Oleh : Amudtasir Z Sangadji (Anggota KPU Maluku)

PUBLIK sering bertanya, apakah Pemilihan serentak berikutnya dilaksanakan  pada tahun 2022, tahun  2023 atau tahun 2024? Ada dua pendapat publik  dalam hal ini. Pertama  publik yang melihat secara periodik, berdasarkan siklus waktu 5 tahun pelaksanaan Pemilihan.

Dalam logika ini, Pemilihan serentak berikutnya merujuk Pemilihan 5 tahun sebelumnya.  Pemilihan 2015 dilaksanakan 2020, Pemilihan 2017 dilaksanakan 2022 dan pemilihan 2018 dilaksanakan 2023.

Pendapat kedua, merujuk pada hukum positif dalam  ketentuan peralihan UU Pemilihan, yakni Pasal 201 UU 10/2016. Ayat (8) pasal tersebut menyatakan pemungutan suara serentak nasional  di seluruh Indonesia dilaksanakan pada bulan November  2024.

Jika merujuk pada ketentuan ini, maka siklus periodik normal Pemilihan  hanya berlaku pada hasil Pemilihan 2015, yang dilaksanakan pada 2020 (ayat 6 Pasal 201 a quo).  Sedangkan  hasil Pemilihan 2017 sebagaimana ditentukan ayat (3) berakhir tahun 2022, dan Pemilihan 2018 dalam ayat (5) berakhir 2023, dan selanjutnya Pemilihan serentak nasional dilaksanakan 2024.

Dengan demikian, terhadap hasil Pemilihan 2017 dan 2018 yang berakhir pada 2022 dan 2023, dan mengikuti Pemilihan 2024, maka  sesuai  ayat (9), ayat (10), dan ayat (11)  Pasal 201 UU 10/2016 dimaksud, kekosongan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan 2023, akan diisi oleh penjabat sampai dengan terpilihnya kepala daerah defenitif hasil Pemilihan 2024.

Oleh karena itu, desain politik hukum keserentakan Pemilihan dalam UU 1/2015 dan  perubahannya, terutama dalam ketentuan peralihan dalam Pasal 201 UU 10/2016,  telah mengkondisikan Pemilihan serentak nasional pada 2024, setelah 4 gelombang Pemilihan serentak dalam siklus yang berbeda,   pada gelombang pertama 2015, gelombang kedua 2017, gelombang ketiga 2018, dan gelombang keempat 2020.

Putusan MK  dan Isu Legislasi

Dalam kenyataanya kepastian Pemilihan 2024,  sesuai Pasal 201 UU 10/2016, akan sangat tergantung isu legislasi perubahan UU 7/2017 tentang Pemilu. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung memberikan kemungkinan pengaturan Pemilu dan Pemilihan akan disatukan dalam satu naskah UU Pemilu, dalam merespon putusan  MK No. 55/PUU-XVII/2019 tanggal 26 Februari 2020. Dalam putusan tersebut, MK membuka  kemungkinan pengaturan  keserantakan menjadi domain pembuat UU, yakni  DPR dan Presiden.

Dalam putusan itu mengkonstruksi ulang pilihan-pilihan dalam menentukan keserentakan Pemilu, yang pada pokoknya pilihan Pemilu 5 (lima) kotak suara menjadi bukan satu-satunya pilihan.

Semula pilihan Pemilu 5 kotak suara selalu mengacu pada dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang mana MK menjelaskan bahwa dari sisi original intent dan penafsiran sistematik, Pemilu harus dilaksanakan secara serentak dan terdapat 5 kotak suara.

Argumentasi  MK ini sebangun dan  sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” dalam “satu tarikan nafas”.