Menata Batas, Merawat Perdamaian Maluku

Ada sedikitnya empat alasan kenapa penetapan tapal batas Negeri Hualoy tidak bisa ditunda lagi :
Pertama, Mencegah Konflik: Sejarah Maluku sudah terlalu sering dirundung konflik sosial akibat batas wilayah. Kasus Pelauw-Kariu di Haruku atau Iha-Luhu di Seram Barat adalah pengingat pahit bagaimana persoalan tapal batas bisa meledak menjadi kekerasan. Tanpa regulasi yang jelas, Hualoy bisa menjadi titik konflik berikutnya.
Kedua, Melindungi Hak Ulayat: Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan identitas dan martabat. Hak ulayat tidak bisa dijaga bila batasnya kabur. Perda dan Perneg adalah tameng hukum agar hak masyarakat Hualoy terlindungi dari klaim pihak luar.
Ketiga, Kepastian Pembangunan: Bagaimana pemerintah bisa membangun infrastruktur, membuka jalan, atau mengelola sumber daya bila tidak jelas tanah itu masuk wilayah siapa? Ketidakpastian batas akan menghambat pembangunan dan merugikan masyarakat sendiri.
Keempat, Tertib Pemerintahan: Administrasi pemerintahan menuntut kepastian yuridiksi. Dari pelayanan KTP, bantuan sosial, hingga program pertanian, semuanya butuh kejelasan batas. Tanpa itu, pelayanan publik akan tumpang tindih.
Langkah awal yang harus dilakukan adalah pemetaan partisipatif Pemerintah, masyarakat adat, tokoh agama, dan pemuda harus duduk bersama untuk memetakan tapal batas. Bukan sekadar garis di atas peta, tapi kesepakatan kolektif yang dituangkan dalam berita acara.
Hasil pemetaan inilah yang kemudian dituangkan ke dalam Peraturan Daerah. Perda ini harus jelas, lengkap dengan titik koordinat dan lampiran peta. Tanpa Perda, batas hanya akan menjadi klaim sepihak yang sulit dipertanggungjawabkan.
Setelah Perda, langkah berikutnya adalah menyusun Perneg Negeri Hualoy. Di sinilah adat bicara. Perneg bukan sekadar menyalin isi Perda, melainkan mempertegasnya dalam bahasa adat, lengkap dengan tata aturan pengelolaan wilayah ulayat. Dengan begitu, masyarakat merasa memiliki aturan tersebut, bukan sekadar menerima keputusan pemerintah.
Harus diakui, penetapan batas tidak pernah lepas dari kendala politik. Banyak pemerintah daerah enggan bertindak tegas karena takut memicu ketegangan antarwarga. Belum lagi faktor ekonomi dimana sengketa batas seringkali menyangkut akses hutan, kebun, atau laut yang bernilai tinggi.
Namun justru karena itu, regulasi menjadi semakin penting. Menunda keputusan bukan berarti menghindari konflik, melainkan menimbun bara yang sewaktu-waktu bisa meledak. Pemerintah daerah harus berani mengambil sikap, dengan tetap melibatkan semua pihak melalui dialog dan mediasi.