Antisipasi Pembatalan Calon Dalam Pemilihan 2020
Oleh : Almudtasir Z Sangadji (Anggota KPU Provinsi Maluku)
DALAM kerangka hukum Pemilihan beberapa pelanggaran dapat dinilai sebagai pelanggaran serius, yang dapat dikenakan pembatalan pasangan calon.
Dalam diskusi daring DPD Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Provinsi Maluku dengan tema “Kesiapan Penyelenggara Pilkada ditengah Pandemi Covid-19” 4 Juli 2020, pertanyaan soal hal ini mengemuka, terutama berkaitan penyalahgunaan program bantuan sosial pemerintah dalam masa pandemi oleh kepala daerah, di daerah yang sedang melaksanakan Pemilihan.
Posisi kepala daerah sebagai pemerintah daerah dan Ketua Gugus Tugas Covid-19, sehingga kebijakannya berada di tangan kepala daerah. Kondisi pemberian bantuan niscaya untuk meringankan kebutuhan masyarakat dalam situasi pandemi. Namun hal tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan politik. Bantuan sosial tidak boleh mengandung citra diri, dan dimanipulasi untuk mempengaruhi pilihan politik Pemilih.
Dalam konteksnya, pelanggaran jenis ini perlu dipastikan unsurnya, karena kebutuhan pemberian bantuan tersebut dilakukan sesuai keadaan yang harus dilakukan. Namun dalam hal kontestasi Pemilihan, kehati-hatian calon dalam melaksanakan program bantuan, sebisa mungkin tidak dilakukan dengan motif-motif korupsi politik atau untuk manipulasi pilihan politik Pemilih.
UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota menjadi UU, dalam Pasal 71 Ayat (3) melarang kepala daerah menggunakan kewenangan dalam program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan calon terpilih.
Ayat (1) melarang pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri dan kepala desa atau sebutan lain membuat keputusan atau tindakan yang merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan calon. Dalam ayat (2) dilarang kepada daerah melakukan pengantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.
Selanjutnya sanksi atas pelanggaran Pasal 71 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), dikenal dengan dua cara, yang diatur dalam ayat (5) dan ayat (6). Dalam ayat (5) dinyatakan apabila pelanggaran terhadap ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh kepala daerah (yang mencalonkan diri kembali) patahana dikenai sanksi pembatalan sebagai calon. Dalam ayat (6) menegaskan apabila dilakukan oleh kepala daerah atau pejabat lain yang bukan patahana sanksinya diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Aspek Hukum Pelanggaran
Ada beberapa aspek penting yang perlu diketahui berkaitan dimensi hukum pelanggaran, terutama dalam ketentuan Pasal 71 UU Pemilihan. Pertama dari sisi subjek hukum yang melanggar. Ayat (1) menyasar pada subjek hukum yang luas, yakni pejabat negara, pejabat daerah, ASN, TNI/Polri dan kepada daerah atau sebutan lain. Ayat (2) dan ayat (3), menentukan subjek hukum pelanggar sebagai kepala daerah (Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota).
Kedua, jenis pelanggaran sesuai ayat (1) dan ayat (3) berhubungan dengan keputusan atau tindakan, kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Sedangkan dalam ayat (2) ditegaskan pelanggarannya berkaitan dengan pergantian pejabat.
Ketiga, kaidah jangka waktu pelanggaran dalam ayat (1) tidak disebutkan secara limitatif, namun dalam ayat (2) dan ayat (3) disebutkan 6 (enam) bulan sebelum penetapan pasangan calon. Durasi jangka waktu larangan dalam ayat (3) sampai dengan akhir masa jabatan. Dalam ayat (3) durasi larangannya sampai dengan penetapan calon terpilih.
Artinya jika merujuk pada Peraturan KPU 5/2020 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal penetapan pasangan calon tanggal 23 September 2020. Perhtungan 6 bulan sebelum Penetapan calon adalah 23 April 2020. Dengan kata lain, per tanggal 23 April 2020 kepala daerah di daerah yang sedang melaksanakan Pemilihan, tidak boleh melakukan penggantan pejabat sejak tanggal 23 April 2020 sampai dengan masa akhir jabatannya dan tidak menyalahgunakan kewenangan dalam program dan kegiatan sampai dengan penetapan calon terpilih.
Keempat luas jangakuan pelanggaran dalam ayat (3) secara potensial melihat adanya kemungkinan penyalahgunaan kewenangan, program dan kegiatan oleh kepala daerah di daerah lain. Misalnya, ada bantuan sosial dari kepala daerah di daerah A untuk digunakan calon di daerah B utuk mempengaruhi sikap pemilih di daerah B yang sedang melaksanakan Pemilihan.
