BERITABETA – Pikiran-pikiran yang diutarakan dalam diskusi kami di siang itu, terdengar cukup berliant. Lama menjadi aktivis perempuan di Maluku, membuatnya begitu matang dalam menyampaikan gagasan dan pandangan tentang kebangkitan Civil Sociaty di Maluku.

Hilda Djulaida Rolobessy, nama perempuan teguh pendirian yang sempat saya ketemu di hari itu. Saya menyebutnya sebagai “Perempuan LSM” karena hari-harinya banyak dihabiskan untuk urusan  sosial, kemanusian dan pemberdayaan di daerah ini yang menjadi ranah perjuangan LSM, tempatnya meniti karir.

Tak heran, jika namanya pernah dicantumkan sebagai salah satu dari 10 perempuan pilihan Majalah Tempo, edisi khusus, 24 Desember 2006 dengan judul “Bukan Perempuan Biasa”. Hilda, termasuk salah satu perempuan Maluku yang  dinilai  sebagai perempuan tangguh yang mampu  membuktikan dirinya,  berani meruntuhkan tembok stereotipe sebagai insan yang kerap  menyerah pada ketidakadilan, dengan banyak mendedikasikan waktu, energi, pikiran dan segala kemampuan di bidang-bidang yang biasanya didominasi kaum lelaki.

Kiprahnya di dunia aktivis di Maluku begitu nyata terlihat. Hilda memang bukan perempuan biasa.  Majalah Tempo sempat melansir sebuah cerita tentang Hilda yang tegas dan berani tampil meredam kondisi yang “mengharu biru” di saat daerah Maluku dilanda konflik komunal.

Perempuan itu hanya bicara sesekali. Tapi kata-kata Hilda Djulaida Rolobessy, 34 tahun, mampu meredam kemarahan yang meledak pagi itu. Puluhan raja Ambon anggota Forum Latupati tersebut murka karena pada suatu pagi bulan November, itu mereka gagal bertemu dengan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Para raja itu gagal bertemu karena kapal yang mereka tumpangi tak sampai ke Pulau Banda.

Sedianya, Forum Latupati akan membahas masa depan Maluku pascakonflik bersama Bachtiar. Pertemuan itu dianggap sangat penting karena para raja tadi adalah pemangku kepentingan (stake holder) perdamaian Maluku. Hilda berjanji akan membujuk Bachtiar agar bersedia menerima mereka di Bandar Udara Pattimura, sore harinya. Kemarahan akhirnya luruh.

Kisah “amuk” raja di geladak kapal Bukit Siguntang itu menjadi buah bibir kalangan aktivis Ambon dan Jakarta, terutama tentang Hilda yang lihai meredam kemarahan para raja.

Hilda memang bukan orang asing bagi Ambon. Sebagai penanggung jawab Early Warning Sistem Conflict (EWSC), jaringan yang bertugas menjaga dan mendeteksi gejala awal konflik, Hilda sering berhubungan dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang. “Itu sebabnya ia didengar oleh para raja,” kata Ichsan Malik, Direktur Institut Titian Perdamaian.

Lahir di Ambon pada 26 Desember 1973, Hilda bercita-cita menjadi pengacara. Apa daya, ayahnya meminta dia membantu bisnis kontraktornya dengan mengambil Jurusan Ekonomi di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Tak disangka, bakat sebagai pekerja sosial justru berkembang semasa kuliah, saat menjadi aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Makassar.

Pada 1998, ia pulang ke Ambon. Setahun kemudian, kerusuhan pecah. Bersama kawan-kawan, ia menggalang perempuan untuk membangun rekonsiliasi dan rehabilitasi konflik. Mereka mengurus relokasi pengungsi. Anak-anak yang terlibat perang antarkomunitas dikumpulkan dan diajak bersekolah. Guru lokal dan sarjana menganggur diberdayakan untuk mengajar mereka.

Ibu-ibu dalam pengungsian diberi modal, anak-anaknya dicarikan beasiswa. Bantuan modal usaha diprioritaskan bagi ibu-ibu yang suaminya meninggal dalam konflik. Keterlibatan Hilda semakin total ketika keluarganya ikut mengungsi karena rumah mereka juga dibakar.

