BERITABETA.COM, Ambon – Minyakapi polemik terkait tarif listrik yang sering dikeluhkan membengkak oleh pelanggan, Rumah Aspirasi Saadiah Uluputty (SALUT CENTER) menggelar Webinar yang digelar secara daring melalui aplikasi  ZOOM, Sabtu (4/7/2020).

Webinar diusung dengan tema “Bedah Polemik Tarif Listrik Tetap, Tagihan Listrik Naik Pada Masa Pandemik Covid-19 Di Maluku,” diikuti 102 participants.

Vicon itu menghadirkan pembicara diantaranya Saadiah Uluputty, ST. (Anggota Komisi VII DPR RI Dapil Maluku), Tulus Abadi, SH. (Ketua Pengurus Harian YLKI), Ir. Romantika Dwi Juni Putra (General Manager PT. PLN Unit Induk Maluku-Malut), dan Hasan Slamet, SH., MH. (Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Maluku).

Dalam paparnya Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, tagihan melonjak atau yang billing shock tagihan listrik selama pandemi menurut telah membuat masyarakat menjadi shock, karena tagihan listrik tersebut melonjak naik.

“Kenaikan tersebut hampir 200-300 persen selama pandemi. Hal ini dikarenakan beberapa faktor diantaranya literasi ketenagalistrikan-produck knowledge, sumber daya manusia, insfrastruktur dan proses bisnis, keberadaan Kwh kedaluwarsa harus ditera ulang,” paparanya.

Ia mengatakan, agar tidak menimbulkan billing shock, tagihan yang melebihi 200 persen harus investigasi karena kalau efek dari Work From Home rasional antara 30,40-100 persen masih rasional, tapi kalau sampai 200 persen, bahkan lebih ini tidak rasional pasti ada yang salah.

“Kita juga meminta agar PLN tidak melakukan ancaman atau pemutusan terhadap sengketa, yang kepada konsumen tagihannya melonjak dan diancam akan diputuskan listrik, dsb. Ini saya kira melanggar etika dan UUPK (Undang-undang perlindungan konsumen) ini harus diinvestigasi,”tegasnya.

Dari masalah-masalah tersebut YLKI menyarankan komunikasi publik antara PLN dengan masyarakat, terutama saat momen genting seperti pandemi ini harus digencarkan ke publik, agar publik juga paham dan tidak bertanya-tanya.

“Perbanyak komunikasi langsung dengan konsumen, silahkan lakukan tera ulang terhadap 14 juta kWh meter yang kedaluwarsa, agar alat ukurnya tepat dan tidak merugikan konsumen dan PLN, melakukan penyelasaian-penyelesaian pengaduan konsumen, perbaiki hak-hak pekerja pencatat meter, melakukan digitalisasi proses input data kWh meter dengan melibatkan publik,”pintanya.

Di ruang yang sama General Manager PT. PLN Unit Induk Maluku-Malut Romantika menjelaskan bahwa situasi WFH, sehingga tagihan listrik melonjak dikarenakan pada masa PSBB  PLN tidak dapat mengunjungi pelanggan untuk melakukan pencatatan meter. Tagihan listrik April dan Mei didasarkan pada pergitungan rata-rata penggunaan listrik tiga bulan terakhir (Januari, Februari dan Maret).

“Aktifitas selama di rumah mengakibatkan kenaikan listrik, sekolah ditutup anak-anak belajar di rumah, sehingga terjadi pemakaian yang cukup besar, karrna pada tiga bulan sebelumnya tidak dicatat, dan pada bulan selanjutnya petugas turun dan mencatat sehingga terjadinya kenaikan-kenaiakan tersebut,” tandasnya

Dirinya juga mengatakan adapun target-target perluasan tenaga listrik di desa-desa terpencil di Maluku telah dirancang tahun ini. Tetapi karena adanya covid-19 hal ini menjadi kendala disaat pengiriman material, transportasi yang dibatasi dan SDM yg terbatas.

Sementara itu menurut Hasan Slamet pelayanan publik memenuhi kebutuhan masyarakat harus sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Masyarakat berharap mendapatkan diskon dari penarikan tagihan listrik dimasa covid-19, dan tidak semua orang bisa mendapatkan diskon listrik terutama yang non subsidi.

“Akhirnya muncul pendapat kenapa tidak semua saja dikasih diskon karena di masa covid-19 ini semua orang terdampak. Ada juga yang mengadu tagihan yang tidak sesuai dengan pemakaian,” jlas Slamet

Menanggapi reaksi Maluku belum ada  melapor soal tagihan listruk, yang membengkak. Menurut Uluputty hal tersebut bisa saja ada, tapi masyarakat tidak tau mau melaporkan ke mana.

“Untuk masalah belum ada laporan terkait tagihan listrik di Maluku, yang dilaporkan ke ombudsman bukan berarti belum ada polemik tersebut di Maluku, bisa jadi itu ada tapi masyarakat belum tau di mana menyampaikan persoalannya,”papar Uluputy.

Terkait dengan keluhan masyarakat tentang tagihan listrik dirinya berharap kedepan banyak terbuka ruang diskusi bersama masyarakat.

“Kami berharap kedepannya terbuka ruang-ruang dialog publik antara masyarakat, PLN, pemerintah untuk mendengar dan mencari solusi yang terbaik guna meningkatkan pelayanan yang handal dan berkualits kepada masyarakat,” pintanya.

Uluputy juga menambahkan bahwa operasi jam nyala di Maluku masih berbeda dengan daerah-daerah lain yang di Jawa, Bali dan Sulawesi dan Kalimantan, di mana daerah-daerah itu sudah surplus listrik, sedangkan di Maluku masih defisit ini juga bisa menjadi catatan kepada PLN.

Menurut Uluputty PLN selalu melihat orientasinya pada ekonomi, sehingga hal itu  berdampak juga pada pemberlakuan operasi durasi jam nyala.

“Jadi masih ada pemberlakuan 6 jam nyala, 2 jam nyala, 24 jam nyala yang sering kami kritisi sebagai salah satu diskriminasi bagi kami di Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat,” tutup Uluputty (BB-DIO)