Oleh : Muhammad Emir R Hehanussa (Sekretartaris Umum Himpunan Pemuda Pelajar & Mahasiswa Hualoy)

"Realitas Maluku memperlihatkan adanya pluralisme hukum dimana hukum adat berjalan beriringan dengan hukum negara. Negeri Hualoy memiliki aturan adat tentang tapal batas, tetapi tanpa pengakuan negara, aturan itu sulit dijadikan pegangan resmi. Sebaliknya, hukum negara tanpa melibatkan adat akan kehilangan legitimasi sosial."

Sudah lebih dari 80 tahun Indonesia merdeka, namun persoalan tapal batas di tingkat lokal masih saja menjadi masalah klasik yang tak kunjung terselesaikan. Negeri Hualoy di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, adalah contoh nyata bagaimana ketidakpastian batas wilayah bisa memicu keresahan, tarik-menarik kepentingan, hingga ancaman konflik berkepanjangan.

Pertanyaannya, sampai kapan persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan secara hukum ini dibiarkan menjadi “bom waktu” antar-generasi?

Banyak orang menganggap batas wilayah hanyalah perkara teknis. Padahal dibalik garis sederhana di peta, terkandung hal penting seperti hak ulayat masyarakat adat, identitas kolektif, kepastian hukum, dan legitimasi pemerintahan.

Negeri Hualoy, sebagaimana negeri- negeri adat lainnya di Maluku, memiliki sejarah panjang tentang wilayahnya. Namun tanpa penegasan dalam aturan hukum, batas itu hanya sebatas cerita yang rentan diperdebatkan.

Negara kita menganut prinsip “satu negara, satu pemerintahan, satu wilayah”. Artinya, tidak boleh ada ruang abu-abu dalam soal batas teritorial. Konstitusi jelas memberi mandat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan pengakuan negara terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya. Dalam konteks Maluku, ini berarti sistem negeri dengan segala aturan adatnya harus dihormati, termasuk dalam pengaturan tapal batas.

Namun pengakuan konstitusional saja tidak cukup. Ia harus diwujudkan dalam produk hukum daerah agar punya daya mengikat. Tanpa Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Negeri (Perneg), batas Hualoy hanyalah cerita lisan yang rawan diperdebatkan. Celah inilah yang membuat persoalan tapal batas sering kali berubah menjadi konflik sosial.

Di sinilah teori kepastian hukum Gustav Radbruch menemukan relevansinya. Hukum, kata Radbruch, harus menjamin keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dalam kasus Hualoy, yang paling mendesak adalah kepastian.

Tanpa kepastian hukum, masyarakat tidak tahu di mana wilayahnya dimulai dan di mana berakhir, siapa yang berhak mengelola tanah, dan siapa yang punya otoritas atas sumber daya alam. Ketidakjelasan ini sama saja dengan menunda keadilan.

Realitas Maluku memperlihatkan adanya pluralisme hukum dimana hukum adat berjalan beriringan dengan hukum negara. Negeri Hualoy memiliki aturan adat tentang tapal batas, tetapi tanpa pengakuan negara, aturan itu sulit dijadikan pegangan resmi. Sebaliknya, hukum negara tanpa melibatkan adat akan kehilangan legitimasi sosial.

Karena itu, pengaturan tapal batas Hualoy harus ditempuh dengan jalan tengah yaitu Perda sebagai legitimasi negara, dan Perneg sebagai legitimasi adat. Perda akan menjadi payung hukum formal yang berlaku umum, sementara Perneg mempertegas batas secara operasional di tingkat lokal, dengan bahasa adat yang dipahami masyarakat. Dua instrumen ini ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi.