BERITABETA.COM, Ambon – Sejak kemunculannya ditetapkan pemerintah sebagai langkah cepat menguji antibodi seseorang dalam melacak keberadaan virus corona (Covid-19), banyak pihak terutama rakyat kecil merasa terbebani dengan cara ini.

Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 Gugus Tugas Prcepatan Penanganan COVID-19 juga telah menyepakati metode ini. Surat ini tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Rapid test menjadi syarat wajib bagi mereka yang harus bepergian.

Sayangnya, belakangan tuntutan untuk menghentikan metode repid test makin marak disuarakan. Bukan saja masyarakat kecil. Para pakar pun meminta metode penggunaan rapid test untuk dihentikan.

Ada dua alasan yang menjadi dasar dari permintaan itu. Pertama  rapid test sangat tidak akurat. Hasil rapid test tidak bisa menjadi acuan. Kedua, penggunaan rapid test belakangan ini diduga terindikasi sudah menjadi salah satu produk komersialisi.

Hal inilah yang disampaikan pakar epidemiologi Pandu Riono. Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), rapid test sangat tidak akurat.  Hasil rapid test, kata dia, tidak bisa menjadi acuan.

“Adanya testing cepat antibodi, rapid test, ini sangat tidak akurat,” imbuh Pandu.

“Yang dites itu antibodi. Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berati bisa infeksius,” kata Pandu seperti dikutip dari detik.com dalam diskusi ‘Jelang Usai PSBB Transisi’, Sabtu (4/7/2020).

Sorotan serupa juga disampaikan Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari Soebekty. Lely  menilai, pelaksanaan rapid test saat ini memunculkan indikasi komersialisasi dalam penggunaannya yang semakin ke sini menjadi sebuah kebutuhan.

“Rapid test yang belakang terdapat indikasi komersialisasi. Dari mana, karena memang ini bisa jadi faktor hukum ekonomi yang bekerja. Awal barangnya langka dan jadi mahal,” ujar Lely pada diskusi Radio Smart FM, Sabtu (4/7).

Lely menjelaskan beberapa contoh faktor potensi terjadi komersialisasi rapid test. Seperti hasil rapid test yang digunakan untuk surat bepergian menggunakan pesawat atau kapal. Kemudian sejumlah rumah sakit di Jakarta juga mensyaratkan orang yang akan berobat harus lolos rapid test dan rontgen paru.

“Maka saya kira, protokol ini saya kira ada yang berbeda dari protokol lain. Jadi penting adanya standarisasi layanan biaya, prosedur, protokolnya sampai SOP yang mengaturnya. Agar tidak mengikuti mekanisme pasar,” sebutnya.

Selain itu, Lely menilai, standarisasi layanan rapid test Covid-19 baik dari segi biaya maupun regulasi harus dibuat Pemerintah. Agar bisa mengintervensi kondisi luar biasa seperti saat ini.

“Ya pemerintah negara harus hadir intervensi di sektor itu, terlebih ini sudah ekstraordinari ya,” ujarnya.

Biaya Rapid Test

Pemicu penolakan rapid test salah satunya karena tarif yang sangat bervariasi. Beberapa instansi mematok tarif sekali tes dengan harga di bawah Rp 100.000, ada pula yang bertarif lebih dari Rp 300.000.

Harga perangkat tes yang bervariasi Epidemiolog yang juga Juru Bicara Satgas Covid-19 Rumah Sakit UNS Tonang Dwi Ardyanto mengatakan, perbedaan tarif rapid test itu disebabkan oleh harga perangkat rapid test yang bervariasi.

Selain itu, ada biaya-biaya tambahan yang membuat harga tes di setiap instansi berbeda, misalnya cara pengambilan sampel darah, alat pelindung diri (APD) petugas, dan lain-lain.

“Harga perangkat untuk alat tesnya saja macam-macam. Ada yang Rp 130.000 sampai Rp 400.000 untuk alatnya saja,” kata Tonang seperti dikutip dari Kompas.com.

“Padahal untuk melaksanakan pemeriksaan kan mengambil sampel darah. Harus pakai APD. Artinya kan ada biaya di luar pokok alat periksanya, sehingga menjadi sangat variatif,” lanjut dia.

Tonang mengatakan, perbedaan harga itu sebenarnya bisa diatasi dengan penyaringan lebih ketat terhadap alat rapid test yang masuk ke Indonesia. Sebab, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 memiliki rekomendasi 150 merek rapid test yang bisa diedarkan.

Menurut Tonang, rekomendasi rapid test seharusnya cukup 20 merek dengan menyempitkan kisaran harga.

“Kalau mau bagus, rekomendasinya cukup 20 merek dan range-nya jelas sekian. Karena kita juga harus fair. Kalau ada alat yang satu bisa Rp 400.000, ada yang puluhan ribu, kita kan mikirnya ‘Apa ya bener mutunya sama'” ujar Tonang.

Secara logika, lanjut dia, perbedaan harga rapid test juga berpengaruh pada akurasi hasil. Namun, dia tak bisa memastikan itu karena belum pernah mengujinya. Tonang menjelaskan, ada skema khusus untuk merek alat rapid test yang masuk ke Indonesia selama pandemi Covid-19, yaitu tanpa melalui pengujian.

Dalam kondisi normal, setiap merek alat tes yang masuk harus memalui pengujian, sebelum akhirnya mendapat izin edar. Faktor ini juga yang membuat

Ke-150 merek yang masuk ke Indonesia itu tidak semuanya mendapatkan rekomendasi dari pemerintah setempat. Oleh karena itu, penyaringan merek dengan mempersempit range harga diperlukan agar tarif pemeriksaan terkendali.

“Kalau alatnya itu sudah dapat range harga yang sempit, maka tarif pemeriksaannya terkendali. Tapi kalau hari ini kita susah. Ya gara-gara saking banyaknya (merek) tadi dan yang masuk itu belum melalui uji juga. Otomatis kita sulit menyaring mutunya,” papar Tonang.

Dengan kondisi belum ada standar dan rentang harga yang terlalu lebar dengan banyaknya pilihan merek seperti saat ini, menurut dia, sulit untuk memastikan berapa biaya rapid test yang wajar.

Pengamat penerbangan yang juga anggota Ombudsman, Alvin Lie, mengatakan bahwa indikasi rapid test sudah dijadikan ladang bisnis dengan munculnya drive thru rapid test, peperti tarif promo yang terlihat di kawasan Bandara Soekarno-Hatta.

Sejumlah maskapai, bahkan menggeber promo untuk memfasilitasi penumpang yang hendak terbang. Citilink, anak usaha Garuda, menggratiskan uji cepat bagi penumpangnya dalam jumlah tertentu, yakni 500 penumpang. Lion Air Group juga mengenakan tarif Rp95.000.

Menurutnya, di negara lain untuk para pelawat domestik berlaku penekanan pada protokol standar kesehatan. Di antaranya masker, Jaga jarak, pengukuran suhu tubuh.

“Di negara-negara lain, rapid maupun PCR hanya untuk orang yang products gejala. Ketersediaan alat tes diutamakan untuk mereka, tidak dibisniskan sebagaimana di sini,” ujarnya (BB-DIP)