Oleh : Junaedi Saibih, SH, M.Si, LL.M (Pengajar di Bidang Studi Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

Penuntutan Pelanggaran HAM Masa Lampau

BEBERAPA berita online pada kamis 21 Oktober 2021 telah mewartakan soal tuntutan BEM SI terhadap Pemerintahan Joko Widodo, salah satunya adalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau. Dalam hal mana, kelompok mahasiswa menuntut agar Jaksa Agung ST Burhanudin untuk diberhentikan karena gagal dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lampau dengan mengadili pelakunya melalui pengadilan HAM secara adil dan transparan.

Sebelum lebih jauh membahas tentang “anggapan” kegagalan Jaksa Agung maka pertama tama perlu dipahami dulu tentang pelanggaran Berat HAM masa Lampau. Pelanggaran HAM berat masa lampau yang masuk dalam lingkup kewenangan Pengadilan HAM (UU 26 tahun 2000) adalah kualifikasi tindak pidana bagi berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM (kejahatan kemanusian dan genosida, pasal 6 red) yang terjadi sebelum 23 Nopember 2000.

Dalam hal ini, tempus delictie atau waktu terjadinya kejahatan adalah sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM. Dalam kaitannya dengan penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lampau maka sesuai dengan pasal 43 hanya dapat diselesaikan dengan Pengadilan HAM Adhoc.

Yang memang dibedakan dengan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah diberlakukannya UU Pengadilan HAM, dimana pembedanya adalah dari cara pembentukannya. Khusus untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau, hanya dapat diselesaikan dengan pengadilan HAM ad hoc yaitu pembentukannya dengan Keputusan Presiden atas rekomendasi DPR.

Tentang wewenang pengadilan HAM adhoc untuk mengadili perkara pelanggaran HAM berat masa lampau pernah dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi namun MK dalam putusan tetap berpendapat bahwa pengadilan ham adhoc tetap konstitusional, meskipun melakukan pemberlakuan asas retroaktif.

Alasan lain diberlakukannya asas retroaktif atas pelanggaran HAM masa lalu adalah berdasarkan pertimbangan moralitas, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis atas nama keadilan.

Pemberlakuan asas retroaktif dalam rangka penegakan hukum pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu lebih didasarkan pada pertimbangan politik.

Situasi ini terjadi selama proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis - dibutuhkan jalan tengah untuk menyelesaikan krisis nasional, dan demi stabilitas politik.

Alasan politik di atas tidak berarti ditinggalkannya prosedur yuridis, karena dengan adanya UU HAM berarti prosedur yuridis menjadi sangat penting. Pertimbangan masalah politik terjadi karena pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu tidak lepas dari ruang lingkup kebijakan politik pemerintah sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak terlepas dari politik di balik tindakan tersebut.

Jadi dengan lain perkataan penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM berat masa lampau hanya dapat diselesaian dengan Pengadilan HAM adhoc yang pembentukannya harus secara khusus melalui Keppres atas dasar rekomendasi DPR.

Pertimbangan politis DPR menjadi dasar yuridis atas pembentukan pengadilan HAM Adhoc yang harus secara spesifik menyebutkan peritiwa pelanggaran HAMnya serta juga menyebutkan rentang waktu terjadinya kejahatan.