Paradigma Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan
Batasan dan Syarat Pengajuan
Sejumlah putusan sengketa hasil oleh MK, telah memberikan batasan tertentu yang bersifat formil beracara. Dari sekian syarat formil yang paling ketat dilakukan MK, yakni berkaitan dengan waktu pengajuan permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 157 ayat (5) dan batasan persentase perbedaan selisih perolehan suara dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilihan.
Ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU jo. Pasal 7 ayat (2) Peraturan MK 5/2020 menegaskan pengajuan permohonan dilakukan paling lambat 3 hari kerja, sejak diumumkan penetapan perolehan suara oleh Termohon. Pasal 7 Ayat (1) Peraturan MK memberikan kemungkinan permohonan diajukan melalui iuring (offline) atau daring (online). Dengan menggunakan kaidah hari kerja, berarti permohonan tidak dapat diajukan di hari libur atau hari yang diliburkan.
Peraturan MK 5/2020 Pasal 9 ayat (7) dan Pasal 10 ayat (8) membedakan waktu pengajuan permohonan paling lambat dalam 3 hari kerja. Bila pengajuan dilakukan secara iuring atau berkas diserahkan langsung di MK hari kerja ditentukan dari pukul 08.00 WIB s.d. pukul 24.00 WIB. Jika pengajuan dilakukan secara online atau melalui perangkat digital, hari kerja ditentukan dari pukul 00.00 WIB s.d. pukul 24.00 WIB.
Selain itu MK, setelah perubahan UU Pemilihan dengan diundangkannya UU 8/2015, MK mulai mengadopsi Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilihan dalam Peraturan MK berkaitan Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan/atau Walikota.
Ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU menyatakan provinsi dengan jumlah penduduk sampai 2 juta jiwa, pengajuan perselisihan dapat diajukan Pemohon Pemilihan Gubernur apabila terdapat perbedaan selisih perolehan suara sebanyak 2 persen dari total suara sah, di atas 2 juta – 6 juta terdapat selisih suara 1,5 persen, lebih dari 6 juta – 12 juta terdapat selisih suara 1 persen, dan lebih dari 12 juta harus terdapat selisih suara 0,5 persen.
Dalam Pasal 158 ayat (2) UU menentukan pengajuan perselisihan dapat diajukan Pemohon Pemilihan Bupati/Walikota apabila kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250 ribu, terdapat selisih perolehan suara 2 persen dari total suara sah, lebih 250 ribu – 500 ribu terdapat selisih 1,5 persen dari total suara, lebih dari 500 ribu – 1 juta terdapat selisih 1 persen, dan lebih dari 1 juta, harus terdapat selisih 0,5 persen suara.
Dalam Pemilihan MK tidak lagi mengdopsi Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU dalam Peraturan MK 5/2020. Hakim MK Aswanto dalam penjelasan penutupan Bimtek Perselisihan Hasil, 8 Oktober 2020, menyatakan tidak diaturnya ketentuan tersebut dalam Peraturan MK 5/2020, tidak berarti MK tidak menegakan Pasal 158 UU dalam pertimbangan hukumnya. Hanya saja MK akan lebih luwes dan terbuka dalam pertimbangan hukumnya, apabila terdapat kemungkinan MK menilia tidak terpenuhinya selisih perolehan suara tersebut, diakibatkan terjadinya pelanggaran sebelumnya atau dalam proses penetapan hasil.
Peniliti senior MK Pan Muhamad menjelaskan dalam materinya “MK Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” menjelaskan kedudukan Pasal 158 UU Pemilihan, yang diadopsi dalam Peraturan MK sebelumnya, agar dapat membatasi membludaknya pengajuan perselisihan di MK, karena banyak materi gugatan tidak berkaitan dengan sengketa hasil, namun diajukan ke MK.
Dua pendapat itu sepertinya ingin mendamaikan kritik publik atas keberadaan MK agar tidak menjadi “Mahkamah Kalkulator”, dengan tetap membuka diri memeriksa perkara yang tidak memenuhi syarat Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2).
Hal ini yang ingin direspon MK dalam memeriksa perselisihan Pemilihan 2020. Namun demikian MK kemungkinan tetap akan menerapkan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU, jika tidak terdapat cukup alasan MK mengabaikan ketentuan tersebut (***)