Penegakan Penerapan Sanksi
UU Pemilihan mengatur secara jelas kategori pelanggarannya, namun mekanisme pemberian sanksi tidak semua diatur dalam rezim UU Pemilihan. Dalam hal ini sanksi administratif dan pidana Pemilihan yang disebutkan secara jelas dan tegas dalam UU Pemilihan, dapat ditegakkan sesuai UU Pemilihan. Namun untuk jenis pelanggaran yang didelegasikan sanksinya melalui peraturan tersendiri, penerapannya sanksinya dilakukan dalam peraturan yang terpisah.
Misalnya terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh ASN, TNI-Polri, pejabat negara dan pejabat daerah atau kepala desa atau sebutan lain, dapat direkomendasikan pengawas Pemilihan untuk ditindaklanjuti dan diberikan oleh instansinya. Pejabat negara dan ASN diberikan sanksi sesuai UU ASN, TNI/Polri sesuai UU TNI/Polri, pejabat daerah dan kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 71 dapat dilakukan melalui mekanisme pelanggaran administratif dan pidana Pemilihan. Pelanggaran terhadap ayat (1) yang dilakukan oleh pejabat negara, pejabat ASN dan kepala desa atau sebutan lain, dapat dintindak sebagai pidana Pemilihan sesuai Pasal 188 UU Pemilihan. Ancaman pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak sedikit 6 ratus ribu rupiah dan paling banyak 6 juta rupiah.
Sanksi atas pelibatan pihak-pihak sebagaimana dalam ayat (1) oleh calon kepala daerah juga dikenakan ganjaran pidana Pemilihan berdasarkan Pasal 189 UU Pemilihan, dengan penjara 1 bulan – 6 bulan dan/atau denda 6 ratus ribu rupiah – 6 juta rupiah. Dalam Pasal 190 pejabat yang melanggar Pasal 71 ayat (2) atau melakukan penggantian pejabat tanpa persetujuan menteri yang diatur pula dalam Pasal 162 ayat (3) diganjar hukum penjara dan denda yang sama.
Mekanisme penyelesaian tindak pidana Pemilihan dilakukan sesuai ketentuan Pasal 145 s.d. Pasal 152 UU Pemilihan, dengan melakukan serangkaian penyidikan dan penuntutan oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) dan diadili oleh Majelis Khusus Tindak Pidana.
Sanksi Pembatalan Calon
Penerapan sanksi administratif dalam pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 71 UU Pemilihan dapat diberikan kepada calon patahana atau kepala daerah, pejabat negara, pejabat daerah, ASN/ TNI-Polri dan kepala desa atau sebutan lain. Dalam hal pelanggaran terhadap ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh calon patahana, maka sesuai ketentuan ayat (5) dapat dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon.
Defenisi calon patahana adalah kepala daerah yang kembali mencalonkan diri di daerahnya, sehingga karenanya dilarang melakukan penggantian pejabat atau membuat program dan kegiatan yang menguntungkan dirinya atau merugikan pasangan calon lainnya, 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan calon terpilih atau dalam hal penggantian pejabat sampai dengan akhir masa jabatannya, kecuali dengan persetujuan menteri.
Kepala daerah bukan patahana yang melanggar ayat (2) dan ayat (3), dapat diberikan sanksi administratif sesuai peraturan yang berlaku, yakni UU Pemerintah Daerah. Dengan demikian pelanggarannya diatur dalam UU Pemilihan sepanjang ayat (2) dan ayat (3), namun sanksinya merujuk pada UU lain. Hal yang sama berlaku kepada pejabat negara, pejabat daerah, ASN, TNI/Polri dan kepala desa atau sebutan lain.
Pemberian sanksi administratif berupa pembatalan calon patahana karena melanggar ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat seketika dilakukan sebelum dilakukan penetapan pasangan calon. Karena itu calon yang melakukan pelanggaran dalam jangka waktu 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon, hanya dapat dibatalkan pencalonannya, setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon.
Rumusan norma demikian, secara teknis dan prosedur, membutuhkan kajian dari sisi penilaian pelanggaran dan penegakkannya, karena pelekatan pelanggaran dari sisi waktu dapat dinilai 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon, namun konsekewensinya sanksi baru dapat dinilai setelah mereka ditetapkan sebagai calon.
Selain pembatalan calon karena sanksi pelanggaran administratif sebagaimana ditentukan oleh ketentuan, pembatalan calon juga dapat berhubungan dengan adanya putusan pidana Pemilihan.
Hal ini mungkin saja terjadi, apabila ada putusan pidana Pemilihan dalam masa pencalonan, sehingga calon tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan calon berdasarkan Pasal 7 ayat (2) hurug g UU Pemilihan, yang menegaskan calon tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Degan demikian politik hukum UU Pemilihan telah memberikan ketegasan soal kemungkinan pembatalan calon, jika itu dilakukan oleh calon patahana. Selain itu pihak-pihak yang dapat melanggar sebagaimana diatur dalam UU Pemilihan, baik itu kepala daerah, pejabat negara dan pejabat daerah, ASN dan TNI/Polri dan kepala desa atau sebutan lain, agar dapat menahan diri, karena dapat ditindak secara disiplin administratif dan pidana Pemilihan (***)