Oleh : Qabul Alam (Mahasiswa Ekonomi Syariah IAIN Ambon/Siswa Sekolah Filsafat Yogyakarta)

PERKEMBANGAN model demokrasi kita, terutama semenjak pra-Pemilu dan pasca Pemilu 2019, mestinya lebih memaksimalkan problem sebagai preferensi bersama, dan dijadikan sebagai gerak progresif kualitatif sistem demokrasi kita. Bahwa memang dalam perkembangan politik kekinian, masyarakat yang di dalamnya juga terdapat kelompok akademisi, memaknai demokrasi hanya sebatas pada idiologi yang simbolis dan dokmatis.

Problem kontekstual bangsa sebagai wacana, disodorkan oleh sebagian elit penguasa, hanya sekedar tendensi kekuasaan terhadap negara, sehingga dialektik diskursif hanya dimaknai dalam bentuk afirmatif dan negasi (dikotomi) yang seakan tidak ada titik temunya. Dengan paradigma seperti ini kemudian masyarakat dijadikan sekedar alat untuk mengola segala isu kepentingan para elit dengan hasrat material (kekuasaan).

Dari sini saya coba melihat bahwa logika dialektika (pertentangan) dipakai dalam menggerakan masa dengan menggunakan wajah demokrasi. Sebab konsep logika dialektika itu sendiri adalah terdapat jastifikasi legalitas afirmatis (kebenaran) pada kelompok A dan negasi (ketidakbenaran) pada kelompok B yang dimutlakan.

Masyarakat yang belum siap atau belum mapan dalam basis teoritis dari sistem demokrasi dan perpolitikan yang substansi, dapat menjadikan mereka termakan oleh racikan isu-isu kepentingan (elitis). Kemudia dari sini, sehingga massa dilemahkan dalam basis teoritis kontekstual yang diracuni dengan nilai yang dogmatis, dan menjadikan argumentatif kritis massa yang semetinya bernilai solutif akhirnya berubah menjadi wajah yang anarkis.

Kalau kita merujuk pada pandangan Tomas Hobbes tantang negara, bahwa demi mengontrol dan meminimalisir hasrat naluriah manusia yang berperilaku bagaikan srigala, maka negara membutuhkan suatu sistem kekuasaan yang mutlak secara umum maupun khusus. Sehingga Hobbes meletakan kedudukan negara lebih tinggi dari kedudukan individu-individu (masyarakat).

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila, yang dalam pandangan Dr. Kuntowijoyo sebagai Negara dengan nilai “Teo Demokrasi” tidak bisa diterima adanya suatu sistem yang mutlak secara spesifik. Kemudian dari itu dalam pekembangan masyarakat, negara sebagai pemegang sistem dan otoritas mestinya memperbaharui setiap sistem dan kebijakan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi  masyarakat sebagai usaha penyelesaian masalah.

Hemat saya, bahwa memang negara perlu membangun suatu relasi antara posisi otoritas (pemegang sistem) dengan masyarakat bukan sekedar motif kuantitatif namun juga perlu memperhatikan aspek kualitatif yaitu nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotorik yang tidak sebatas formalitas semata namun kontekstual. Sehingga wajah masyarakat baik yang berbasis non akademisi maupun akademisi, tampil dalam ruang-ruang publik tidak hanya sekedar partisan dan dogmatis semata. Dengan itu ruang-ruang kritis diskursif lebih bermakna solutif yang saling memasuki satu dengan yang lain (objektivikasi) (***)