Rapid Test Perlukah?
Apakah juga tidak termasuk biaya-biaya yang harus dikeluarkan rapid test, itu belum diinvestigasi oleh Ombudsman. Tapi yang mengagetkan itu rapid test bayar sekitar Rp300 ribu. Menurut La ode Ida harusnya, menyiapkan rapid test secara gratis karena sudah dianggarkan pemerintah, katanya seperti dikutip dari tvOne pada Selasa (30/6/2020).
Persoalan rapid test ini ternyata menjadi perhatian serius Koimis Ombudsmen RI, salah seorang Komisionernya yang fokus memperhatikan isu transportasi Alvin Lie menduga kewajiban rapid test dibuat untuk sekadar menjadi komoditas bisnis, alih-alih atas alasan kesehatan–mencegah penyebaran pandemi.
“Persepsi publik sudah ke sana. Seperti yang saya potret di Bandara Soekarno-Hatta, ada ‘drive thru rapid test harga promo’. Kalau sudah ada harga promo, kalau bukan bisnis apalagi?” katanya kepada reporter Tirto.
Alvin bilang idealnya tes rapid atau swab bukanlah tempat untuk mencari uang lebih. Alasannya sederhana: kedua tes tersebut merupakan layanan penunjang yang sangat dibutuhkan di tengah krisis pandemi COVID-19. Oleh sebab itu, ia mendesak pemerintah transparan dalam penentuan harga tes rapid dan swab.
Pemerintah bisa memberikan indeks rujukan seperti harga obat di apotek sehingga kemudian tidak ada yang membuka harga semaunya.
“Kami mendesak pemerintah agar transparan, sebenarnya harga rapid test di Indonesia berapa sih? Kemudian importirnya siapa saja. Jangan-jangan importirnya hanya dua tiga gelintir. Mereka bisa melakukan oligopoli juga,” kata Alvin kepada reporter Tirto.
Dengan Dana covid yang sudah 905,1 Trilun seharusnya pemeritah sudah bisa berpikir bagimana menggratiskan pembiayaan rapid test bagi, atau minimal memberi potongan harga dengan menyamaratakan harga seminimal mungkin.
Tak ayal karena itu, Laode Ida yang mengatakan harusnya masyarakat yang punya kepentingan untuk bepergian dengan melakukan rapid test itu tidak boleh dikenai biaya ekstra. Karena, kata dia, ini suatu bisnis yang tidak berperikemanusiaan dengan memanfaatkan ketakutan orang untuk memeroleh keuntungan pribadi atau kelompok.
“Bagaimana tidak? Ini harganya Rp70.000 bisa di-charge Rp1 jutaan. Harusnya, yang mewajibkan rapid test itu menyiapkan alat rapid test tidak boleh berbayar, gratis atau cukup mengganti biaya produksi alat rapid test itu sebesar Rp75.000,” jelas dia.
Melihat fenomena rapid test yang sudah meresahkan masyarakat. Ada baiknya pemerintah menghentikan praktek ini. Disamping ketakutan masyarakat ketika akan dites dan mejadi trauma tersendiri, juga diduga sistem pembayarannya menjadi ladang bisnis seperti yang diungkapkan beberapa komisioner Ombudsmen.
Semoga kisruh rapid test ini cepat terselesaikan (***)