Oleh : Almudatsir Z Sangadji (Anggota KPU Provinsi Maluku)

FENOMENA arakan massa saat pendaftaran bakal pasangan calon dalam Pemilihan  2020 dari 4-6 September 2020  di hampir semua daerah dari 270 daerah, menuai banyak kecaman karena dapat menimbulkan klaster massal penyebaran Covid-19. Kecaman itu  tidak tepat hanya ditujukan kepada KPU, karena arakan massa berada di luar jangkauan penerapan protokol kesehatan dalam masa pendaftaran.

Sesuai  ketentuan protokol kesehatan dalam  Pemilihan, kegiatan pendaftaran adalah kegiatan pertemuan dalam ruangan dan penyerahan berkas.   Namun demikian banyak pihak memberikan sinyal perlunya Pemilihan 9 Desember 2020 ditunda. Dalam merespon hal tersebut,  Komisi II DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kemendagri dan KPU, Bawaslu dan DKPP (Senin, 21/9).

RDP tersebut dalam kesimpulannya   memastikan tidak ada perubahan jadwal Pemilihan, tetap dilaksanakan 9 Desember 2020.   Karena itu dari sisi Pemilihan tidak ada hal baru dari kesimpulan  RDP sebelumnya,  kecuali berkaitan dengan penegakan sanksi   hukum atas  pelanggaran protokol kesehatan.

Poin kedua kesimpulan RDP berpengaruh langsung terhadap kebijakan tahapan Pemilihan. Paling tidak dari bentuk kegiatan yang dibatasi  dengan protokol kesehatan.  Karena itu RDP merekomendasikan perlu perubahan PKPU 10/2020 tentang  Perubahan atas PKPU 6/2020  Pelaksanaan Pemilihan  dalam Kondisi  Bencana Nonalam. PKPU 10/2020 bersifat lex spesialis atas PKPU tahapan lainnya,   yang tetap berlaku berdasarkan Pasal 98 PKPU 6/2020.

Namun dalam   keberlakuannya dibatasi dengan ketentuan protokol kesehatan dalam Pemilihan yang diatur dalam PKPU Pemilihan dalam Kondisi Bencana Nonalam (PKPU 6/2020 jo. PKPU 10/2020).  Karena itu sepanjang Pemilihan dilakukan dalam kondisi covid-19,  kenormalan PKPU tahapan lainnya, sepanjang diatur khusus dalam PKPU bencana, berlaku lebih khusus norma dalam PKPU bencana.

Perubahan PKPU 10/2020 dalam cakupannya   merujuk pada  penegasan RDP  berkaitan larangan dalam  Pemilihan, antara lain melarang kerumunan dalam kegiatan rapat umum, konser dan  arak-arakan; mewajibkan penggunaan masker, hand sanitizer, sabun dan alat pelindung kesehatan sebagai media kampanye; mewujudkan kampanye media daring;  tata cara pemungutan suara usia rentan covid; dan rekapitulasi  hasil melalui e-rekap.

Sikap tegas atas sanksi  pelanggaran protokol kesehatan ditegaskan RDP dalam poin  kedua huruf d, yakni  dengan penegakan hukum berdasarkan  UU 10/2016  tentang Pemilihan Pasal 69 huruf e dan f,  UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular Pasal 14 ayat (1),  UU 6/2018 tentang  Kekarantinaan Kesehatan  Pasal 93, dan KUHP Pasal 212, 214, 216 ayat (1).

Itu artinya sanksi  penegakan protokol kesehatan dapat dilakukan oleh empat UU berbeda, namun  hanya satu  UU yang dapat diproses melalui penerapan sanksi pelanggaran  Pemilihan.

Dalam UU 10/2016, pelanggaran protokol kesehatan dalam  Pemilihan diperluas maknanya sebagai mengganggu keamanan, ketentraman dan ketertiban umum dan melanggar larangan dalam kampanye melakukan pawai dengan berjalan kaki atau kendaraan  di jalan raya, sebagaimana diatur  dalam larangan dalam kampanye pada Pasal 69 huruf e  dan  huruf j.

Penegakan Sanksi Pidana

Pelanggaran terhadap Pasal 69 huruf e dan huruf j  UU 10/2016  diganjar sebagai sanksi pidana Pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 187 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016, dengan hukuman pidana penjara dan/atau denda.

Pelanggaran terhadap Pasal 69 huruf dikenai sanksi sesuai  Pasal 187 ayat (2), dengan penjara paling singkat 3 bulan dan maksimal 18 bulan dan/atau denda minimal 600 ribu rupiah dan denda  maksimal 6 juta rupiah.

Pelanggaran Pasal 69 huruf j dikenai sanksi dalam pasal 187 ayat (3), dengan penjara minimal  1 bulan dan maksimal 6 bulan dan/atau denda minimal  100 ribu rupiah dan denda maksimal 1 juta rupiah.

Karena itu berkaitan dengan sikap tegas RDP  dengan mengakomodir UU  4/1984, UU 6/2018  dan KUHP dalam konteks pelanggaran  pidana dalam  kegiatan  Pemilihan, tidak serta merta dapat ditegakan dalam mekanisme pelanggaran pidana Pemilihan. Sebab  berdasarkan Pasal 145 UU Pemilihan, tindak  pidana didefenisikan sebagai  pelanggaran atau kejahatan  terhadap ketentuan  Pemilihan sebagaimana diatur   dalam UU Pemilihan.

Penyelesaian tindak pidana Pemilihan juga diatur  tersendiri dalam  Pasal 146 – 152 UU Pemilihan, yang ditangani melalui sentra Gakumdu (Bawaslu, Polri dan Kejaksaan) dan diadili melalui  Majelis Khuss Tindak Pidana.

Dengan demikian  penerapan sanksi pidana  sebagaimana diatur dalam UU 4/1984 dan UU 6/2018  tidak dapat dimaknai penerapannya sebagai penegakan tindak pidana Pemilihan.

Artinya   tiga  UU tersebut berlaku terhadap pelanggaran pidana dalam kegiatan Pemilihan namun  terhadap unsurnya maupun prosedur  penegakannya tidak dapat ditangani oleh Gakumdu dan diadili oleh Majelis Khusus Pidana Pemilihan. Meskipun  demikian pelanggar protokol kesehatan  dalam tahapan Pemilihan, berpotensi untuk dijerat dengan empat UU tersebut, dengan mekanisme masing-masing.