Menakar Evaluasi Kepemimpinan Gubernur Maluku Murad Ismail
Padahal cara evaluasi tersebut telah direvisi seiring kita menganut sistem pemerintahan demokratik yang diharapkan lahirnya masyarakat sipil daerah yang kuat sehingga menjadi kunci terciptanya hubungan yang equal antara aktor utama dalam lapangan demokrasi yaitu pemimpin / negara, masyarakat dan pasar.
Tidak berlebihan bila cara evaluasi figuritas kepala terus dipertahankan maka senantiasa oleh publik kritis akan mencium aroma amis bahwa evaluasi tersebut terasa kuat sebagai upaya politis mendelegitimasi kepemimpinan yang ada dan ada upaya menyodorkan calon figur lain dalam pemilihan kepala daerah berikutnya.
Cara seperti seperti itu akan mengingat publik daerah sebagai proses politik berulang yang sarat dengan tindakan pragmatisme dan ekskulsifisme politik elit. Padahal masalah subtansial daerah bukan letaknya disitu, melainkan pada sistem sosial daerah dan perilaku elitnya.
Tentu perspektif itu saya dasarkan pada pengalaman empirik. Jelas fakta politik menggambarkan dalam setiap proses suksesi alih kepemimpinan gubernur Maluku di era reformasi kering dari politik gagasan.
Sebaliknya yang didapatkan adalah perbebatan parsial, dangkal dan pragmatisme soal figuritas calon pasangan kepala daerah dan dukungan partai politik. Bahkan proses suksesi kepemimpinan Maluku seringkali diawali dengan mencuatnya isu-isu sektarianis dan konflik komunalistik.
Dalam kaitan itu maka tentu evaluasi kepemimpinan yang didasarkan pada data kuantitatif sekunder BPS sedapat mungkin harus relevan dengan rujukan referensi utama yang memiliki kekuatan pengungkapan fakta historis, sosio antropologis, sosial ekonomi, sosial politik yang memungkinkan publik tercerahkan.
Terpenting dari itu ruang evaluasi kritis daerah semakin terbuka dan mengarah pada penguatan masyarakat sipil daerah society centered. Itu adalah bentuk ikhtiar alternatif bersama untuk menghadapi tantangan sistem demokrasi nasional yang kain kompleks dan kompetitif (*)