Di tengah situasi konflik, Hilda memutuskan menikah dengan Johan Tutupoho. Pesta perkawinan digelar di Masjid Al-Fattah, Ambon, dihadiri para pengungsi, aktivis, dan aparat. “Sempat juga waswas karena sehari sebelumnya ada yang kawin di situ dan berantakan karena diserang,” katanya.

Hilda juga bergabung dengan Baku Bae, forum yang mempertemukan dua komunitas antarumat beragama. Mereka membuat program perdamaian di tingkat rakyat jelata. Salah satunya bersama Suster Brigitta Renyaan, mereka membuat acara kemah bersama anak-anak dua komunitas berbeda.

Tentu saja bukan pekerjaan mudah. Sering Hilda masuk daerah konflik dan merintis pertemuan perdamaian di sana. Kerap ia terjebak di tengah-tengah perang. Berbagai pengalaman buruk dialami Ketua Lakspedam NU Kota Ambon ini, mulai dari intimidasi aparat, teror telepon, bencana alam, hingga diculik salah satu kelompok bertikai, dibujuk agar tak bertemu kelompok lainnya.

Pekerjaan mahaberat Hilda adalah menganyam kepercayaan 50 raja dan tetua adat di seluruh pelosok Maluku. “Karena merekalah pemangku kepentingan perdamaian di Maluku,” ujarnya. Karena keberanian dan konsistensinya yang luar biasa pada perdamaian, ia bersama Suster Brigitta dinominasikan sebagai Perempuan Peraih Penghargaan Perdamaian tahun 2005.

Dalam sebuah kegiatan bersama Maria Filomena Babo Martines, Timor-Leste, Hilda Rolobessy, Indonesia, Maria Bere, Timor Leste, Ayodhya Krishani Amarajeewa, Sri Lanka, & Babita Basnet, Nepal

Hilda merasa beruntung. Semua yang diraihnya tak lepas dari dukungan penuh orang tua dan suaminya. Mereka rela menenggang rasa, juga mengantar Hilda malam-malam ke daerah konflik, meski nyawa taruhannya. Mereka tahu, Hilda melakukan semua itu demi perdamaian di Maluku, tanah kelahirannya.

Hilda Rolobessy, merupakan salah satu aktivis perempuan yang termasuk dalam jaringan Peace Women Indonesia. Sejak munculnya kerusahan di Maluku 1999, Hilda telah terlibat aktif untuk memberikan bantuan bagi para pengungsi lokal (IDPs). Pada 1999, Hilda bersama beberapa rekan aktifis mempelopori  terbentuknya Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (YPPM), yang bekerja khusus memberikan bantuan bagi pengungsi, khususnya perempuan dan mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi bagi pihak yang berkonflik di Ambon.

Hilda juga sering menjadi fasilitator dan mediator bagi usaha dialog antar group yang bertikai. Hilda sempat magang di Sekolah Perdamaian Nelson Mandela, di Cape Town, Afrika Selatan.

Hilda dan kawan-kawannya, juga aktif melakukan pendampingan dan penguatan kapasitas bagi kelompok-kepompok usaha pada daerah relokasi Pengungsi Iha di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah melalui program PNPM Peduli Lakpesdam yang didukung oleh Bank Dunia.

Selain itu Hilda juga melaksanakan penguatan kapasitas perempuan dalam politik di beberapa kelurahan dan desa dalam wilayah kota Ambon yang didukung oleh Vrouwen vor Vreide op Molucan di Belanda.

Saat ini Hilda, mulai menjejaki profesi baru. Kiprahnya di dunia LSM selama ini, membuatnya kepincut untuk masuk ke ranah politik praktis. Bukan hanya sekedar mengaduh nasib, tapi dia berkeinginan memperjuangkan berbagai hal yang selama ini dinilainya belum maksimal dilakukan.

“Sekiranya sebagai perempuan dan aktitivis, saya akhirnya menyadari dunia politik bukanlah jalan yang harus dihindari, jika kita ingin lebih leluasa berbuat lebih banyak untuk kepentingan orang banyak,” urai Hilda yang kini terdaftar sebagai caleg dari PKB kota Ambon itu.

Selain mencoba masuk di dunia politik, Hilda yang kini menjabat sebagai  Sekretaris Wilayah Fatayat NU Maluku, juga terus menjalankan sejumlah aktifitas sosial bersama organisasi perempuan underbow NU tersebut.

Hilda Rolobessy memang perempuan LSM di Maluku sekaligus “Bukan Perempuann Biasa”. (dhino pattisahusiwa)