BERITABETA.COM  – Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) resmi memberikan izin penggunaan darurat obat remdesivir dari Gilead Science untuk mengobati corona. Penetapan ini diutarakan Presiden AS Donald Trump dalam pengumuman, Jumat (1/5/2020) sore waktu setempat.

Trump membuat pengumuman bersama CEO Gilead Daniel O’Day dalam pertemuan di Gedung Putih. Gilead akan menyumbang 1,5 juta botol remdesivir.

“Ini benar-benar situasi yang menjanjikan,” kata Trump dikutip AFP, Sabtu (2/5/2020).

Remdesivir, obat yang awalnya digunakan untuk mengobati Ebola. Antivirus ini bekerja dengan menyerang enzim yang dibutuhkan virus untuk bereplikasi.

Obat tersebut dapat digunakan pada orang yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 yang parah. Baru-baru ini, sebuah uji klinis menunjukkan obat tersebut membantu mempersingkat waktu pemulihan pasien yang berada dalam kondisi sakit parah.

Uji coba dilakukan Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) AS. Dalam uji coba ini ditemukan bahwa 50% pasien yang diobati dengan remdesivir menggunakan dosis selama lima hari bisa ke luar dari rumah sakit dalam dua minggu.

“Data menunjukkan remdesivir memiliki dampak positif yang jelas dan signifikan dalam mengurangi waktu pemulihan,” Anthony Fauci, Penasehat Kesehatan White House.

Meski demikian remdesivir adalah obat keras. Ia bukan berbentuk pil melainkan disuntikkan ke infus.

Sebelumnya FDA juga memberi izin pada penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin. Keduanya adalah obat keras yang digunakan untuk malaria dan juga lupus.

Meski demikian, otorisasi FDA tidak sama dengan persetujuan formal, yang membutuhkan tingkat tinjauan lebih tinggi. Para ahli juga memperingatkan bahwa obat tersebut yang pada awalnya dikembangkan untuk mengobati penyakit ebola dan diproduksi oleh perusahaan farmasi Gilead, tidak boleh dilihat sebagai satu-satunya alternatif untuk obat virus corona.

Selama pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump di Oval Office, Kepala Eksekutif Gilead Daniel O’Day mengatakan, otorisasi FDA menjadi langkah pertama yang penting.

Ia menyampaikan, perusahaanya akan menyumbangkan 1,5 juta botol obat remdesivir. Sementara itu, Komisaris FDA Stephen Hahn menuturkan, ini merupakan terapi resmi pertama untuk Covid-19.

Remdesivir Dalam uji klinisnya, Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) AS menemukan, remdesivir memangkas durasi gejala dari 15 hari menjadi 11 hari. Percobaan dilakukan dengan melibatkan 1.063 orang di rumah sakit di seluruh dunia.

Dr Anthony Fauci dari NIAID, menjelaskan bahwa remdesivir berdampak positif dalam mengurangi waktu pemulihan. Meskipun redemsivir dapat membantu pemulihan dan mungkin menghentikan orang yang harus dirawat pada perawatan intensif, uji coba tersebut tidak memberikan indikasi yang jelas apakah dapat mencegah kematian akibat virus corona.

Uji Coba Obat Remdesivir

Studi soal remdesivir dihentikan di tahun 2019. Sebab, obat ini tidak memiliki pengaruh pada pasien. Namun di 2020, obat ini kembali diuji melawan SARS-Cov 2 nama virus penyebab COVID-19.

Dari pengujian NIAID yang melibatkan 1.000 orang, ditemukan fakta bahwa remdesivir mampu mengurangi gangguan pernapasan lebih cepat dibanding obat lainnya. Saat treatment dilakukan, plasebo menjadi obat alternatif lain.

Pengguna remdesivir ternyata lebih cepat sembuh dibanding plasebo. Sebanyak 50% pasien bisa ke luar rumah sakit dalam waktu 11 hari, sementara plasebo 15 hari.

Angka kematian juga lebih rendah. Angka kematian kasus pada pengguna remdesivir adalah 8,0% sedangkan plasebo 11,7%.

Remdesivir sebenarnya adalah obat keras. ia bekerja dengan memasukkan dirinya ke dalam genom virus. Yang pada akhirnya mengganggu proses replikasi dari virus tersebut.

Dengan membatasi replikasi virus, peradangan akibat Covid-19 bisa dikurangi. Pemakaian ventilator juga bisa disetop.

Masalahnya remdesivir sangat rumit diproduksi. Alih-alih berbentuk pil, ia diberikan melalui suntikan.

Meski peneliti AS memiliki hasil baik terhadap remdesivir, namun penelitian yang diterbitkan The Lancet menyebutkan berbeda. Kajian ilmiah itu menyebut remdesivir tak memiliki manfaat sama sekali pada studi di 200 orang di China.

Namun sebagian ahli statistik berpendapat jumlah dalam uji coba China terlalu sedikit. “Terlalu kecil untuk menarik kesimpulan,” kata seorang ahli statistik media Inggris, Stephen Evans.

Sementara itu, CEO Gilead berharap remdesivir bisa diproduksi hingga satu juta di 2021. Perusahaan bakal menggandeng lembaga global lain untuk itu (BB-DIP)