Oleh: Hasbollah Toisuta (Rektor IAIN Ambon)

BULAN Ramadhan adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua Umat Islam, dan di antara 29 atau 30 hari bulan Ramadhan, malam “Lailatul Qadr” adalah malam yang paling dirindukan oleh kaum beriman. Karena sangat dirindukan oleh umat beriman, maka hampir di seluruh wilayah tanah air kita terdapat begitu banyak tradisi masyarakat dalam menyambut “malam agung” (Laylah tu al-Qadr) tersebut.

Seperti halnya dalam tradisi peringatan hari-hari besar Islam lainnya semisal Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzul Al-quran, Muharam, atau kedua hari raya (Idul Fithri dan Idul Adlha), peringatan Lailatul Qadr, menghasilkan tradisi-tradisi tertentu di tanah air kita yang tumbuh berkembang menjadi budaya keagamaan kita yang khas ke-Indonesia-an.

Di Jawa Timur, kebiasaan penyambutan malam Lailatul Qadr menghasilkan tradisi selamatan “maleman” pada setiap malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Selamatan ini dibarengi dengan tradisi “ocoran” yaitu “ronda obor” (dalam istilah umum kita di Maluku), di mana anak-anak remaja mengelilingi desanya dengan masing-masing membawa obor keliling kampung, yang filosofinya adalah seakan-akan kampung mendapat cahaya kebenaran di malam Lailatul Qadr itu.

Lain halnya dengan kita di Maluku. Tradisi menunggu malam Lailatul Qadr di Maluku umumnya kita kenal dengan “malam tujuh likur”. Pengertian harafiah dari “malam mujuh likur” itu sendiri penulis belum memahaminya namun dari berbagai pengamatan, hampir setiap desa punya tradisi yang berbeda dalam menyambut “malam tujuh likur” (Lailatul Qadr) ini. Di desa Iha, Kabupaten Seram Bagian Barat, malam tujuh likur dirayakan dengan suatu tradisi yang disebut dengan “tupat jiwa”.

Pada tradisi “tupat jiwa” ini, setiap keluarga membawa ketupat sejumlah anggota keluarga ke Masjid pada malam yang ditentukan (27 Ramadhan). Sebelum “tupat jiwa” (ketupat) tersebut akhirnya dibagi kepada para fakir miskin, Para saniri dan penghulu masjid melakukan perhitungan untuk megetahui berapa jumlah total ketupat tersebut, maka dengan begitu sudah dapat diketahui pertumbuhan jumlah penduduk desa Iha pada tahun itu. Tradisi “tupat jiwa” ini berfungsi sebagai sensus penduduk tahunan di desa Iha.

Di desa kami di Saparua, malam Lailatul Qadr biasanya kami sebut dengan “malam”. Misalnya dalam percakapan menanti Lailatul Qadr, lalu ada yang bertanya: “Sebentar malam ini sudah “malam” ya”? (malam yang dimaksud dalam tanda petik adalah Lailatul Qadr). Di Siri Sori Islam tidak ada perayaan yang menonjol dengan penyambutan malam Lailatul Qadr (kecuali pada masa lalu).

Namun demikian sedikit nuansa “ritual” bisa terasakan, misalnya para Ibu, pada “malam” (27 Ramadhan) biasa mengenakan busana yang terbaik untuk ke mushollah dan masjid melaksanakan sholat tarawih. Selain itu pada tiris-tiris rumah ditempatkan ember untuk menadah air hujan yang diharapkan turun pada “malam” itu. Bila bertepatan dengan turunnya hujan maka bersenanglah para warga, mereka akan mandi dengan “air berkah” yang turun di “malam” yang qudus itu. “Air berkah” tersebut selain bisa diminum dan bisa untuk membersihkan badan, tapi juga berkahnya – makna filosofisnya – menyejukkan jiwa yang padanya memancar kedamaian dalam menjalani hidup ke depan.

Di Negeri Tulehu dan Kecamatan Salahutu secara umum, malam 27 Ramadhan disebut juga “malam tujuh likor”. Penyambutan malam ini tampak terasa. Selesai shalat ashar setiap rumah keluarga membawa katupat air (katupa aer) satu piring ke masjid. Maknanya adalah biar jamaah yang beribadah dan i’tiqaf selama semalam itu tidak lapar karena ada persediaan makanan.

Selain itu di negeri Tulehu pada malam 27 Ramadhan diadakan pembakaran damar di dalam tampurung kelapa dan diletakkan di depan rumah penduduk. Makna simbolisnya adalah negeri ini dilingkupi cahaya dari pancaran keagungan Lailatul Qadr. Adapun makna harfiahnya agar masyarakat yg mau i’tiqaf di masjid tidak mengalami hambatan dengan jalan raya yang galap.

Sama halnya dengan di Salahutu, di Morella (Leihitu), malam Lailatul Qadr biasanya dirayakan dengan hadrat yang melibatkan generasi muda dan tua. Hadrat keliling negeri seusai sholat tarwih.

Di Maluku Tenggara tidak ada istilah lokal kultural yang khusus untuk menyebut istilah Lailatul Qadr. Di wilayah-wilayah tertentu seperti di Kei Besar selatan, malam Laylatul Qadr biasanya disebut “malam sujud” yakni malam 27 Ramadhan di mana dilakukan sujud tilawah di mesjid karena diyakini malam itu malam Lailatul Qadr.

Sujud tilawah dilakukan dalam sholat dengan membaca ayat sajadah dan berdoa dalam waktu yang lama disaat sujud. Adapan acara yang ikut meramaikan malam Laiatul Qadr biasanya sama dengan di tempat lain, dengan menyalahkan obor, lilin, pawai remaja dan pemuda.

Sementara itu di kampung-kampung di Seram Bagian Timur (SBT), malam Lailatul Qadr selain dikenal dengan “malam tujuh likur” tapi juga disebut dengan “malam damar” bertepatan dengan malam 25 Ramadhan. Sejak pagi hari 24 Ramadhan biasanya masyarakat berbondong2 membersihkan kuburan keluarga dan sore harinya diadakan ziarah ke makam untuk membaca doa dan membaca surah Yasin.

Pada malam hari setelah magrib masyarakat juga membaca doa selamat dan membakar damar di depan rumah-rumah, bahkan pada kampung tertentu damar juga dibakar di kuburan keluarga, karena itu malam Lailatul Qadr disebut malam damar. Terdapat keyakinan dengan membakar damar tersebut, arwah keluarga yang telah meninggal akan hadir bersama dan dibacakan doa untuknya.

Dari perspektif maraknya tradisi budaya keagamaan kita di Maluku tersebut, maka jelas ada sesuatu yang harus kita pahami lebih jauh, mendalam dan luas mengenai Lailatul Qadar. Mengingat perjalanan waktu yang demikian panjang, banyak budaya keagamaan kita yang akhirnya berhenti sebagai kegiatan kebiasaan lahiriah dan formalistik semata, kosong dari pemaknaan. Pada hal pendekatan antropologi mengisyaratkan bahwa setiap simbol dari budaya keagamaan sangat sarat dengan pesan moralnya. Sehingga tidak dengan mudah untuk dianggap bid’ah. Wallahu’alam (***)