Aliansi modal tersebut adalah hubungan perkoncoan segelintir orang atau kelompok politik yang berjaya di masa kekuasaan orba dan mendapat hak relasi untuk mengendalikan pemerintahan birokrasi daerah yang hingga kini. Mereka terlibat mengatur dan mengendalikan kebijakan pembangunan, mendirikan dan membiayai partai politik serta memiliki pengaruh yang kuat dalam sistem pemerintahan dari pusat hingga daerah.

Kondisi tersebut diperparah dengan pemiliharaan pola patronase politik lokal, fedoalisme dengan menggunakan anasirme identitas. Tentu di aras lokal kita dapat melihat dan merasakan keadaan itu. Bila diurai lebih dalam maka kita bisa menemukan akar dari pemiskinan daerah.   

Dalam konteks itu, artinya narasumber tidak memahami relevansi kapan dan bagaimana penggunaan data kuantitatif BPS dengan tuntutan dari sistem demokrasi. Evaluasi kepemimpinan demokratik harusnya menggunakan data-data primer yang lebih luas yang dibarengi dengan dukungan referensi utama.

Pengunaan data kuantitatif BPS tidak akan mendapatkan sudut objektif dan hanya  menjelaskan suatu ukuran keberhasilan kepemimpinan daerah bersifat strukturalis - kuantitatif bukan kulturalis paradigamatik – kualitatif yang diletakan dalam subyek kepemerintahan (governance) yaitu masyarakat sipil, pemerintah / negara dan pasar.

Ketiga, penilaian dengan menggunakan data kuantitatif dan infografis BPS seringkali dimanfaatkan secara politis untuk mempengaruhi publik agar tercipta garis dembarkasi yang membelah dua belah pihak secara ekstrem. Satu pihak katakanlah yang sedang memimpin dapat dicitrakan buruk dan lawan atau kelompok oposisi politiknya seolah orang yang memiliki citra baik atau serta sebaliknya.

Sebagaimana saya sudah jelaskan di point kedua, penggunaan penilaian evaluatif dengan data BPS terbilang dangkal dan berpotensi bias. Karena data sekunder ekonomi dibentuk dengan asumsi ceterus paribus atau mengabaikan faktor-faktor non ekonomi.

Selain dari itu yang harus diingat bahwa sistem politik pemerintahan telah berubah dari rezim otoriterianis ke rezim demokratik yang sangat tidak mungkin menilai dan mengoreksi kepemimpinan daerah tanpa melihat faktor non ekonomi yang sangat deterministik mempengaruhi pembentukan proses demokrasi proseduralistik dan kepemimpinan daerah.

Faktor non ekonomi seperti faktor sejarah politik pemerintahan daerah yang di dalamnya menyangkut aktor dan agen politik lokal yang dominan dalam praktik politik perebutan sumberdaya ekonomi dan pasar (monopolistik), penguasaan sumberdaya alam serta penguasan uang oleh segelitir orang (oligarkis).

Faktor institusi tradisionil dan modern, faktor sosio-antropologis menyangkut dengan relasi sosial tradisi kemasyarakatan dan keagamaan yang di dalamnya mengambarkan praktik politik aliran dan identitas. Juga yang terpenting faktor keadaan kedaruratan – force mayor – bencana alam, pandemik dan sebagainya.

Dalam konteks itu maka penilaian berhasil dan tidaknya kepemimpinan demokratik daerah Maluku haruslah hati-hati. Sebab juga menjadi rahasia umum publik luas memahami betul faktor penyebab keterpurukan daerah.