Oleh: Hasbollah Toisuta (Rektor IAIN Ambon)

BILA bulan Ramadhan dijadikan sebagai sebuah institusi kepelatihan, maka padanya merupakan “ruang belajar” agar manusia bisa bertrnsendensi diri secara lebih intens.

Mengasah diri dengan segenap potensi kemanusiaannya, baik pada dimensi fisik, dimensi psikologis, maupun dimensi spiritual. Ketiga dimensi ini merupakan unsur-unsur yang menjadi tempaan selama puasa Ramadhan. Artinya, latihan mengendalikan diri yang dilakukan dengan puasa adalah dalam rangka merekonstruksi bangunan kepribadian kita, sehingga dengannya kita bisa tampil sebagai makhluk yang utuh dan paripurna (insan kamil).

Seperti disabdakan Nabi, bulan Ramadhan terdiri dari tiga fase, yaitu fase rahmah, fase magfirah (ampunan) dan fase itqum min al-nar (pembebasan dari belenggu siksa). Pendekatan lain terhadap ketiga fase ini dapat juga dikaji dari tiga perspektif, yaitu persfektif rekonstruksi fisik, pada sepuluh hari pertama Ramadhan, rekonstruksi psikologis pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan dan rekonstruksi spiritual pada sepuluh hari terakhir.

Pada tahapan rekonstruksi fisik – di sepuluh hari pertama -, fase ini merupakan proses dasar ketika tubuh mulai menyesuaikan diri dalam pola makan yang baru dalam berpuasa. Misalnya harus bangun sahur di tengah malam, kemudian menahan diri dari makan dan minum total selama beberapa jam di siang hari sejak terbit fajar, serta baru boleh berbuka di sore/malam hari. Rekonstruksi fisik ini sesungguhnya merupakan prakondisi untuk meningkat ke tahapan pertengahan (sepuluh hari yang kedua), yakni fase rekonatruksi psikologis.

Ketika fisik telah dikondisikan untuk mampu mengendalikan nafsu akan keinginan-keinginan bendawi dan badani (tazkiyat al- jism), maka tahapan selanjutnya kita mulai masuk lebih dalam ke tahapan olah jiwa atau rekonatruksi psikologis (tazkiyah al-nafs). Pada tahap ini kita lebih intens lagi melakukan transendensi dengan membersihkan jiwa dari kehendak diri yang destrukrif yang biasa kita kenal dengan hawa nafsu.

Sikap-sikap diri seperti pemarah, egois, suka membeci, memfitnah, dendam, tamak, kikir, sombong, senang pamer, adalah bentuk-bentuk penyakit jiwa atau “najis batin” yang apabila dibiarkan akan berbahaya yang bisa menjadi bara dalam sekam yang merusak bahkan meruntuhkan kepribadian seseorang.

Hawa nafsu yang diboncengi dengan sifat-sifat seperti tersebut di atas ketika tidak mampu dikendalikan maka dia bisa menjelma menjadi berhala di dalam diri sendiri. Allah mengingtkan kita dengan firman-Nya; “Apakah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu seperti hewan tenak, bahkan lebih sesat jalannya. (Q.S, 25 : 43-44)”. Melalui ayat ini kita diingatkan bahwa derajat sesorang yang memperturutkan hawa nafsunya sama seperti binatang ternak dan berada di jalan yang sesat.

Mengingat betapa bahayanya hawa nafsu jika tidak dapat dikendalikan, maka puasa Ramadhan dengan segenap nawafilnya menempati kewajiban penting dalam rangka menjinakkan hawa nafsu atau bahkan membunuh hawa nafsu tersebut. Oleh karenanya baginda Nabi justeru menempatkan perang melawan hawa nafsu sebagai “jihad akbar” (jihad al-nafs). Bahwa jihad sesungguhnya bukan melawan musuh yang nyata, melainkan melawan musuh yang ada dalam diri sendiri. Pada titik inilah signifikansi ibadah puasa mendapati momentumnya bagi kita.

Ketika jiwa telah kita bebaskan dari berbagai tarikan hawa nafsu badani maupun nafsu psikis, selanjutnya kita naik pada fase ketiga yakni rekonstruksi spiritual (tazkiyah al-ruh) sebagai kelanjutannya. Maka sepuluh hari terakhir Ramadhan semestinya menjadikan kita lebih “intim” dengan Sang Khaliq, karena fisik dan psikis kita telah melewati tahapan “tazkiyah al-jism” (penyucian fisik) maupun “tazkiyah al-nafs” (penyusian jiwa) sebagai bagian penting menuju kepada pendakian spritual guna mendapatkan pancaran nur Ilahi.

Kelezatan dan nikmat Ramadhan sangat terasa. Kita mendapati pengalaman ruhani tentang betapa dekat dengan Allah dengan kita dalam keadaan jiwa yang tenang (nafsu al muthmainnah) dan saling meridhahi (raadhiyatan mardhiyah).

Dengan berpuasa, jiwa kita tidak hanya disucikan dari nafsu-nafsu yang negatif tapi jiwa kita juga diisi dengan sifat-sifat yang positif produktif, seperti penyayang, empati, rendah hati, jujur, penuh cinta, pemurah, gemar memaafkan, selalu ridha dan sebagainya. Singkatnya, semua sifat-sifat Allah terinternalisasi dalam diri kita.

Dari pendekatan sufistik, Allah Sang Khaliq tidak bisa didekati oleh diri yang penuh noda dan jiwa yang angkuh, pendengki, pendendam, tamak, pemarah dan sebagainya. Dia Allah hanya bisa didekati oleh mereka yang memiliki kebeningan hati, seperti firman-Nya, “illa man ata Llahu bi qalbin salim” (Kecuali mereka yang datang kepada-Nya dengan hati yang bening penuh damai (Q.S; 26 : 89). Hati yang bening dan damai (qalbin saliim) inilah yang bisa menerima pancaran nur Ilahi, menyingkap “tajjali”-nya Allah. Ibarat cermin, jika dibiarkan penuh debu maka tidak akan mungkin memantulkan cahaya. Pantulan cahaya baru bisa terjadi manakala cermin itu bening dan bersih.

Fase terakhir di ujung Ramadhan ini merupakan fase yang sangat menentukan kualitas puasa maupun iman seseorang. Kita dianjurkan untuk beri’itiqaf, meggemarkan shodaqah, memelihara qiyamu al-lail dan mengeratkan hubungan silaturrahim, untuk meraih “tiket” itqum min an-nar.

Capaian puncak dari pengalaman ruhani itu tentu lebih terasa manakala kita bisa mendapati mementum agung dengan turunnya malam Lailatul Qadr (malam kemuliaan) yang nilai keutamaannya melebihi 1000 bulan.

Pertanyaannya adalah apakah kita telah melewati fase pertama dan kedua secara baik untuk mendapatkan pengalaman ruhani di fase ke tiga ini? Wallahu’alam (***)