Oleh : Rusdi Abidin (Pegiat Demokrasi)

Beberapa waktu lalu saya mencoba menonton sebuah chanel youtube Ezy TV yang menayangkan “Evaluasi 3 tahun kinerja Murad Orno dalam pembangunan di Maluku”.

Dalam ulasan evaluasi kinerja kepemimpinan Gubernur Maluku pasangan Murad – Orno, narasumber mendasarkan evaluasinya pada sejumlah data sekunder statistik BPS antara lain data makro ekonomi, data kemiskinan, data pengangguran, data produk regional bruto, pertumbuhan ekonomi dan investasi.

Selain data narasumber juga melakukan perbandingan antara Maluku dengan Provinsi lainnya dengan menggunakan perspektif kemajuan dalam investasi ekonomi.

Berdasarkan data statistik BPS itu terdapat kalimat kunci diawal yang disampaikan narasumber bahwa sampai dengan 3 tahun dari 2019-2022 kepemimpinan Murad Orno tidak ada perubahan-perubahan yang signifikan.

Saya menyebutnya kalimat kunci karena kalimat tersebut mengandung penegasan penilaian yang seolah meyakini data kuantitatif BPS sebagai sumber kebenaran tunggal atau utama.

Setelah ditonton saya memahami ada hal yang menarik dan patut direspon dan bahkan sebaliknya pandangan narasumber berdasarkan data-data kuantitatif BPS perlu dikritisi.

Tentu respon saya didasarkan pada fakta, argumentasi dan tuntutan dari sistem demokrasi. Juga didasarkan pada kapasitas pengalaman empirik saya sebagai aktifitas dengan latar belakang keilmuan “ilmu ekonomi” dan keterlibatan dalam diskursus demokratik selama 23 tahun di era reformasi.

Respon tulisan saya ini selain sebagai bahan refleksi juga bertujuan untuk mengimbangi cara kritik dengan penggunaan data kuantitatif yang terkesan sepihak dan dangkal.

Mengapa saya katakan demikian?. Karena serangan evaluasi dengan menggunakan data statistik ekonomi ala BPS sebenarnya adalah bentuk ketidakmampuan menembus fakta empirik yang jauh lebih prinsipil di daerah yang menjelaskan banyak kendala dan masalah daerah.

Fakta empirik itulah yang menjadi sebab Maluku mengalami pelambatan pembangunan dan tidak tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat.

Saya memahami bahwa masalah di Maluku bukan bertumpu kepemimpinan semata tetapi masalah sistem sosial yang lebih luas di daerah. Pandangan saya itu tidak saja didasarkan pengalaman empirik, tetapi rujukan referensi menjelaskan hal yang sama.  Tentu juga didasarkan pada perkembangan politik dan keadaan ekonomi yang terus saya ikuti.

Dalam amatan saya sampai saat ini, detik ini, saya tidak melihat dan tidak menemukan adanya perubahan paradigmatik dan munculnya wacana alternatif – dialektika kritis tentang konsepsi kepemimpinan demokratik lokal sebagaimana tuntutan sistem demokrasi untuk pengejewatahan peran masyarakat sipil daerah di lapangan demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi.

Padahal jelas sistem demokrasi menuntut suatu upaya untuk mengorientasikan perubahan paradigma dalam masyarakat yang lama terbentuk oleh sistem sentralistik otoriterianis orde baru untuk diorientasikan ke paradigma demokratik. Atau dengan kata lain mengarahkan cara pandang dari state centered ke sistem demokrasi yang bertumpu pada partisipasi masyarakat sipil – society centered.