Oleh : Iskandar Pelupessy (Pemerhati Masalah Sosial)

MASA pandemi Covid-19 ini ramai dengan kata  yang bernama rapid test, di kutip dari halaman alodokter.com mengatakan Rapid test atau tes serologis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan mengambil sampel darah dari ujung jari.

Setelah itu, sampel darah akan diteteskan ke alat rapid test untuk mengetahui apakah darah mengandung antibodi yang menandakan orang tersebut sedang atau pernah mengalami infeksi suatu virus atau tidak. Beberapa penyakit yang membutuhkan pemeriksaan jenis ini adalah penyakit demam berdarah, virus Zika, hepatitis B, chikungunya, dan COVID-19.

Kisruh dan ribut-ribut soal rapid test yang angka pembayarann di tiap-tiap daerah atau klinik berbeda pembayaranya, terus menjadi sorotan publik. Angka yang berbeda ini diungkapkan langsung oleh pihak Ombudsmen dalam investigasinya. Disamping menghambat masyarakat yang ingin berpergian untuk urusan penting.

Tak jarang masyarakat sering terhambat, karena harus berburu dengan waktu untuk mengantongi hasil rapid test sebagai prasyarat berpergian, belum lagi disibukan dengan urusan administrasi lainnya yang berbelit. Bukan Cuma itu masalahnya, kadang-kadang harga rapid test yang berbeda, ada yang melambung tinggi turut menjadi beban.

Beranjak dari berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh rapid test, pakar epidemiologi Pandu Riono seperti yang dikutip dari detik.com  angkat bicara mengenai fenomena yang ramai dibicarakan dan yang marak dilakukan pemerintah daerah di tengah wabah virus Corona (COVID-19) ini.

Menurutnya, rapid test mesti dihentikan secepatnya. Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), rapid test sangat tidak akurat. Menurutnya, hasil rapid test tidak bisa menjadi acuan..”Adanya testing cepat antibodi, rapid test, ini sangat tidak akurat, yang dites itu antibodi.

Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berati bisa infeksius,” kata Pandu.

Dengan maraknya fenomena rapid test, terang Pandu, terjadilah komersialisasi. Salah satunya ketika rapid test menjadi syarat seseorang sebelum boleh menggunakan transportasi pesawat ataupun kereta api. Padahal, menurutnya, rapid test belum dijamin akurasinya.

Dugaan komersialisasi juga diungkapkan Anggota Ombudsman RI, Laode Ida beliau  mengatakan pihaknya melakukan investigasi terkait harga alat rapid test yakni Rp75.000. Karena itu, dia mengaku kaget ketika ada kewajiban masyarakat yang mau bepergian dikenai biaya antara Rp300 ribu sampai Rp1 juta.

Padahal menurutnya, pemerintah telah menganggarkan dana cukup besar sekitar Rp677 triliun. Menurut dia, memang Ombudsman belum melakukan investigasi terhadap penggunaan uang tersebut, ke mana saja dan siapa saja yang menggunakan.