Mekanisme Extra Yudisial dan Peraturan Jaksa Agung

Penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lampau melalui mekanisme yudisial penting untuk terlebih dahulu dilakukan berbagai perubahan berkaitan dengan mekanisme hukum acara dalam pengedailan HAM adhoc termasuk penyempurnaan mekanisme pembentukan pengadilan HAM Adhoc, dimana wewenang DPR untuk merekomendasikan tidak saja atas dasar sub poena DPR akan tetapi mempertimbangkan teknis penuntutan suatu perkra serta pertimbangan hasil penyelidikan team adhoc pelanggaran ham berat.

Jadi kalau pengadilan HAM adhoc-nya sendiri tak pernah dibentuk dengan keppres setelah ada rekomendasi dari DPR, tuntutan aksi mahasiswa meminta penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lampau kepada Jaksa Agung untuk membawa pelaku ke pengadilan adalah hal yang absurd.

Karena bagaimana wewenang penuntutan dapat dilakukan Ketika pengadilan ham adhocnya belum dibentuk Presiden. Jika memang proses penuntututan sudah dilakukan Jaksa Agung, dengan meningkatkan prosesnya ke penyidikan maka kemudia timbul pertanyaan “ke pengadilan mana berkas perkera penuntutan tersebut akan dilimpahkan Ketika pengadilan ham adhoc saja belum terbentuk.

Mau dilimpahkan kemana berkas dan tersangkanya? Maka dari itu saya dapat katakana tuntutan itu adalah tuntutan yang absurd.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau tidak saja dengan mekanisme yudiusial akan tetapi juga ekstra yudisial, yaitu melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Namun jauh sebelum dijalankan kewenangan komisi kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), namun pada tahun 2006 undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitutional.

Semenjak dinyatakan inskonstitusional hingga kini tidak ada langkah berarti untuk Kembali menetapkan UU KKR dan membentuk KKR. Jadi dalam hal ini penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak bisa disimplikasi hanya dengan meminta Jaksa Agung melimpahkan perkara pelanggaran HAM berat masa lampau dengan didahului meningkatkan hasil penyelidikan komnas HAM ke tingkat penyidikan.

Akan tetapi penyelesaian pelanggaran ham berat masa lampau adalah permasalahan yang multi-dimensional yang tidak saja tanggung jawab ada pada Pundak Jaksa Agung akan tetapi juga multi-sektoral.

Dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan tentang kebijakan penegakan hukum berdasarkan keadilan restorative. Dalam pidatonya, Jaksa Agung mengharapkan bahwa Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restorative dapat menjadi model untuk revisi KUHAP.

Namun menurut hemat saya lebih dekat lagi jika Jaksa Agung juga dapat mengambil terobosan untuk penyelesaian perkara pelanggaran HAM Berat masa lampau juga terpusat pada korban (victims centered prosecutorial discretion).

Hal ini sejatinya disampaikan dalam pidato beliau tentang prinsip dasar dilakukannya diskresi penuntutan yaitu memperhatikan dan menyeimbangkan antara aturan yang berrlaku dengan asas kemanfaatan.

Dalam hal ini langkah besar untuk pengkajian penyelesaian extra yudisial menjadi sangat penting, dimana sebagai pengendali perkara tertinggi, Jaksa Agung dapat membuat terobosan juga perihal penerapan restorative justice untuk penyelesaian perkara pelanggaran HAM. Pemikiran dasarnya sudah ada dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tinggal pengemabngan lebih lanjut untuk kepentingan penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lampau yang terpusat pada korban.

Sebagai penutup dari artikel ini, maka dapat saya sampaikan sebaiknya mahasiswa dalam melakukan tuntutan aksi perlu lebih jeli dan teliti dalam Menyusun tuntutan aksi, jangan sampai tuntutan aksi tersebut malah terkesan terdapat titipan dari “calon terdakwa” unyuk melanggengkan impunity.

Berbagai tuntutan itu memiliki implikasi akan tetapi jika tuntutan disusun tanpa pertimbangan yang berrsifat multi-dimensional malah menjadi boomerang bagi teman teman mahasiswa. Penting bagi kalian tidak saja demo dan menuntut sesuatu akan tertapi juga sekaligus mempertimbangkan implementasinya.

Kesan tak kunjung selesainya perkara pelanggaran HAM berat masa lampau tidak serta merta menjadi tanggung jawab Jaksa Agung yang tak juga melimpahkan perkara dengan terlebih meningkatkan status penyidikan atas hasil penyelidikan komnas HAM.

Akan tetapi terdapat permasalahan yang lebih esensial yaitu kemana berkas perkara tersebut harus dilimpahkan Ketika pengadilan HAM Adhoc atas perkara tersebut tidak juga dibentuk melalui Keppres yang didasarkan atas rekomendasi DPR. (*)