Demokrasi Prosedural dan Pemilu, Refleksi Teoritis
Oleh : Achmad Husein Borut, SH., MH (Advokad dan akademisi)
Pemilihan umum menjadi prinsip dari sebuah demokrasi, arti demokrasi termanifestasikan di dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang mendefinisikan demokrasi dengan rangkaian kata langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Dalam mencapai sebuah cita demokrasi, partisipasi masyarakat menjadi kunci utamanya dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Dimana suara mayoritaslah yang menentukan, melalui pemilihan umum pemerintahan yang baru pun terbentuk, dengan kata lain pemilu merupakan sarana untuk memproduksi kontrak sosial baru.
Mengkonstruksikan pemilihan umum yang ideal dan demokratis tidaklah mudah, independensi penyelenggara pemilihan umum sangatlah penting agar pemilihan umum yang demokratis dapat berjalan secara fair.
Demokrasi sebagai sebuah konsep yang utopis, ruang heteroutopias kuasa dalam bentuk yang imajiner, yakni meletakan kekuatan sepenuhnya di tangan demos atau rakyat.
Gambaran tentang apa, bagaimana dan mengapa konsep demokrasi dikejar sebagai sebuah mimpi bersama merupakan pertanyaan peradaban yang tiada akan pernah selesai. Jelasnya demokrasi tetap saja sebagai sebuah idealisme yang terus menerus diperjuangkan.
Negara sekelas Amerika, kiblat dari sistem demokrasi, masih merasa jauh dari cita-cita demokrasi subtansial yang dibayangkan. Seorang ilmuwan politik Amerika, L. Sandy Maisel Meliris sebuah buku berjudul Amerika Political Parties and Elections; A Very Short Introduction, memberi sebuah ruang diskursus dalam sub bab bertajuk “Far From The Perfect".
Demokrasi paling fundamental di Amerika menurut Maisel yang memprihatinkan adalah tingkat partisipasi masyarakat yang rendah dalam menyalurkan hak politiknya pada pemilu, kurang dari 60% rata-rata keterlibatan warganya.
Di Indonesia sama halnya dengan negara-negara yang lain, menjadi salah satu primadona indikator termanifestasikannya elemen-elemen demokrasi sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 yang mendefinisikan demokrasi dengan rangkaian kata langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Tak heran demokrasi sebagai sebuah bintang pemandu (leinstar) juga memberikan landasan metafisika moral dan etis pada pelaksanaan pesta demokrasi rakyat itu. Tanpa cita demokrasi sebagai cita hukum, maka pelaksanaan pemilu juga hanyalah sebuah rutinitas biasa saja.
Bagi Satjipto Rahardjo, yang adalah pencetus filsafat hukum progresif indonesia. Pemilu merupakan sebuah lembaga yang memproduksi kontrak sosial baru. Sebagaimana ia refleksikan pada saat Pemilu 2004 lalu.
Beliau menulis renungan sebagai berikut ini: “Untuk setiap pemilu, bangsa ini sebaiknya membuat kontrak sosial baru. Semua peserta pemilu harus tandatangan kontrak itu. Lagi-lagi para elit dan setengah elitlah yang harus membubuhkan tandatangannya disitu. Rakyat kan itu diam saja digiring kesana-kemari, sekalipun akhirnya mereka yang menerima getah dari ulah para elit,”