“Sejumlah putusan sengketa hasil oleh  MK, telah memberikan batasan tertentu yang bersifat formil beracara.  Dari sekian  syarat formil yang paling ketat dilakukan MK, yakni berkaitan dengan waktu pengajuan  permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 157 ayat (5) dan  batasan persentase perbedaan selisih perolehan suara dalam Pasal 158  ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilihan,”

Oleh : Almudatsir Z Sangadji (Anggota KPU Provinsi Maluku)

KERANGKA hukum  Pemilihan  (electioral law) mengenal beberapa  jenis pelanggaran dan sengketa dalam Pemilihan.  Dalam UU Pemilihan  (UU 1/2015 dan perubahannya melalui  UU 8/2015, UU 10/2016 dan UU 6/2020), jenis pelanggaran dan sengketa Pemilihan  diatur pada BAB XX yang terdiri dalam 6 bagian, dari Pasal 136 – 158.

Dari  kerangka hukumnya,  terdapat 3 jenis pelanggaran Pemilihan, yakni pelanggaran kode etik yang diperiksa dan diadili melalui DKPP (bagian kesatu dalam Pasal 136-137), pelanggaran administrasi ditangani melalui Bawaslu (bagian kedua dalam Pasal 138 – 139)  dan pelanggaran pidana Pemilhan ditangani  melalui Sentra Gakumdu (Bawaslu, Polri dan Kejaksaan) dan Majelis Khusus Pidana Pemilihan (bagian keempat dalam Pasal 153 – 155).

Untuk jenis sengketa dalam Pemilihan terdapat sengketa proses diperiksa dan diputuskan Bawaslu (bagian ketiga dalam Pasal 145 – 152), kemudian dapat dilanjutkan menjadi  sengketa tata usaha negara Pemilihan padai Pengadilan TUN (bagian kelima dalam Pasal 153 – 155)  dan sengketa hasil Pemilihan yang diadili dan diputus Mahkamah Konstiusi/MK  (bagian keenam dalam Pasal 156 – 158).

Sengketa Hasil Pemilihan

Saya  akan mengulas paradigma penyelesaian sengketa hasil Pemilihan, usai dilakukan bimtek kepada KPU penyelenggara Pemilihan secara daring oleh MK,   5 – 8 Oktober 2020.

Untuk hal itu, MK telah menerbitkan Peraturan MK 4/2020  tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perselisihan Hasil Gubernur, Bupati dan/atau Walikota, dan Peraturan MK 5/2020 tentang Tata Beracara Dalam Pemilihan Gubernur, Bupati dan/atau Walikota.

Pasal 156 ayat (1) UU 8/2016 mendefenisikan sengeta hasil atau  perselisihan hasil Pemilihan sebagai perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota  dan peserta Pemilihan  mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.

Ayat (2) pasal tersebut menegaskan perselisihan hasil Pemilihan  adalah perselisihan  penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi  penetapan  calon terpilih.

Dengan demikian, sengketa hasil Pemilihan dimulai dari diumumkan penetapan keputusan KPU daerah berkaitan dengan  perolehan suara akhir Pemilihan. Penetapan perolehan suara akhir ini, dalam hal Pemilihan Gubernur ditetapkan  KPU Provinsi. Dalam hal Pemilihan  Bupati dan/atau  Walikota ditetapkan  KPU Kabupaten/Kota.

Sesuai jadwal dan tahapan dalam PKPU 5/2020 rekapitulasi hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati  dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dilakukan   antara tanggal 13-17  Desember 2020 dan diumumkan hasilnya  antara tanggal  13 – 23 Desember 2020.   Untuk  rekapitulasi hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan antara 16 – 20 Desember 20220, dan diumumkan antara 16 – 26 Desember 2020.

Sesuai jadwal tahapan dan kegiatan dalam Peraturan MK 4/2020  pengajuan sengketa hasil di MK untuk Pemilihan Gubernur,  dapat dilakukan antara tanggal 16  Desember  2020 – 5 Januari 2020 dan pengajuan untuk Pemilihan Bupati dan/atau Walikota antara 13 Desember 2020 – 5 Januari 2020, dengan memperhatikan  Pasal 7 ayat (2) MK 5/2020, yakni  3 hari kerja terhitung sejak  diumumkan penetapan perolehan  suara hasil  Pemilihan.

Misalnya  pengumuman penetapan perolehan suara akhir  21 Desember 2020, maka pengajuan sengketa   3 hari kerja setelahnya, yakni dilakukan pada tanggal 23 Desember 2020.   Namun apabila pengumuman penetapan perolehan suara akhir 23 Desember 2020, maka  pengajuan sengketa paling lambat 29 Desember 2020, karena pada 24-25 Desember 2020 adalah hari  cuti natal  dan  libur hari natal.

UU Pemilihan  memberikan kemungkinan pengajuan pembatalan keputusan penetapan  hasil akhir perolehan suara, dengan syarat adanya selisih perolehan suara 0,5 % – 2 %  dari total  suara sah hasil Pemilihan.

Kriteria jumlah persentase 0,5 % – 2 %  sesuai jumlah penduduk  Provinsi  untuk Pemilihan Gubernur, dan jumlah penduduk Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan/atau Walikota, sebaimana diatur dalam Pasal 158 ayat (1) huruf a, b, c, dan d dan Pasal 158 ayat (2) huruf a, b, c dan d.