Dalam konteks itu saya melihat ulasan narasumber yang mengedepankan data BPS dan tidak menembus masalah-masalah subtansial yang dialami daerah justru menunjukan memiliki kecenderungan sikap romantisme narasumber pada sistem terpusat atau state centered bukan pada society centered.

Menakar Bobot Evaluasi Pengamat

Untuk masuk lebih lanjut menakar evaluasi kepemimpinan Gubernur Maluku Murad – Orno, saya akan  menguktip beberapa ulusan narasumber sebagai bahan untuk dibahas lebih dalam. Narasumber mendasarkan evaluasinya pada data BPS dengan mengatakan;

“Pemerintah Provinsi Maluku yang dipemimpin Murad Ismail dan Barnabas Orno tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sampai dengan 3 tahun dari 2019-2020 kepemimpinan Murad Orno tidak ada perubahan-perubahan yang signifikan. Narasumber mencontohkan soal pertumbuhan ekonomi Maluku, menunjukan ada kemajuan mencapai 3,53% tetapi itu bukan sebuah prestasi tetapi kemunduran. Sebab pertumbuhan ekonomi bukan kenaikan kapasitas produksi daerah.  Kapasitas produksi yang rendah itu juga menurutnya dicerminkan oleh ekspor import Maluku ada di minus dari tahun 2014 – 2022”.

Berikut evaluasi yang disasar adalah “kemiskinan yang diarahkan pada soal pemerintah tidak mampu mengatasi kedalaman dan keparahan kemiskinan daerah, dimana katagori itu menggambarkan  dari sebaran pengeluaran di antara kelompok miskin jauh dari garis kemiskinan. Dari gambaran data statistik miskin tersebut, narasumber menyebutkan para banyak sekali para elit, bahkan para aktifis, para politisi gagal paham atas hal itu. Karena mereka tidak memahami ujung ke ujung dari data statistik tersebut, asal ngomong, itu yang pada akhirnya membentuk pembodohan masyarakat”.   

Juga disampaikan “Murad – Orno saat saat kampanye maju sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku tidak ada satu pun yang berjalan. Justru semuanya melenceng. Berikut, semua elemen di bawah Murad Orno,yaitu kepala-kepala dinas tidak mampu menerjemahkan kondisi yang ada. Ini buta memimpin tuli”.    

Terlihat dari ulasan narasumber itu menunjukan suatu kemampuan membaca data-data sekunder dari BPS. Tentu itu baik dan sah-sah saja jika digunakan untuk mengkritik dan menyerang dengan maksud menyatakan ada kegagalan dalam kepemimpinan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Murad – Orno.

Tidak mengurangi apa yang diulas oleh narasumber, namun penting diberikan catatan kritis terhadap ulasan evaluasi narasumber tersebut di atas.

Pertama, saya selaku pribadi dalam keterlibatan sebagai aktifitas di lokal yang cukup lama dan dalam posisi sebagai representasi kelas menengah menilai ada ketidakbijaksanaan narasumber yang menyebutkan para aktifis, para politisi tidak mengerti data statistik kemiskinan.

Sikap narasumber itu menunjukan sikap merasa paling benar dan menganggap yang lain tidak mengerti data. Padahal bisa saja apa yang dikemukakan narasumber dengan menggunakan standar data kuantitatif sekunder BPS memiliki bobot yang dangkal sehingga memungkinkan muncul penilaian yang keliru dan bias.

Kedua, penggunaan data statistik BPS untuk mengalamatkan adanya kegagalan dalam kepemimpinan Murad – Orno adalah sesuatu yang absurd. Sebab data BPS  bersifat kuantitatif sehingga tidak merepresentasi dan mencerminkan suatu keadaan daerah.

Artinya BPS tidak difungsikan untuk menyajikan data kualitatif dan fakta empiric yang lebih luas serta interdisipliner. Karenanya dengan argumentasi apapun bobot data sekunder kuantitatif BPS tidak bisa serta merata dapat diambil oleh publik - narasumber untuk menyimpulkan bahwa pasangan kepala daerah Murad - Orno gagal dalam kepemimpinan demokrasi.

Jika itu digunakan maka mengisaratkan bahwa narasumber sendiri tidak mengerti dialektika dan posisi penggunaan data sekunder BPS di era reformasi.  Jelas data BPS adalah data sekunder yang di era reformasi telah banyak dikritis oleh publik tentang keakuratannya dan pesan penting dari data statistik BPS itu.

Sebagaimana diketahui data statistik BPS di masa lalu digunakan sebagai instrumen – ujung tombak oleh rezim otoritenianis orde baru untuk melindungi dan memperbesar derajat berkuasa dan membenarkan apa yang dilakukan oleh para teknokratis untuk menjamin sebuah istilah pembangunan dan untuk mendapatkan pinjaman uang atau bantuan luar negeri hingga melahirkan apa yang disebut aliansi oligarki birokrasi pemerintah atau aliansi modal politik dalam negeri.