh melalui uji in vitro yang dapat menghambat aktivitas enzim alpha glukosidae sebesar 16-24 ppm (sangat kuat).
Sedangkan hasil pengujian secara in vivo pada hewan model mampu menurunkan kadar glukosa darah dengan konsentrasi terbaik 45 mg/kg berat badan. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya kandungan flavonoid dan saponim pada ekstrak Siphonosoma australe.
“Senyawa flavonoid mempunyai mekanisme seperti obat antihiperglikemik oral golongan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah pada tikus dengan cara meningkatkan sekresi insulin,” katanya.
Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa karakteristik dari kapsul antidiabet ekstrak etanol dari cacing laut Siphonosoma australe secara parameter fisik, kimia, mikroba, dan logam berat adalah sesuai dengan BPOM Nomor 12 Tahun 2014 terkait persyaratan mutu obat tradisional.
“Hasil uji toksisitas akut menunjukkan tidak toksit, toksisitas preklinik selama 27 hari menunjukkan kadar SGOT dan SGPT mendekati normal dan hewan model tetap hidup,” katanya.
Menurut Prof Sri, cacing laut potensial untuk dikembangkan, target pasarnya cacing laut tidak dijual murah lagi. Jika obat antidiabet sulit diproduksi, maka marketnya bisa dikhususnya untuk memperbaiki sel beta pangkreas bagi masyarakat sekitar.
Penelitian tentang cacing laut untuk obat antidiabet sudah dalam proses pengajuan paten. Sri juga melibatkan mahasiswanya untuk mengawal keberadaan cacing laut di tempat asalnya masing-masing, agar dapat diproduksi.
“Kandungan aktif cacing laut akan hilang kalau dimasak, lebih tinggi kalau dijadikan ekstrak,” katanya.
Melalui hasil penelitiannya Prof Sri mendorong agar masyarakat dapat memanfaatkan cacing laut sebagai mata pencaharian lewat budi daya. Dan industri mau melirik untuk memproduksi ekstrak cacing laut dengan sistim maklom.
Jika masyarakat digerakkan untuk budidaya, dan industri bergerak memproduksi. Masyarakat akan mendapat manfaat lebih besar sekedar hanya menjual lepas begitu saja di pasar tradisional.
Laor memiliki kandungan protein yang jauh lebih tinggi dari telur ayam ras dan susu sapi. Sebagai perbandingan, Laor memiliki kandungan protein sebanyak 43.84% sedangkan telur ayam ras dan susu sapi masing-masing hanya sebesar 12.2% dan 3.50%.
Kadar fosfor dalam Nyale (1.17%) juga cukup tinggi bila dibandingkan dengan telur ayam ras (0.02%) dan susu sapi (0.10%). Laor bahkan memiliki kandungan kalsium (1.06%) yang ternyata masih lebih tinggi dari kandungan kalsium susu sapi yang hanya 0.12%.
Laor yang tergolong kelas polychaeta ini ternyata juga muncul di berbagai belahan lain di dunia, diantaranya di Kepulauan Samoa, Teluk Mexico, beberapa pantai di Jepang dan Prancis, serta di Kepulauan Bermuda.
Laor merupakan jenis cacing laut yang hidup di dasar laut, dimana siklus reproduksinya dipengaruhi oleh benda-benda angkasa. Kemunculan Laur di pesisir pantai, yang hanya terjadi sekali dalam satu tahun, tak lain dikarenakan cacing ini sedang melangsungkan aktivitas pemijahannya secara massal. Di Maluku bila musimnya tiba, masyarakat di Pulau Ambon dan sekitarnya biasa memanen-nya yang kemudian dikenal dengan tradisi ‘timbah laor’ (BB-DIO)